Megatruh: Sebuah Syarah Kesejarahan (13)

in Studi Islam

Last updated on November 13th, 2019 10:13 am

Melalui instrumen kebudayaan inilah para Wali Songo memperkenalkan ajaran Islam yang ramatan lil alamain dan menegakkan apa yang disebut Rendra sebagai “Daulat manusia”. Salah satu contoh, bila sebelum adanya Islam, lakon perwayangan berisi narasi tentang para elit, pada era Wali Songo, masyarakat diperkenalkan lebih jauh dengan lakon Punakawan, yang tokoh-tokohnya adalah rakyat jelata.

Gambar ilustrasi. Sumber: islamindonesia.id

Namun demikian, pendapat Rendra yang menilai bahwa Daulat manusia di masa Kesultanan Demak tumbuh dan berkembang, agaknya tidak sepenuhnya keliru. Mengingat bahwa titik tekan dakwah Islam pada waktu itu, bukan di masalah hukum (fiqh) atau pun struktur materialnya. Tapi lebih pada nilai dan akhlak.

Bahkan, di era Raden Fatah, adat kebiasaan masyarakat yang sudah ada sejak lama tetap dilestarikan. Seperti kesenian wayang, gamelan, dan lain sebagainya. Semua ini tidak diganggu, apalagi dihilangkan. Sebaliknya, semua adat kebiasaan, kesenian, dan struktur politik lama tersebut, justru dijadikan sebagai instrument dakwah yang cukup efektif oleh para Wali Songo.

Sebagai contoh, Menurut R. Poedjosoebroto, Sultan Demak pertama, Raden Fatah, sangat gemar pada kesenian wayang, yang juga sangat digemari oleh penduduknya. Tapi, meskipun Raden Fatah adalah seorang penguasa, negarawan, seniman, ahli hukum, ahli ilmu kemasyarakatan, dan juga ulama yang memiliki kemampuan membaca fenomena sosial, dia tetap memohon pertimbangan dari para ulama untuk mengembangkan kesenian wayang agar sesuai dengan ajaran Islam. Hasil pertimbangan tersebut, rencananya akan diimplementasikannya sebagai kebijakan dalam membangun masyarakatnya.[1]

Demikianlah, setelah meminta pertimbangan kepada beberapa orang anggota Wali Songo, diperoleh pendapat sebagai berikut:[2]

  1. Seni wayang perlu dan dapat diteruskan, asal diadakan perubahan-perubahan yang sesuai dengan zaman yang sedang berlaku;
  2. Kesenian wayang dapat dijadikan alat media dakwah Islam yang baik;
  3. Bentuk wayang diubah, bagaimana dan dibuat dari apa, terserah, asal tidak lagi berwujud seperti arca-arca yang mirip manusia;
  4. Cerita-cerita dewa harus diubah dan diisi paham yang mengandung jiwa Islam untuk membuang kemusyrikan;
  5. Cerita wayang harus diisi dakwah agama yang mengandung keimanan, ibadah, akhlak, kesusilaan, dan sopan-santun;
  6. Cerita-cerita wayang terpisah menurut karangan Walmiki dan Wiyasa harus diubah lagi menjadi dua cerita yang bersambung dan mengandung jiwa Islam;
  7. Menerima tokoh-tokoh cerita wayang dan kejadian-kejadian hanya sebagai lambang yang perlu diberi tafsiran tertentu yang sesuai perkembangan sejarah, dimana tafsiran-tafsiran harus sesuai dengan ajaran Islam;
  8. Pergelaran seni wayang harus mengikuti aturan Susila dan jauh dari maksiat;
  9. Memberikan makna yang sesuai dakwah Islam pada seluruh unsur seni wayang, termasuk gamelan, tembang-tembang, tokoh-tokoh, dan lakon-lakon.

Melalui instrumen kebudayaan inilah para Wali Songo memperkenalkan ajaran Islam yang ramatan lil alamain dan menegakkan apa yang disebut Rendra sebagai “Daulat manusia”. Salah satu contoh, bila sebelum adanya Islam, lakon perwayangan berisi narasi tentang para elit, pada era Wali Songo, masyarakat diperkenalkan lebih jauh dengan lakon Punakawan, yang tokoh-tokohnya adalah rakyat jelata.

