الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”. (QS. Surat At-Taubah: 20)
Mekah, 11 September 622 Masehi, langkah suci Sang Nabi dengan tenang meninggalkan rumah yang sudah dikepung oleh kaum kafir Quraisy. Beliau berjalan keluar kota Mekah pada malam hari menuju Madinah.
Beberapa hari sebelumnya, orang-orang kafir Mekah panik. Secara tiba-tiba lembah atau syi’ib Abu Thalib kosong.[1] Satu persatu kaum muslimin meninggalkan Mekah menuju Madinah. Mereka mengendap keluar dari kota pada waktu malam atau siang hari secara berkelompok maupun sendiri-sendiri. Hingga kaum muslimin yang tersisa di kota itu sekarang tinggal Muhammad Saw, Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan putri-putri Nabi Saw, Ummu Kultsum dan Fatimah Az Zahra.
Kegentingan ini membuat mereka melakukan rapat darurat di Darun Nadwah.[2] Semua pemuka klan di Mekah hadir di sini termasuk dari klan Bani Hasyim yang diwakili oleh Abu Lahab. Menurut Thabari, tokoh-tokoh Quraisy yang hadir pada waktu itu 40 orang.
Mereka mencari strategi pamungkas untuk mengakhiri dakwah Muhammad Saw selamanya. Beragam usulan muncul, mulai dari hukuman seumur hidup, pengusiran dari kota Mekah, hingga usulan untuk membunuh Nabi Saw.
Khusus untuk usulan terakhir ini, beberapa dari mereka tidak sepakat, karena apabila Nabi Saw di bunuh, maka otomatis klan Bani Hasyim akan menuntut balas, dan ini akan mengakibatkan perang saudara. Sampai akhirnya, dari semua usulan yang muncul, mereka sepakat untuk memakai usulan Abu Jahal.[3]
Dalam sejarah suku Quraisy, usulan Abu Jahal ini tidak pernah digunakan pada siapapun. Dan mungkin juga tidak pernah terpikirkan oleh siapapun di masa itu.
Dia mengusulkan agar setiap klan mengutus perwakilannya untuk bersama-sama membunuh Muhammad Saw. Setiap perwakilan klan harus menebaskan pedangnya ke tubuh Muhammad Saw hingga tewas. Dengan demikian, tidak ada satupun dari kalangan Bani Hasyim yang akan menuntut balas atas kematiannya. Usulan ini akhirnya disepakati secara aklamasi oleh semua yang hadir.
Sebagaimana yang sudah direncanakan, semua pemuda dari setiap suku berkumpul dan melakukan pengepungan pada rumah Nabi Saw.
Tidak main-main, yang melakukan pengepungan ini adalah orang-orang terbaik dari setiap klan yang ada di Mekah. Sejak sore hari mereka sudah mengunci pekarangan rumah Muhammad Saw dengan pagar betis. Semua skenario sudah diperhitungkan, dan mereka bersepakat untuk membunuh Sang Nabi.
Begitu malam menjelang, mereka mulai melakukan provokasi dengan melempari rumah Nabi Saw dengan batu. Ini dilakukan untuk memancing Nabi Saw keluar, sebab bagi bangsa Arab, adalah aib bila mendobrak pintu rumah yang di dalamnya ada wanita.[4]
Sepajang malam, mereka mengintip dari celah-celah, dan memastikan bahwa di tempat tidur Nabi Saw masih ada orang, yang dengan demikian, Muhammad Saw masih di dalam.
Sampai di pagi hari, ada yang menyampaikan berita pada mereka bahwa Muhammad sudah meninggalkan Mekah sejak semalam. Berita ini sangat mengejutkan bagi mereka. Sehingga mereka mendobrak pintu rumah Muhammad, dan mendapati yang tidur di ranjang Nabi sejak semalam adalah Ali bin Abi Thalib. Menyaksikan ini mereka segera lari mengejar Rasulullah Saw, dan meninggalkan Ali bin Abi Thalib begitu saja.
Andai mereka tau apa yang akan dilakukan pemuda ini dalam berbagai pertempuran di masa depan, dimana setiap dari mereka akan merasakan tebasan pedang pemuda ini yang terkenal tiada tanding, tentu mereka akan membunuhnya.
Tapi Allah SWT punya rencana yang sempurna. Sekarang kekasih-Nya sedang berjalan memenuhi takdirnya untuk mengganapi risalah langit hingga akhir zaman. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lembah atau sya’ib Abu Thalib, adalah tempat “dikurungnya” klan Bani Hasyim yang dipimpin oleh Abu Thalib oleh Kafir Quraisy Mekah. Hukuman ini merupakan respon atas dakwah Nabi SAW yang tidak kunjung henti setelah diperingatkan berkali-kali oleh para pemimpin Kafir Quraisy. Tekanan yang dilakukan kaum kafir Mekah terhadap diri Nabi dan pengikutnya, dilakukan dengan berbagai cara, berupa boikot, pelecehan, penghinaan, penyiksaan, penganiayaan, pemenjaraan, isolasi, dan embargo. Kaum Jahiliyah tersebut membuat selebaran ke masyarakat yang berisi : 1) tidak boleh kawin dengan anggota keluarga Bani Hasyim; 2) tidak boleh melakukan jual beli dengan keluarga Bani Hasyim; 3) anggota keluarga Bani Hasyim tidak boleh keluar dari sya’ib Abu Thalib kecuali untuk melakukan umrah pada bulan syawal dan berhaji pada bulan suci. Aksi boikot ini berlangsung selama 3 tahun, atau sampai Rasulullah hijrah ke Madinah. Lihat, O. Hasem, Ibid, Hal. 97-98
[2] Darun Nadwah adalah balai pertemuan adat masyarakat Mekah waktu itu. Balai ini dibuat oleh leluhur Nabi Muhammad SAW yang bernama Qusay bin Qilab. Ia adalah orang pertama yang berhasil mempersatukan klan-klan yang ada disekitar Ka’bah. Mereka berdiskusi dan memecahkan berbagai persoalan di dalam balai pertemuan ini. sebagian masyarakat mempercayai bahwa Darun Nadwah, adalah bangunan tertua kedua setelah Ka’bah di kota Mekah.
[3] Menurut Ibn Hisham, nama sebenarnya Abu Jahal adalah ‘Amr, dan karena kecerdikannya, oleh orang-orang kafir Quraisy dia dinamakan Abu Al-Hikam (Bapak yang Bijak). Tapi dihadapan wajah kenabian, dia tak bisa menyembunyikan diri. Kepicikannya, kebodohannya dan perilakukan yang begitu kejam kepada Nabi Muhammad SAW, tidak bisa melestarikan julukan Abu Al-Hikam. Hingga hari ini, julukan Abu Al-Hikam tak pernah lagi diingat orang. Sejarah hingga kini mengenalnya dengan sebutan Abu Jahl (Bapak Kebodohan). Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, Hal 54
[4] Menurut O. Hasem, pada malam pengepungan ini, di rumah Nabi SAW ada 2 orang putri Nabi SAW, yaitu Ummu Kulsum dan Fatimah Az Zahra. Mereka kelak ikut dalam rombongan terakhir yang melakukan Hijrah. Rasulullah menunggu Ali bin Abi Thalib dan kedua putrinya di Quba, sebelum nantinya bersama-sama memasuki Madinah. Dalam versi yang agak berbeda, Syed Ameer Ali menyatakan bahwa yang ada di dalam rumah Rasulullah pada malam itu hanya Ali bin Abi Thalib. Tapi agaknya pendapat O. Hasem lebih tepat, mengingat cukup sulit memahami alasan Kafir Quraisy tidak mendobrak rumah Rasulullah bila ternyata di dalamnya hanya ada Nabi SAW, yang merupakan target utama pengepungan ini.