Masjid Sentral Cologne Jerman: Simbol Keterbukaan Muslim Jerman

in Arsitektur

“Masjid Sentral Cologne melambangkan sebuah janji yang harus dijaga, yaitu Islam modern yang terbuka terhadap masyarakat Jerman dan membebaskan dirinya dari ikatan sejarah dan negara asal yang bermigrasi”

–O–

Puncak Menara Masjid. Photo: dpa/picture alliance
Masjid Sentral Cologne dlihat dari atas. Photo: Paul Böhm

Setelah penantian selama 20 tahun, akhirnya masyarakat Muslim Jerman Barat dapat mewujudkan mimpinya. Masjid Sentral di kota Cologne, Jerman, resmi dibuka pada Ramadhan 2017. Umat muslim Jerman kini dapat beribadah di sana setiap hari. Hari-hari di mana Muslim Jerman harus mencari tempat terpelosok untuk beribadah telah berakhir.

Masjid Sentral Cologne (MSC) adalah salah satu masjid termegah dan terbesar di Jerman. MSC didirikan atas inisiasi Persatuan Islam Turki untuk Urusan Agama (Turkish-Islamic Union for Religious Affairs/DITIB), sebuah organisasi Muslim Jerman terbesar yang mayoritas anggotanya adalah etnis Turki. Proses pembangunan MSC memakan waktu sekitar 8 tahun dari sejak pertama kali dibangun pada November 2009.[1]

Suasana di halaman masjid. Photo: dpa/picture alliance
Suasana masjid di malam hari. Photo: Paul Böhm

“Ini adalah perasaan yang indah, beban yang besar telah telah terangkat dari bahu kita,” kata Bekir Alboga, Sekretaris Jenderal DITIB. Alboga mengatakan sekarang masyarakat dapat datang ke MSC, “datang dan kunjungilah masjid kami yang terbuka. Bicaralah kepada kami tentang Islam, tentang DITIB. Bukan tanpa kita, tapi dengan kita,” ajaknya.

 

Arsitektur Gaya Timur Kekinian

Tepat di atas ruang shalat terdapat sebuah kubah besar yang semi transparan, titik tertingginya mencapai 36 meter. Cahaya dari luar menerobos masuk dari sebuah kaca berbentuk bintang di puncak kubah. Lampu sorot besar menyinari kaligrafi-kaligrafi, mimbar, dan mihrab di dalam masjid. Dinding masjid dihiasi oleh 1.800 panel stucco.

Ruang Shalat utama. Photo: dpa/picture alliance
Akses masuk cahaya. Photo: Paul Böhm
Detail kurva arsitektur, menunjukkan kerumitan proses pembuatannya. Photo: Paul Böhm

Desain interiornya merupakan gabungan elemen oriental dengan Islam kontemporer, yang terlihat dari medali-medali di atap dengan teks Arab yang dikombinasikan dengan daun berwarna emas. “Ini (teks Arab) menampilkan nama-nama semua nabi besar yang memainkan peran penting dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam,” kata Bekir Alboga. Ini merupakan suatu bentuk keterbukaan terhadap teologi antar agama, katanya.

Arsitek terkenal Gottfried dan Paul Bohm adalah pemenang kompetisi arsitektural untuk desain MSC, dan sekalian ditugaskan untuk membangunnya. “Bagi umat Islam, sangat menyenangkan untuk berdoa di tempat seperti ini. Saya berharap sebagian masyarakat akan datang ke sini, melihat masjid dan merasakan terbukanya gedung ini,” ujar Bohm. Sebagaimana di masjid-masjid lainnya, ruang shalat untuk wanita diposisikan terpisah. Namun, meskipun terpisah para wanita tetap dapat melihat Imam Masjid yang sedang memimpin shalat tanpa terhalang. Ruang shalat wanita ini posisinya sedikit lebih naik dengan akses tangga di samping-samping masjid. Daerah untuk berwudhu juga dapat diakses dari tengah ruangan.

