“Beberapa ulama salaf menyendiri dalam rumahnya, berkhalwat dengan Rabb-Nya, hingga seseorang bertanya padanya: ‘tidakkah engkau kesepian?’ ia menjawab: ‘bagaimana mungkin aku merasa kesepian jika Allah berfirman; ‘Aku adalah teman duduk orang yang berdzikir mengingatku’.”
Pada hari-hari terakhir bulan Ramadhan, semangat ibadah ummat Islam sedang diuji walaupun banyak sekali riwayat kemuliaan Lailatul Qadr pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan. Sebagian orang sudah tidak sabar menghadapi hari raya karena merindukan acara kumpul keluarga dan segala rentetan tradisi hari raya lainnya.
Hal ini berkebalikan dengan para Ulama Salaf yang sangat sedih akan perpisahannya dengan bulan mulia ini.
ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ : ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳُﺒَﻠِّﻐَﻬُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻧَﺎﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻘَﺒَّﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ[1]
Sebagian ulama salaf berkata: “mereka (para ulama salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dapat merasakan bulan Ramadan, kemudian pada enam bulan lainnya mereka berdoa kepada Allah supaya Allah menerima amalannya di bulan Ramadhan.
Maka tidak heran jika Rasulullah Saw pernah bersabda bahwa periode salaf adalah sebaik-baiknya manusia.
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ” خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ”[2]
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.
Lalu bagaimanakah cara mereka menghidupkan sepuluh malam terakhir Ramadhan sekaligus mempersiapkan diri mereka menghadapi perpisahan dengan bulan mulia yang mereka nanti-nantikan?
Ulama Salaf dalam Meraih Lailatul Qadr
Tentu saja yang menjadi motivasi serta semangat mereka untuk meraih malam mulia adalah meneladani amalan Rasulullah Saw. Terdapat beberapa amalan yang biasa Rasulullah lakukan, diantaranya adalah;
Pertama, menghidupkan malamnya (qiyamullail) setidaknya dengan melakukan sholat ‘isya berjamaah serta subuh berjamaah.[3]
Kedua, membangunkan keluarganya (untuk melaksanakan ibadah). Bahkan terdapat hadith shahih yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw mengetuk pintu Siti Fatima dan Sayyidina Ali di malam hari kemudian berkata “tidakkah kalian bangun kemudian melaksanakan sholat?”, dari hadith yang lain juga disebutkan bahwa Rasulullah Saw membangunkan Siti Aisyah di malam hari ketika ingin melaksankan shalat witir setelah menyelesaikan tahajjudnya.[4]
Hal ini kemudian diteladani oleh Sayyidina Umar bin Khattab yang melaksanakan shalat malam dan jika tiba saat seperdua malam, ia membangunkan keluarganya dan berkata “shalat, shalat” kemudian membaca surat Taha ayat 132 yang berarti: “Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya.”
Ketiga, menunda berbuka puasa hingga waktu sahur. Namun, telah ditegaskan dalam hadith shahih bahwa nabi melarang ummatnya menyambung puasanya dengan tidak berbuka puasa (Wiṣāl).[5] Ibn Jazir kemudian menegaskan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah menyambung puasanya kecuali menunda makan malamnya hingga tiba waktu sahur,[6] hal ini diperbolehkan bagi mereka yang kuat dan makruh bagi yang lain. Serta diperbolehkan pula bagi mereka menyambung puasanya jika dengannya merasa lebih semangat dalam beribadah tanpa berpikir tentang minuman (tidak terganggu fokusnya karena lapar maupun haus).[7]
Keempat, mandi diantara adzan maghrib dan isya. Tradisi ini kemudian dilakukan oleh para salaf dimana mereka menganjurkan pada malam lailatul Qadr untuk membersihkan diri, berhias, menggunakan parfum, serta baju yang baik sebagaimana disyariatkan di hari raya.[8]
Kelima, berdiam diri di masjid (I’tikaf).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رضى الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ [9].
Ibn Umar menyatakan bahwa Nabi Saw beri’tikaf pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan.
I’tikaf Nabi Saw pada malam-malam tersebut dengan menyendiri dan mermunajat kepada Allah dengan berdzikir dan berdoa. Sehingga Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang beri’tikaf tidak dianjurkan untuk berbaur dengan orang lain bahkan mengajarkan suatu ilmu ataupun membacakan al-Qur’an, melainkan yang utama adalah menyendiri dan bermunajat kepada Allah dengan dzikir dan doa.
Beri’tikaf berarti fokus dalam ketaatan kepada Allah, memutus dirinya dari segala perkara yang menyibukkannya, mendedikasikan jiwa dan raganya untuk Allah dengan segala hal yang dapat mendekatkan dirinya pada Allah, sehingga tidak ada lagi yang tersisa kecuali Allah dan segala yang diridhoi-Nya.
