Pekojan dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Pergerakan Nasional di Jakarta

in Sejarah

Last updated on June 13th, 2019 11:29 am


Sejarah perkembangan agama Islam di Jakarta tak bisa lepas dari wilayah yang kini dikenal dengan nama Pekojan. Kampung tua di wilayah Tambora, Jakarta Barat, inilah lembaga pendidikan Jamiatul Khair didirikan sehingga menelurkan tokoh-tokoh Islam dan perjuangan Indonesia seperti HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan hingga H Agus Salim.

Papan tanah wakaf Masjid Al Anshor. Foto: Gana Islamika

Menurut peneliti Universitas Nijmegen Belanda, Huub de Jonge, Kampung Pekojan telah ada sejak abad ke-17. [1] Saat itu, permukiman dihuni oleh komunitas pedagang muslim asal daratan India. Mereka dikenal dengan sebutan “koja” yang kemudian menjadi asal usul nama Kampung Pekojan.

Salah satu bangunan peninggalan abad ke-17 yang masih berdiri hingga kini adalah Masjid Al Anshor.[2] Masjid yang berada di Jalan Pengukiran II, Pekojan, Tambora ini diperkirakan berdiri pada tahun 1648. Sampai sekarang, jalan ini dikenal dengan sebutan “Gang Koja”.[3]

Suasana gang menuju pintu utama Masjid Al Anshor. Foto: Gana Islamika

“Nama pendiri masjid tidak diketahui, kakek saya pun tidak tahu,” kata Imam Masjid Al Anshor, