Pada tanggal 15 Juli 1099, Yerusalem berhasil direbut oleh Pasukan Salib. Tapi apa yang terjadi setelahnya, banyak disesalkan baik oleh umat Kristen, Yahudi, dan Islam. Pasukan yang mengatasnamakan agama ini, melakjukan pembantaian kepada penduduk Yerusalem, baik yang Muslim maupun yang Yahudi. Ibn Athir menyebut jumlahnya mencapai 75.000 orang.
Setelah berhasil menaklukkan Antiokhia, pada 13 Januari 1099, sisa kekuatan Pasukan Salib, melanjutkan perjalanan ke Yerusalem dengan dipimpin oleh Raymond of Saint-Gilles. Sedang Bohemond, lebih memilih untuk tinggal di Antiokhia, menjadi penguasa di sana, dan menanggalkan sumpahnya. Adapun Yerusalem, saat ini sudah berada di bawah kekuasaan Fatimiyah, setelah berhasil direbut pada bulan Agustus 1098, atau tak lama setelah Pasukan Salib menaklukkan Antiokhia.
Seperti seleksi alam, jumlah Pasukan Salib sekarang menyusut bahkan kurang dari setengahnya. Sebagian mereka ada yang tewas dalam pertempuran, terserang wabah penyakit dan desersi. Dari semula sekitar 150.000 personil , sekarang hanya tersisa sekitar 12.000 orang, itupun sudah termasuk dengan 1.500 orang prajurit berkuda.[1]
Dan akhirnya, pada tanggal 7 Juni 1099, untuk pertama kalinya, sebagian besar kontingen Pasukan Salib melihat Yerusalem. Eammon Gaeron menggambarkan ini sebagai momen yang mengharukan, dimana banyak di antara tentara Salib yang menangis ketika melihat tanah suci tersebut.[2]
Sedang di balik tembok kota, Gubernur Fatimiyah yang baru bernama Iftikhar ad-Dawla, langsung melakukan persiapan. Dengan sistem aparatur yang masih baru, dan tentara seadanya, dia memutuskan untuk bertahan di balik dinding kota Yeruslem, sambil dalam waktu bersamaan, dia mengirim utusan ke Mesir untuk meminta bantuan pada pemerintah pusat.[3]
Diperkirakan, jumlah armada yang dimilikinya hanya sejumlah 7000 orang, dengan 400 orang diantaranya pasukan elit. Untuk mengantisipasi pengkhianatan, sang gubernur mengusir semua orang Kristen dari Kota Yerusalem. Kemudian dia memerintahkan agar memenuhi tangki-tangki air di kota, setelah itu meracuni semua sumber mata air sehingga tidak bisa diminum oleh musuh. Selanjutnya, semua bahan makan di bawa masuk ke kota, dan akan di manage secara terpusat. Tujuannya, agar musuh tidak bisa memperbaharui pasokan logistiknya, dan mereka mampu bertahan setidaknya hingga datangnya bala bantuan dari Mesir.[4]
Ternyata semua persiapan yang dilakukan oleh Iftikhar ad-Dawla tersebut berhasil. Berdasarkan catatan mereka yang ikut dalam kontingen Pasukan Salib ini, menggambarkan bahwa ketika masa pengepungan kota Yerusalem, mereka dilanda oleh kekurangan makanan dan kehausan yang parah. Kekurangan air menjadi kendala utama, hingga mengakibatkan hewan dan manusia terancam mati kehausan.[5]
Kondisi ini membuat mereka tidak memiliki pilihan, selain mempercepat penaklukkan. Sebab bila proses penaklukan berlangsung lama, dan bala bantuan dari Mesir datang, maka bisa dipastikan usaha mereka selama ini akan kandas. Sedang mereka akan kesulitan mendapat bantuan. Satu-satunya bala bantuan terdekat yang bisa mereka dapat, hanya mungkin dari Antiokhia yang sekarang dikuasai oleh Bohemond. Tapi sebagaimana di kisahkan pada edisi sebelumnya, Bohemond sendiri menolak untuk melanjutkan perjalanan ke Yerusalem, dan menanggalkan sumpahnya.
Maka demikianlah, tak menunggu waktu lama, rencana penyerangan sudah mulai dibuat. Problem paling besar bagi Pasukan Salib adalah menembus benteng kota Yerusalem. Benteng ini terbangun solid mengelilingi seluruh kota Yerusalem sepanjang empat kilometer, dengan tingginya sekitar 18 meter dan tebal 3 meter.[6]
Dengan teknologi perang abad pertengahan, nyaris mustahil merobohkan benteng ini. Maka solusinya, Pasukan Salib membangun menara pengepung, yang bisa digerakkan sesuai dengan ritme serangan (moving tower). Di samping itu, selain berfungsi sebagai tangga, menara pengepung ini juga berfungsi sebagai benteng yang berjalan. Setidaknya, cukup kuat untuk menahan serangan anak panah ataupun tombak yang dilemparkan di dari dalam benteng.[7]
Catatan saksi mata dalam Perang Salib menyebutkan bahwa mereka membangun dua menara pengepung. Menara ini terbuat dari kayu yang dibawa bermil-mil jauhnya, ditambah dengan sedikit bahan baku dari kolega mereka dari Inggris dan Genoa yang baru bergabung menjelang akhir bulan Juni. Ini menunjukkan bahwa perencanaan pengepungan Yerusalem memang sudah matang diperhitungkan sejak jauh hari.[8] Tapi informasi ini justru menunjukkan keanehan, bagaimana mungkin mereka bisa membawa bahan baku menara sejauh itu, tapi mereka lupa menyiapkan bekal makanan dan logistik yang memadai?
Dengan dua menara ini, rencananya mereka akan menyerang tembok kota Yerusalem dari dua arah. Dengan begitu jelas mempermudah memecah pertahanan Fatimiyah di dalam benteng. Mengingat pasukan Fatimiyah hanya berjumlah 7000 personil. Jumlah ini tentu tidak akan cukup untuk melindungi setiap lini dari benteng yang luas itu. [9]
Dibutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk mempersiapkan semuanya. Dan pada tanggal 13 Juli 1099, serangan umum pun langsung digelar. Para komandan Pasukan Salib menaiki menara ini dan memberi komando dari sana. Sedang pasukannya akan menggunakan menara tersebut sebagai tameng.[10]
Hanya butuh sekitar dua hari, pada tanggal 15 Juli 1099, pasukan yang dipimpin oleh Raymond berhasil memasuki benteng dan menghabisi para penjaganya. Pintu gerang kotapun terbuka, dan Pasukan Salib berhaburan memasuki kota. Pertahanan Fatimiyah kocar-kacir, tak mampu menahan laju serangan tersebut.[11] Dengan demikian, Kota Yerusalem sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Pasukan Salib.
Tapi yang terjadi setelah itu justru mengejutkan. Seperti terlepas dari tujuan spiritual mereka, Pasukan Salib membantai penduduk Yerusalem, baik Muslim maupun Yahudi. Kisah pembantaian ini banyak dicatat oleh sejarawan, dan sangat disesali baik oleh sejarawan timur dan barat. Bahkan orang-orang Kristen yang hidup pada masa itu pun terkejut dengan perilaku para tentara Salib ini.[12]
Berbagai angka bombastis menggambarkan jumlah korban pembantaian ini. Rentangan jumlahnya berkisar antara 10.000 hingga 75.000 orang. Nyaris seluruh penduduk Yerusalem saat itu habis terbunuh.[13] Kisah pembantaian inilah yang kemudian menyeruak ke segala penjuru dunia, dan mengobarkan perang agama yang berlangsung hingga berabad-abad kemudian.