Beberapa dari mereka (para salaf) masih saja menyendiri dalam rumahnya, berkhalwat dengan Rabb-Nya, hingga seseorang bertanya padanya: “tidakkah engkau kesepian?” ia menjawab: “bagaimana mungkin aku merasa kesepian jika Allah berfirman; “Aku adalah teman duduk orang yang berdzikir mengingatku”.[10]
Masih banyak sekali amalan yang dilakukan para salaf yang tak henti-hentinya berharap kepada Allah SWT dengan meneladani sikap dan kebiasaan Rasulullah Saw. Maka hendaknya, seorang muslim bersemangat dalam mengamalkan segala amal kebaikan tersebut dalam meraih lailatul Qadr. Namun, jangan sampai seseorang yang sedang berjuang meraih lailatul Qadr masih memiliki rasa sombong dan merasa lebih baik daripada lainnya.
Sebagaimana dikatakan Ibn Rajab di kitabnya;“Wahai saudaraku, yang terpenting adalah bagaimana amalan kita diterima bukan hanya bergantung pada usaha semata, sebab parameternya adalah hati bukan dengan tindakan fisik. Betapa banyak orang yang bangun (qiyamullail) namun tidak mendapatkan Rahmat sedangkan orang yang tidur mendapatkan Rahmat. Sebab mereka tidur dengan hati yang selalu berdzikir, ingat kepada Allah, sedangkan mereka yang bangun hatinya malah dalam keadaan fajir (maksiat kepada Allah)”[11]
Menjelang Perpisahan dengan Bulan Ramadhan
روي عن علي: قال: كونوا لقبول العمل أشد اهتماما منكم بالعمل، ألم تسمعوا الله عز وجل يقول: اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ (المائدة 27)
Diriwayatkan dari Ali ra., ia berkata: jadilah orang-orang yang lebih memperhatikan bagaimana suatu amal perbuatan itu diterima bukan hanya memperhatikan aksi (amal) semata. Tidakkah kau dengar bahwa Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Allah menerima (amal) dari orang-orang yang bertaqwa.
Maka tidak heran jika mereka begitu khusyu’ beribadah selama Ramadhan agar amal ibadahnya diterima Allah. Salah seorang sahabat Nabi Saw, Faḍāla bin ʿUbaid, berkata: “Mengetahui bahwa Allah telah menerima ibadahku seberat biji sawi lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya”.
Sebagian ulama Salaf bersedih ketika hari raya Idul Fitri, hingga seseorang berkata padanya: “hari ini adalah hari penuh keceriaan dan kebahagiaan”. Ia kemudian menjawab: “engkau benar, tapi aku hanyalah seorang hamba yang telah Tuhanku perintahkan untuk beramal, sedangkan aku tidak dapat mengetahui apakah amalku diterima atau tidak?”[12]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Ghibah adalah pembakar puasa, dan istighfar adalah penambalnya. Maka, barang siapa yang mampu puasa (untuk menambalnya), maka lakukanlah.” Maka dari itu, dahulu para ulama salaf ketika shalat selalu beristighfar atas kelalaiannya sebagaimana pendosa beristighfar atas dosanya.[13]
Ibn Rajab kemudian berkata: “jikalau itu adalah keadaan orang-orang yang baik dalam beribadah, bagaimana dengan keadaan orang-orang yang buruk seperti kita? Maka sayangilah mereka yang masih merasa buruk atas segala kebaikannya dan merasa lalai atas segala ketaatannya.”
Demikianlah bagaimana para Salaf begitu mencintai Ramadhan dan menghargai setiap detik waktunya. Maka hendaklah seorang Muslim berdoa dan memohon ampun kepada Allah pada hari-hari yang tersisa di bulan Ramadhan, sebab hidup penuh dengan misteri apakah ia akan sampai pada Ramadhan berikutnya atau tidak?!. (NSS)
Catatan kaki:
[1] Ibn Rajab, Laṭā’if al-Maʿārif, Riyāḍ: Dar Ibn Khuzayma, 232.
[2] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Vol. 62, no. 3.
[3] Ibn Rajab, Laṭā’if al-Maʿārif, 426.
[4] Ibid., 431.
[5] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Vol. 37, no. 72.
[6] Ibid., no. 70.
[7] Ibn Rajab, Laṭā’if al-Maʿārif, 433.
[8] Ibn Rajab, Laṭā’if al-Maʿārif, 437.
[9] Muslim, Shahih Muslim, Vol. 14, no. 1.
[10] Ibn Rajab, Laṭā’if al-Maʿārif, 437-438.
[11] Ibid., 442.
[12] Ibid., 475.
[13] Ibid., 483