“Jika anda bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, anda harus melihat dari sisi si penindas. Jika seekor gajah menginjak ekor seekor tikus dan anda mengatakan bahwa anda netral, si tikus tidak akan menghargai netralitas anda.”[1]
~Desmond Tutu
–O–
Untuk memahami konflik Israel-Palestina, yang sekilas terlihat begitu rumit dengan segala dinamikanya, misal: runutan peristiwa, pihak-pihak yang terlibat, doktrin agama, geo strategi, keterlibatan negara besar, sentimen etnis, kepemilikan senjata, perebutan Yerusalem[2], dan lain sebagainya, hal pertama yang harus dibahas adalah Zionisme itu sendiri. Pangkal dari permasalahan Israel-Palestina sesungguhnya adalah Zionisme. Banyak orang yang memahami bahwa Zionisme adalah gerakan agama, padahal sesungguhnya Zionisme adalah suatu gerakan politik, ekonomi, dan identitas yang dibalut oleh jubah keagamaan.
Artikel ini dibuat untuk mengajak pembaca untuk memahami konflik Israel-Palestina mulai dari hal yang paling mendasar, yaitu tentang Zionisme itu sendiri. Zionisme adalah sebuah doktrin yang mengubah segalanya, tanpa adanya Zionisme tidak akan pernah ada konflik Israel-Palestina seperti yang kita ketahui hari ini.
Pada dasarnya, Zionisme adalah suatu gerakan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan kepada etnis Yahudi di seluruh daratan Eropa jauh sebelum berdirinya Israel tahun 1948. Gerakan Zionisme dimulai pada kisaran pertengahan sampai akhir abad ke-19 di benua Eropa. Pada saat itu, etnis Yahudi di Eropa adalah etnis minoritas yang tertindas karena gerakan anti-semitisme orang-orang Kristen Eropa. Orang-orang Yahudi di Eropa mengalami banyak peristiwa kelam dalam hidupnya seperti dikucilkan, dibenci, terpinggirkan, dan dikonsentrasikan dalam ghetto (pemukiman khusus Yahudi).[3] Jumlah etnis Yahudi pada tahun 1933 di seluruh Eropa adalah 9,5 juta orang, sekitar 1,7%-nya dari total populasi di Eropa. Namun, apabila dilihat dari seluruh populasi Yahudi di dunia yang jumlahnya 15,3 juta orang, Yahudi di Eropa mencakup 60%-nya.[4]
Dalam tahapan yang lebih jauh, anti-semitisme terkadang sampai pada tahap pembunuhan, seperti pada kasus pogroms,[5] di mana terjadi pembunuhan dan pemerkosaan dalam skala besar. Walaupun misalnya tidak sampai membunuh, etnis Yahudi dalam kehidupannya sebagai masyarakat mengalami berbagai macam diskriminasi seperti larangan untuk memiliki tanah, sekolah yang baik, pekerjaan, dan hak-hak politik. Terkadang, meski jarang terjadi, ada juga tawar menawar secara korup untuk mendapatkan hak kewarganegaraan. Yahudi diminta sejumlah harta bendanya sesuai dengan kesepakatan untuk mendapatkan kewarganegaraan. Dari sejarah panjang yang kelam itu, puncaknya adalah peristiwa holocaust, yaitu genosida secara sistematis terhadap etnis Yahudi di Perang Dunia II.[6]
Namun, apabila dilihat lebih ke belakang—sebagaimana latar belakang yang melandasi setiap pergerakkan sosial—sebelum lahirnya Zionisme, Yahudi sudah mengalami anti-semitisme dari sejak abad ke-13 ketika diusir secara besar-besaran dari Inggris. Di abad ke-15 juga sama, Yahudi diusir dari tanah Iberia (lembah di sekitar Spanyol dan Portugis) secara besar-besaran.[7]
