“Pada akhirnya Khidir tetaplah kekayaan Tuhan yang tersimpan rapat. Orang tidak pernah tau di mana dia sekarang ini, di mana rumahnya, dan seperti apa kehidupaannya. Orang bahkan hanya mengenalnya dengan warna. Ya, warna. Khidir, dalam bahasa Arab, merujuk hijau, warna kehidupan.”
—Ο—
Setelah Nabi Musa As bertemu dengan Khidir, terjadilah perbincangan antara keduanya, yang membuat banyak ulama mengernyitkan dahi. Perbincangan ini secara jelas menggambarkan jarak kedudukan antara kedua hamba yang agung ini. Bagaimanapun Musa As adalah nabi yang masuk dalam kategori Ulul Azmi, dia dikaruniai mukjizat yang banyak, Allah SWT berbicara langsung padanya dan Taurat datang padanya tanpa perantara. Tapi kali ini dia begitu merendah di hadapan hamba yang Allah muliakan ini. Beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Musa benar-benar menghadirkan dirinya sebagai murid yang penuh kerendahan hati, dan Khidir menampilkan ketegasan yang penuh wibawa.
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ (QS. al-Kahfi: 66-68)
Jawaban Khidir kepada Musa menghubungkan antara kesabaran dengan pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat relevan. Sebab orang memang sering tidak bersabar atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Ali bin Abi Thalib ra, pernah berkata: “Manusia adalah musuh apa yang tidak diketahuinya”.[1]
Tapi mendengar jawaban Khidir, Musa justru menegaskan niatnya untuk bersabar dan tidak akan menentang Khidir dalam suatu urusan apapun. Mendengar jawaban Musa, akhirnya Khidir memberikan syarat, agar Musa jangan menanyakan apapun sampai nanti Khidir sendiri yang akan menerangkan semua tindakannya pada Musa.[2] Setelah mengikat perjanjian, keduanya akhirnya berjalan. Al Quran menceritakan kisah perjalanan dua manusia agung ini dalam surat al-Kahfi: 71-82 sebagai berikut:
“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’
Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.’
Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’
Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.’
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’
Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'”
Di awal perbincangan antara Khidir dan Musa dikatakan, “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu”. Namun di akhir kisah Khidir berkata – setelah menjelaskan tujuan-tujuan baik dari semua yang dilakukannya – bahwa semua tindakannya bukan berasal dari kemauannya, dan tujuan-tujuan baik itulah yang menjadi sebab perbuatan Khidir, yang karena kekurang-tahuan Musa, maka ia tidak dapat bersabar ketika menyaksikan semua perbuatan tersebut, “…Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'”
Dari perspektif orang awam, kita setidaknya bisa menginsyafi, bahwa rahmat Allah meliputi segala sesuatu, termasuk setiap kejadian dan rangkaian peristiwa yang kita lalui setiap saat. Tidak ada sesuatupun yang mewujud tanpa diliputi oleh Rahmat Allah, termasuk masa lalu, kini dan masa depan. Semua terangkai indah dalam naungan rahmatnya.
Dari tinjauan yang lebih dalam, kita bisa menilai bahwa ayat-ayat di atas mengisahkan perbedaan sudut pandang Nabi Khidir yang telah disingkapkan padanya alam gaib dan Nabi Musa yang hanya melihat secara indrawi. Kisah ini secara sederhana ingin mengemukakan sedikitnya tiga hal: pertama, alam eksistensi terdiri dari aspek yang tampak (syahadah) dan aspek yang tak tampak (ghaib); kedua, dua aspek ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi; ketiga, pengetahuan seseorang tentang aspek gaib pasti akan mempengaruhinya di alam nyata. Oleh sebab itu, makin luas ilmu gaib yang diberikan Allah pada seseorang, makin berbeda pula perilaku orang itu di alam indrawi.[3]
Bagaimanapun, semua uraian di atas hanyalah salah satu kemungkinan hikmah yang bisa dipetik dari kisah luar bisa ini. Karena hakikatnya, kisah di dalam Al Quran pastilah memiliki hikmah yang jauh lebih luas dan dalam. Siapapun pasti akan kelelahan menyelami hakikat setiap huruf, kata, dan kisah yang tetuang di dalamnya. Demikian juga dengan kisah perjalanan Khidir dan Musa. Meski begitu, di kalangan umat Islam, kisah ini demikian masyhur dan dituturkan mulia dari sekolah dasar hingga kalangan mufasir kawakan.
Setiap orang, mulai dari yang paling awam hingga ulama dapat meraup hikmah dari kisah perjanan Khidir dan Musa. Meskipun kisah ini sebenarnya dilingkupi berbagai kesamaran. Dalam kisah ini tidak ada nama tempat yang jelas. Tidak ada waktu yang menunjukkan kapan dan berapa lama proses belajar itu terjadi. Bahkan tokoh utama dalam cerita inipun tidak jelas sosoknya, usianya, perawakannya, bahkan namanya. Setiap mufasir sudah berusaha secara optimal untuk menjelaskannya. Namun kisah ini masih tetap memeram misteri dan kedalaman hikmah yang tinggi. Sebagaimana Musa Kazhim & Alfian Hamzah sampaikan dalam bukunya, “Pada akhirnya Khidir tetaplah kekayaan Tuhan yang tersimpan rapat. Orang tidak pernah tau di mana dia sekarang ini, di mana rumahnya, dan seperti apa kehidupaannya. Orang bahkan hanya mengenalnya dengan warna. Ya, warna. Khidir, dalam bahasa Arab, merujuk hijau, warna kehidupan.”[4] (AL)
Selesai
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi, Jakarta, Lentera, 2002, hal. 115
[2] QS. al-Kahfi: 69-70
[3] Lihat, Musa Kazhim, hal. 115
[4] Lihat, Musa Kazhim & Alfian Hamzah, Op Cit, hal. 4-5