“Saya pikir penting bahwa areal untuk perempuan itu sama indahnya dengan yang dimiliki pria,” kata seorang siswi berusia 17 tahun, Didem Dege. Dia sengaja datang datang ke Cologne dari Plettenberg hanya untuk melihat masjid tersebut. Menurutnya, masjid ini “sangat indah”. “Saya sudah mengambil foto dan mempostingnya secara online,” ujarnya.

Ruang Shalat khusus untuk wanita. Photo: Ulrike Hummel

 

Proyek Bernilai Jutaan Euro yang Tidak Disubsidi

Pengunjung yang berkunjung ke MSC, selagi mereka menaiki tangga menuju ruang shalat utama, biasanya mereka akan berjalan dengan lama karena terpesona akan keindahan masjid ini. MSC memiliki dua buah menara setinggi 55 meter yang tidak akan digunakan untuk Adzan karena aturan setempat, jadi fungsi menara tersebut hanya untuk unsur keindahan saja. Sebelum masjid ini dibangun, perdebatan mengenai bentuk dan tinggi menara cukup hangat.

Ruang shalat utama dilihat dari sudut pandang lain. Photo: DR
Di siang hari cahaya masuk begitu banyak. Photo: DR

Selain ruang shalat utama yang menjadi inti bangunan, masjid ini juga menyediakan ruang seminar, kantor kepengurusan yang berada di sayap bangunan, perpustakaan, ruang konferensi, dan arena perbelanjaan.

Masalah yang banyak dibahas sebelumnya adalah tentang kurangnya lahan parkir. Namun hal tersebut telah ditemukan solusinya yaitu dengan pembangunan tempat parkir di bawah tanah. Total biaya yang dikeluarkan untuk membangun MSC adalah sekitar € 30 juta. Menurut DITIB, dua pertiga dari jumlah ini disumbangkan oleh pendonor, tidak ada subsidi publik sama sekali. Kini, kompleks MSC telah selesai sampai dengan 95%. “Kawasan perbelanjaan masih belum selesai dan sejumlah perbaikan kosmetik perlu dilakukan di ruang konferensi,” kata Alboga.

Suasana di sore hari. Photo: Liputan 6

Setiap Muslim sekarang bisa sholat di masjid ini lima kali sehari. Shalat Jumat terbuka untuk siapapun. “Saya pikir masjid itu indah dan saya pasti akan pergi dan shalat di sana,” kata Sarjas Hussein. Pelajar berusia 27 tahun itu beretnis Kurdi dan berharap bahwa “khotbah hari Jumat akan selalu diterjemahkan ke bahasa Jerman”. Dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki masalah dengan menghadiri masjid DITIB sebagai seorang Kurdi, “saya tidak membedakan antara Muslim Turki, Kurdi atau Muslim Arab. Bagi saya, semua Muslim adalah saudara yang beriman.”

Kritikus DITIB, Anggota Parlemen Hijau dari Cologne, Volker Beck, bahkan tetap mengucapkan selamat kepada DITIB yang merupakan organisasi payung terbesar di Jerman untuk Muslim: “Saya senang bahwa (masalah) lokasi pembangunan (masjid) permanen ini disimpan di masa lalu, dan mengucapkan selamat kepada DITIB atas keberhasilan ini.” Beck melanjutkan dengan mengatakan bahwa bangunan tersebut juga melambangkan sebuah janji yang harus dijaga, yaitu “Islam modern yang terbuka terhadap masyarakat Jerman dan membebaskan dirinya dari ikatan sejarah dan negara asal yang bermigrasi” – yaitu sesuatu yang pemimpin di Ankara (Turki) dan Cologne (Jerman) harus lakukan sendiri. (PH)

Catatan:

Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan bebas dari artikel Ulrike Hummel, “A place to pray, a place to meet”, dari laman https://en.qantara.de/content/ditib-central-mosque-in-cologne-a-place-to-pray-a-place-to-meet, diakses 13 Desember 2017. Adapun data yang bukan didapat dari artikel tersebut dicantumkan di dalam catatan kaki.

Catatan Kaki:

[1] Zulfikar Abbany, “New German mosque a milestone in religious architecture”, dari laman http://www.dw.com/en/new-german-mosque-a-milestone-in-religious-architecture/a-15233758, diakses 12 Desember 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*