Sebelum era Wali Songo, lakon Punakawan digambarkan sebagai abdi yang berderajat sangat rendah. Kehadiran mereka dalam satu kisah, hanya berfungsi sebagai pemecah suasana dengan humor-humornya dan tentu saja agar cerita tersebut terasa lebih hidup. Tapi pada era kerajaan Islam, lakon Punakawan lebih berkembang lagi sekaligus bertransformasi sebagai media dakwah dan kritik sosial. Mereka tetap menjadi abdi, namun digambarkan sebagai sosok yang polos, lugu, namun membawa nilai-nilai tertinggi sehingga kerap menjadi tempat raja meminta nasehat.[3]

Tokoh wayang Punakawan adalah Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Empat lakon ini oleh Sunan Kalijaga digunakan sebagai media menyebarkan Islam di kalangan masyarakat Jawa.

  • Semar diyakini berasal dari bahasa Arab “Simaar” yang berarti paku. Menjadi lambang bahwa kebenaran agama Islam adalah kokoh. Karakter Semar digambarkan bertubuh pendek, rambut pendek, wajah putih, bokong besar, dan perut buncit.[4]
  • Gareng berasal dari kata Naala Qoriin, artinya memperoleh banyak kawan. Naala qoriin diucapkan dalam lisan orang Jawa menjadi Nala Gareng. Karakter Gareng memiliki hidung bulat, tubuh pendek, lengan kurus, berkuncir, kaki pincang, dan tangan ceko.[5]
  • Petruk berasal dari kata Fatruk, artinya tinggalkanlah. Kata fatruk diambil dari kalimat Fatruk Kullu Maa Siwallahi artinya tinggalkan segala yang dilarang Allah SWT. Karakter Petruk memiliki hidung panjang dan berkulit hitam.[6]
  • Adapun Bagong berasal dari kata Bagha, artiya lacut atau berontak. Maksudnya berontak yaitu melawan terhadap sesuatu yang zalim. Karakter Bagong digambarkan botak, bibir dower, dan perut buncit.[7]
Tokoh-tokoh Punakawan. Sumber gambar: islamindonesia.id

Di era Wali Songo, lakon Punakawan menjadi sangat menonjol, tak kalah populer dengan para elit. Pada tahap tertentu, lakon-lakon ini dikisahkan bisa menjadi penentu jalan cerita di level elit, bahkan menjadi elit itu sendiri.

Salah satu cerita pewayangan yang paling terkenal tentang tokoh Punakawan, adalah kisah mengenai Jamus Kalimasada. Sebuah pusaka Kalimasada yang memiliki asal kata Kalimat Syahadat. Kalimat yang berisi pengakuan tentang adanya Tuhan yang Esa serta Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.[8]

Alkisah, putri dari Negara Imantaka yakni Dewi Mustakaweni berhasil mencuri Jamus Kalimasada. Dia mencurinya dengan menyamar sebagai kerabat Pandawa. Jamus Kalimasada kemudian menjadi rebutan antar negara.[9]

Di tengah kekacauan yang terjadi, Petruk mengambil kesempatan menyembunyikan Kalimasada.

Karena kekuatan dan pengaruhnya yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana Kerajaan Lojitengara. Dia bergelar Prabu Welgeduwelbeh.[10]

Kisah ini dikenal dengan judul “Petruk Dadi Ratu” (Petruk Menjadi Raja). Hingga saat ini keempat lakon Punakawan masih sering digunakan dalam pentas pewayangan. Lakon wayang Punakawan menjadi cerita jenaka yang menarik banyak tawa tapi tetap mengandung pesan-pesan hikmah.[11] Dan lebih dari itu, lakon mereka menjadi inspirasi tentang keluhuran, dan kesadaran akan adanya Daulat manusia. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 388-393

[2] Ibid

[3] Wayang Punakawan merupakan kisah empat tokoh pewayangan termasyhur di tlatah Jawa, diyakini merupakan kreasi Sunan Kalijaga. Istilah Punakawan berasal dari kata pana yang berarti “paham” dan kawan yang berarti “teman”. Dapat dikatakan bahwa Punakawan berarti “teman yang memahami”, jika dikaitkan dengan cerita yang menaunginya, maka Punakawan ini adalah abdi setia yang paham dan mengerti akan berbagai kesulitan dan masalah yang dialami oleh para tuannya. Lihat, Sejarah Tokoh Punakawan dan Transformasinya dari Masa ke Masa,  https://histori.id/punakawan-sejarah-dan-transformasinya/, diakses 7 November 2019

[4] Kisah Wayang Punakawan Kreasi Sunan Kalijaga, Asal Muasal Semar Gareng Petruk dan Bagong, https://jateng.tribunnews.com/2019/03/27/kisah-wayang-punakawan-kreasi-sunan-kalijaga-asal-muasal-semar-gareng-petruk-dan-bagong, diakses 7 November 2019

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Ibid

[10] Ibid

[11] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*