Mengapa Hukum-Hukum Islam Berbeda?

in Studi Islam

Prof. Dr. Sobhi Mahmassani dalam kitabnya Falsafatut Tasyri’ fil Islam, mengatakan beberapa sebab timbulnya perbedaan faham dalam menetapkan hukum-hukum Islam furu’ (cabang) sebagai berikut: “kenyataan dalam, bahwa pandangan hidup masyarakat itu berubah-ubah dengan berubah zaman dan tempatnya. Dan oleh karena syariat dan hukum Islam merupakan gambaran daripada masyarakat-masyarakat kaum muslimin, tak dapat tidak ia berbekas juga dalam kehidupan mereka. Pengaruhnya ternyata dalam perbedaan paham tentang Syariat Islam dan memahaminya karena berbeda masa dan Negara, sehingga kita lihat umat itu berbeda coraknya karena berbeda adat dan kebiasaannya, lebih lanjut berbeda cita-citanya dan semangatnya. Atas dasar ini terjadilah perbedaan faham, terutama dalam menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Quran serta bermacam-macam sunnah, untuk menetapkan hukum furu’. Perbedaan faham ini dalam Syariat Islam memang banyak, yang kemudian melahirkan mahzab-mazhab, Mazhab ‘Iyatidak dalam ilmu kalam, Mazhab Akhlak dan Adab, dan Mazhab Fiqh serta Mazhab dalam Tasawwuf, yang dinamakan Tharikat. Meskipun demikian ada kedekatan antara satu sama lain disebabkan dasarnya bersamaan.”

Ibnu Khaldun dalam kitab Muqqadimah, menjelaskan bahwa pergaulan manusia itu paling pokok. Ahli-ahli filsafat harus menganggap penting memperhatikan masyarakat, yang kadang-kadang sudah campur aduk antara penduduk kota dan penduduk desa, sehingga berlainan keperluannya. Manusia tidak mungkin hidup kecuali dengan bermasyarakat dan tolong-menolong antara satu sama lain dalam mencari makan dan barang-barang yang dibutuhkan. Mereka terpaksa bekerja sama, Muamalat, dan mencari apa keperluannya, kadang-kadang sampai kepada tabiat hewan, berbuat zalim dan bermusuh-musuhan satu sama lain, bahkan saling membunuh. Maka tidak mungkin mereka akan hidup terus kecuali diadakan peraturan dan hukum bagi mereka untuk menjaga keadilan dan ketentraman, hukum-hukum yang telah berpilin dengan adat sukunya, dengan agama dan keyakinannya, dengan adat dan akhlaknya, yang oleh Islam diberi kemerdekaan, asal tidak membawa kemusyrikan.

Maka dengan demikian terjadilah perbedaan sedikit-sedikit dalam hukum furu’, karena dalam penetapan hukum itu diperhatikan masa dan musim, keadaan alam dan tempat, adat kebiasaan dll.

Apakah hukum usul yang sudah ada dapat diubah untuk keperluan umat yang bermacam-macam, seperti dijelaskan sebelumnya? Ibnu Khaldun berkata bahwa keadaan alam, umat, adat istiadatnya bermacam-macam keyakinannya, tidak tetap dan kekal, tetapi berubah-ubah menurut hari dan zamannya, dan berpindah keadaannya dari suatu corak kepada corak yang lain.

Kalau bertentangan dengan hukum pokok dalam Islam, apakah dapat diubah (taghyirul ahkam)?

Oleh karena masyarakat itu pada hakikatnya berubah, karena berubahnya kemaslahatan manusia, dan karena kemaslahatan manusia itu adalah dasar tiap-tiap syariat agama, adalah masuk akal bahwa dapat dilakukan perubahan hukum dengan adanya perubahan zaman. Ibnul Qayyim tepat sekali memberikan keputusannya, bahwa perubahan fatwa dan perbedaan pendapat dapat dilakukan karena perubahan masa, tempat, hal-ihwal, dan adat-istiadat. Ia mengatakan seterusnya, bahwa tindakan ini nyata, dan tidak dikerjakan orang karena mereka tidak paham tentang ini, adalah kesalahan besar dalam syariat lalu mewajibkan kesukaran-kesukaran dan memberatkan sesuatu yang tidak ada dasarnya, karena tidak mengetahui bahwa syariat (Islam) yang gilang-gemilang itu, sudah sampai kepada puncaknya dalam memberikan sesuatu hukum sesuai dengan kemaslahatan umat. Menurut Mahmassani mengenai perubahan hukum dan perbedaan ijtihad serta perubahan nash bahwa pokok-pokok mengenai perubahan terdapat dalam sejarah agama-agama yang lama dan agama-agama yang baru, dan didalam peratutan-peraturan zaman sekarang berjalan dengan tidak dapat dibendung. Apabila ada suatu nash, maka nash itu harus diubah dengan nash yang lain, sebisa mungkin yang derajatnya setingkat, misalnya ayat Quran dengan ayat Quran, Sunnah dengan Sunnah.

Adapun dalam kalangan orang Islam, ahli Fiqh dan Mujtahid kebanyakannya menerima kaidah perubahan hukum (taghyirul ahkam), tetapi mereka berbeda paham dalam membolehkan perubahan ini, yaitu apabila adalah sesuatu perbuatan mempunyai nash yang jelas dari Quran dan Sunnah, maka akan sulit dalam hal yang demikian itu kembali kepada sifat syariat Islam dan kepada nash yang suci.

Maka apabila adalah nash itu untuk perkara agama dan ibadat  hal itu tetap tidak boleh diubah, karena ushuluddin dan kaidah tauhid dan iman adalah hakikat kebenaran yang satu pada ajali dan abadi, wajib dilaksanakan dan dipegang nash-nya. Karena agama itu wajib bagi tiap-tiap yang hidup sampai hari kiamat, diseluruh permukaan bumi maka tidaklah dapat perubahan hukum dilakukan, karena perubahan zaman dan tempat, tidak pula karena berubah keadaan. Apa yang tetap wajib tetap demikian pada tiap-tiap keadaan tetapi apabila nash itu mengenai urusan muamalat duniawi, maka pokoknya dalam perubahan itu melihat kepada maksudnya dan kepada sebab-sebabnya ada hukum untuk itu. Demikian semua ulama setuju. Hanya mereka berbeda faham dalam mengubah sesuatu hukum yang telah tetap dan ditetapkan dengan nashnya.

Pendapat yang berlaku dalam kalangan ulama fiqh adalah bahwa tidak diterima suatu perubahan yang ada nash dari Quran dan sunnah tidak diperbolehkan mengubahnya dengan sebab berubah keadaan. Bahkan diharamkan berfatwa dengan sesuatu yang menyalahi nash, dengan membawa perubahan ‘uruf, memudahkan yang sukar dan meringankan yang berat pada masalah-masalah yang tidak ada. Demikianlah yang terakhir ini pendapat Imam Abu Hanifah, sahabatnya Muhammad, Imam Syafi’i, dan Daud Zahili.

Tetapi Umar bin Khattab dalam tindakannya banyak sekali mengadakan perubahan hukum dan nash, misalnya dalam perkara pembagian zakat kepada mualaf, dalam perkara talak, dalam perkara menjual budak, dalam perkara potong tangan, dalam perkara zina, dan dalam perkara ta’zir.

Dengan demikian terjadilah banyak mazhab-mazhab yang berlainan fahamnya dalam menetapkan hukum islam. (SI)

 

Sumber:

Aboebakar Atjeh, Ilmu Fiqh Islam dalam Lima Mazhab, Islamic Research Institute, Jakarta, 1977.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*