Dengan diam menyendiri dalam kegelapan, manusia diajak melihat dirinya. Dibawa berpetualang mengarungi samudera kediriannya untuk bertemu dengan diri-Nya, yang menjadi manifes dan persemayaman Tuhan. Seperti ungkapan Yahya bin Muadz ar-Razi, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.” Menggemuruhkan ruang batinnya, dan memenuhinya dengan cahaya Tuhan.
Oleh: Khairul Imam
(Staf Pengajar IIQ An Nur Yogyakarta)
Pada salah satu scene dalam film The Messege, Nabi Muhammad ditampilkan sedang memandang tajam ke arah seseorang di atas tandu. Orang tersebut mempertanyakan, siapa gerangan laki-laki itu (Muhammad Saw). Kemungkinan orang tersebut adalah pendatang dari daerah lain, atau peziarah asing, sehingga tak mengenalnya. Padahal, jauh sebelum diutus menjadi nabi dan rasul, beliau adalah sosok yang telah banyak dikenal di masyarakatnya. Kiprahnya bersama istrinya, Khadijah, dan keluarganya sangat penting dalam peletakan kembali fondasi Ka’bah dan pembangunan masyarakat Mekah. Apalagi, sejak muda beliau telah masyhur dengan sebutan “Al-Amin” sosok yang terpercaya. Gelar yang diperoleh dari masyarakat atas rekam jejaknya sebagai orang yang tak pernah berdusta.
Memang, sebelum diutus menjadi nabi dan rasul, Muhammad adalah sosok yang paling sengit menentang penyembahan berhala meski belum ada perintah dakwah. Mungkin saja dia telah ‘membaca’ bahwa inilah salah satu misi yang akan diterimanya kelak. Sehingga terhadap para penyembah dan pembawa berhala, dia tampak marah dan benci, walaupun sejatinya dia sangat iba dan kasihan.
Mendekati masa turunnya wahyu Al-Quran, Muhammad mulai sering berkhalwat di gua Hira. Da ber-tahannuts, satu lelaku menjauhkan diri dari perbuatan dosa, yang kemudian berkembang menjadi proses penyucian diri terbaik guna membangun jiwa raga dalam beribadah kepada Tuhan. Proses ini membutuhkan kesabaran tinggi karena harus menyendiri dan meninggalkan sanak famili selama beberapa hari, bahkan beberapa bulan.
Ini menjadi satu keniscayaan bahwa sebuah bejana yang akan menampung ‘air suci’ maka harus disucikan dahulu, terlebih bejana itu yang akan menampung Kalam Tuhan. Maka, harus bersih dan suci agar dapat menyimpan dan mengalirkan mata air kesucian. Sama halnya dengan peristiwa pembelahan dada Nabi sewaktu kecil yang didatangi dua malaikat untuk mencuci hatinya. Satu proses awal penyucian ruhani yang akan memastikan perjalanan calon nabi dalam penjagaan alam malakuti. Sehingga kehidupan yang akan dijalaninya terbebas dari gangguan sampah-sampah zaman yang berserak di sekitarnya.
***
Menjelang turunnya wahyu, tanda-tanda kenabian semakin benderang. Beberapa tanda di antaranya seperti ada sebuah batu di Mekah yang mengucapkan salam kepadanya,[1] dan mimpi-mimpi yang tampak begitu nyata yang dikenal dengan ar-ru’yah ash-shalihah (mimpi yang baik) dan ar-ru’yah ash-shadiqah (mimpi yang benar).[2]
Nabi Muhammad pun bermimpi seakan menyaksikan cahaya subuh, lalu keinginan untuk menyendiri semakin kuat. Dia pun mulai berangkat menuju gua Hira, kemudian kembali lagi hingga beberapa saat. Sampai suatu malam, dia berpamitan kepada istrinya, Khadijah, dan dia pun mempersiapkan bekalnya.
Muhammad berkhalwat untuk mempertajam visinya. Uzlahnya ke gua Hira di atas bukit itu bagi sebagian kalangan dapat memperluas spektrum visinya. Memperluas pandangan dunianya yang tak lagi terbatasi sekat-sekat geografis. Akan tetapi, tak semua orang mampu memahaminya, seperti ungkapan Abu Thalib (Andre Morell), “Manusia memandang dunia lebih baik dari atas gunung.”
Puncaknya, saat beliau berada dalam gua di tengah gulita, Malaikat Jibril datang seraya berkata: “Bacalah!” beliau menjawab, “Aku tak bisa membaca.” Kalimat perintah itu dijawab dengan jawaban yang sama berkali. Lalu Malaikat memegang dan merengkuhnya begitu kuat. Lantas malaikat itu pun melepaskannya seraya berkata lagi: “Bacalah!” “Aku tak bisa membaca!” Jawabnya. Peristiwa pertama terulang kembali.
Kemudian, kali ketiga malaikat itu pun memegang dan merangkulnya kuat-kuat, lalu melepaskannya sembari berkata: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.” Demikian cerita Muhammad yang disampaikan oleh Zaid bin Haritsah (Damien Thomas), yang juga terekam dalam Shahih al-Bukhari.
Zaid melanjutkan dengan terbata-bata, “Ketika Muhammad hendak pergi meninggalkan gua, tiba-tiba terdengar suara dari langit, ‘Wahai Muhammad, engkau sekarang adalah utusan Allah (Rasulullah). Dan aku adalah Jibril. Lantas, Nabi pulang dalam keadaan gemetar, dan bergegas masuk rumah Khadijah seraya berkata, ‘Selimuti aku, selimuti aku.’ Maka Khadijah pun menyelimutinya hingga rasa takutnya mulai reda. Nabi bertanya lagi, ‘wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku ini?’ Lalu Nabi menceritakan kejadian yang dialaminya, kemudian mengatakan, ‘aku sangat khawatir terhadap diriku.’” Khadijah menenangkannya seraya berkata, “Sampaikanlah suamiku, dan tegarlah. Demi Allah, dan engkau telah memiliki hatiku. Aku berharap engkua menjadi nabi untuk umat ini.”
Dalam situasi demikian, Abu Thalib adalah sosok yang paling khawatir dengan kondisi Muhammad. Karena itu, dia menanyakan siapa saja yang telah mengetahui informasi ini. Zaid pun mengatakan bahwa yang mengetahui persoalan kenabian ini hanya Khadijah, Ali, dan Abu Bakar. Sementara Zaid merasa bukan dari keluarganya, melainkan anak angkatnya. Kemudian Abu Thalib menyuruh Zaid agar merahasiakan informasi ini jangan sampai terdengar oleh penduduk Mekah. Dan menyampaikan kepada Muhammad bahwa pamannya yang melindunginya sejak kecil akan senantiasa melindunginya.
Ada hal menarik di balik peristiwa ini yang tak divisualkan oleh Aqqad, bagaimana Khadijah meyakinkan Muhammad yang saat itu dalam puncak kegalauan. Maka Khadijah berkata kepada Muhammad, “Jangan pernah sekal-kali takut! Demi Allah, Dia tak akan menghinakanmu selamanya. Sesungguhnya engkau adalah orang yang menyambung silaturahmi, pemikul beban orang yang kesusahan, pemberi makan orang miskin, senantiasa menghormati tamu, serta menolong orang yang membela kebenaran.”
Segera setelah mengetahui kenabian Muhammad, Khadijah pun membawa beliau kepada saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal, yang telah berusia lanjut dan tak bisa melihat dan berjalan lagi. Setelah Waraqah mendengar cerita bahwa Nabi telah menerima wahyu, dia langsung menyahut, “Itulah malaikat Tuhan (Namus) yang pernah diutus kepada Musa!” Sembari menunjukkan ayat yang diramalkan oleh Nabi Musa, dia berkata, “Semoga saya masih hidup ketika engkau diasingkan oleh kaummu.” Dengan nada keheranan, Nabi pun bertanya kepadanya, “Apakah itu mungkin, sekalipun orang itu diasuh oleh sanak keluarganya sendiri?” “Ya.” Jawab Waraqah. Dia pun menambahkan, “Demikian ini adalah perlakuan yang pernah dirasakan oleh setiap nabi.” Tak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, dan dimasukkan sebagai sahabat Nabi karena telah menguatkan risalahnya, sekaligus membenarkan misi dakwahnya.[3]
Kalimat motivasi Khadijah di atas menandakan bahwa modalitas sosial dari masyarakat Mekah telah dia peroleh sejak muda. Bahkan beliau dan keluarganya menjadi sangat terhormat di mata mereka. Terutama setelah pernikahannya dengan Khadijah, Muhammad menjadi sosok yang kaya raya yang memiliki modal kapital dengan nilai tambah berupa ketinggian budi pekerti. Muhammad adalah sosok pemuda sekaligus ayah yang bijaksana. Tak diragukan lagi kebaikan dan kelembuatan sikapnya menjadi buah bibir yang tak pernah selesai diperbincangkan.
Maka dari itu, gambaran Aqqad dalam film tersebut menjadi tampak nyata, ketika para penentang Muhammad semula bukan masyarakat Mekah secara keseluruhan, melainkan hanya segelintir orang. Mereka masih menyisakan keseganan dan menaruh hormat kepada pribadi dan keluarganya. Namun, yang sedikit itu adalah para pembesar dan penguasa Mekah, yang memegang tampuk kebijakan. Dengan kebijakan mereka itulah, mereka kemudian mengarahkan sebagian besar masyarakat waktu itu untuk memusuhi Muhammad saw. (KI)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Hadis itu secara gamblang berbunyi, “Sesungguhnya aku mengetahui ada sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus menjadi nabi. Dan sampai sekarang aku masih mengenalnya.” Imam Muslim, Shahih Muslim, bab fadhlu nasab an-nabiy wa taslim al-hajar, juz. 11, hlm. 381, no. 4222 dalam al-Maktabah Asy-Syamilah, v.2.11
[2] Dalam riwayat Muslim disebutkan, salah satu dari 46 tanda kenabian melalui mimpi yang benar. Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim, juz. 11, hlm. 356, no. 4203 dalam al-Maktabah Asy-Syamilah, v.2.11
[3] Maulana Muhammad Ali, Muhammad The Prophet (Lahore-USA: The Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam, 1993), hlm. 39-40 e’>