Di satu sisi orang-orang Yahudi memang tertindas, namun di sisi lain, pada saat itu Eropa sedang mengalami fase abad pencerahan yang memungkinan Yahudi untuk mengkristalilasi pergerakannya. Abad pencerahan adalah sebuah masa ketika politik, filsafat, ilmu pengetahuan, dan komunikasi di Eropa secara radikal mengalami fase rasionalisasi. Pada saat itu ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin lama dipertanyakan dan dikaji ulang. Abad pencerahan menghasilkan begitu banyak buku, tulisan, inovasi, penemuan, produk hukum, dan tentunya juga revolusi dan peperangan di berbagai tempat.[8] Dengan demikian, itu semua merupakan sebuah atmosfir yang ideal bagi pengkristalan pergerakkan yang nantinya di kemudian hari melahirkan Zionisme.[9]
Pada masa-masa itu, orang Yahudi mengalami dua jenis ketakutan. Pertama, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, mereka ketakutan mengalami siksaan-siksaan yang bersifat fisik. Kedua, pada dasarnya Yahudi adalah etnis yang eksklusif, dalam ajaran teologinya, Yahudi menganggap bahwa mereka adalah umat terpilih, kekasih Tuhan.[10] Sehingga pada saat abad pencerahan, di mana ketika negara-negara di Eropa mengalami proses modernisasi seperti emansipasi, nasionalisme, dan pengakuan hak warga negara, maka proses asimilasi adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Asimilasi bagi orang-orang Yahudi adalah sesuatu yang tidak dikehendaki, karena akan mencemari porsi mereka sebagai umat pilihan Tuhan. Shlomo Avineri, sejarawan Israel, mengatakan bahwa pada saat itu, terutama di daerah perkotaan, asimilasi adalah hal yang jauh lebih menakutkan ketimbang persekusi.[11] (PH)
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Lihat http://www.tutufoundation-usa.org/exhibitions.html, dalam Eve Spangler, Understanding Israel/Palestine, (Boston: Sense Publisher, 2015), hlm 3.
[2] Lebih lengkap mengenai sejarah kota Yerusalem dan kaitannya dengan Yahudi, lihat “Yerusalem (1)”, dari laman https://ganaislamika.com/yerusalem-1/, diakses 13 Desember 2017.
[3] Eve Spangler, Ibid., hlm 73.
[4] United States Holocaust Memorial Museum, “Jewish Population of Europe in 1933: Population Data by Country”, dari laman https://www.ushmm.org/wlc/en/article.php?ModuleId=10005161#, diakses 13 Desember 2017.
[5] Pogroms, diambil dari bahasa Rusia yang artinya “untuk menghancurkan, mendatangkan malapetaka, memusnahkan dengan cara kekerasan”. Kata tersebut pertama kali digunakan pada saat pecahnya gerakan anti-semitisme dalam bentuk kekerasan di Kekaisaran Rusia pada periode 1881-1884. Pada perkembangannya, makna kata ‘pogroms’ identik dengan ‘kekerasan yang dilakukan terhadap etnis Yahudi’. Di era modern, ‘pogrom’ juga bisa diartikan sebagai ‘kekerasan terhadap etnis tertentu., Dalam Hila Ratzabi, “What Were Pogroms?”, dari laman https://www.myjewishlearning.com/article/what-were-pogroms/, diakses 13 Desember 2017.
[6] Eve Spangler, Ibid., hlm 73.
[7] Ibid., hlm 76
[8] “Enlightenment”, dari laman http://www.history.com/topics/enlightenment, diakses 13 Desember 2017.
[9] Ibid., hlm 76
[10] Yahudi merasa sebagai umat terpilih digambarkan dengan baik dalam dialog antara Amos dan orang-orang Yahudi, selengkapnya lihat Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, 2002), terjemahan oleh Zaimul Am, hlm 79-80.
[11] Shlomo Avinieri. (1981). The Making of Modern Zionism: The Intellectual Origins of the Jewish State (New York: Basic Books), hlm 5, dalam Eve Spangler, Ibid., hlm 87.