Tapi terlepas dari itu, bila ada satu hal positif yang bisa kita ambil dari kisah penaklukkan Yerusalem oleh Pasukan Salib; itu adalah interaksi yang terjalin antara peradaban kaum Muslimin dan Kristen yang berlangsung lebih intens dari sebelum-sebelumnya. Dari interaksi ini, terjadi pertukaran ilmu, nilai dan teknologi. Hingga capaian-capaian dalam dunia Islam, dapat juga berkembang dan nikmati oleh umat manusia di kawasan lain. Pada masa selanjutnya, ilmu dan capaian dunia Islam yang diserap oleh masyarakat Eropa tersebut berhasil menjadikan Eropa berdiri tegak menjadi salah satu kekuatan adidaya di dunia.
Setelah berhasil menaklukkan Yerusalem, Pasukan Salib kemudian mendirikan kerajaan di sana. Tapi kerajaan ini hanya mampu bertahan sekitar 88 tahun. Pada tahun 1187, Shalahuddin Al Ayyubi memutuskan untuk merebut kota ini, setelah sebelumnya tentara Salib yang dipimpin oleh Raynald dari Chatillon (Raynald of Chatillon) berkali-kali menyerang para jamaah haji yang melintas di sekitar kawasan Yerusalem. Raynald menjarah dan membunuh mereka, bahkan mengancam akan menyerang Ka’bah dan menghancurkan Tanah Suci Mekkah. Atas sikap intoleran yang melampaui batas ini, gabungan pasukan kaum Muslimin di bawah komando Shalahuddin Al Ayyubi menyerang Yerusalem pada 1187, dan pada 2 Oktober 1187, praktis 52 kota dan istana di sekitar Yerusalem dikuasai kembali oleh kaum Muslimin dan menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah.[14]
Banyak sejarawan sepakat, bahwa Shalahuddin lah yang mengembalikan nuansa kedamaian ke Yerusalem setelah lebih dari satu abad rusak oleh intoleransi dan fundamentalisme agama. Shalahuddin kemudian mengembalikan umat Yahudi dan Nasrani ke Yerusalem dalam perlindungan yang aman. Serta mengembalikan kemulian Masjid Al Aqsha. Sejak saat itu, Yerusalem tetap berada di bawah penjagaan kaum Muslimin, setidaknya sampai saat ini. Wallahu’alam bi Sawab (AL)
Selesai…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The siege of Jerusalem, https://www.britannica.com/event/Crusades/The-siege-of-Jerusalem, diakses 20 Januari2019
[2] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 114
[3] Ibid
[4] Lihat, Mark Cartwright ,The Capture of Jerusalem, 1099 CE, https://www.ancient.eu/article/1254/the-capture-of-jerusalem-1099-ce/, diakses 22 Januari 2019
[5] Lihat, Kenneth Baxter Wolf, Crusade and narrative: Bohemond and the Gesta Francorum, Journal of Medieval History 17 (1991), Elsevier Science Publishers B.V, hal. 210
[6] Lihat, Mark Cartwright ,The Capture of Jerusalem, 1099 CE, https://www.ancient.eu/article/1254/the-capture-of-jerusalem-1099-ce/, Op Cit
[7] Ibid
[8] Lihat, Kenneth Baxter Wolf, Op Cit
[9] Lihat, The siege of Jerusalem, https://www.britannica.com/event/Crusades/The-siege-of-Jerusalem, Op Cit
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Lihat, Mark Cartwright ,The Capture of Jerusalem, 1099 CE, https://www.ancient.eu/article/1254/the-capture-of-jerusalem-1099-ce/, Op Cit
[13] Ibn Athir menyebut korban yang terbunuh mencapai 75 ribu orang. Sedang sejarawan lain, khususnya dari barat, umumnya memiliki angka yang lebih kecil antara 3000 sampai 30.000. Lihat, Ibid
[14] Tentang penaklukkan Yerusalem oleh Shalahuddin Al Ayyubi, simak ulasannya di https://ganaislamika.com/shalahuddin-al-ayyubi-3-penaklukan-yerusalem/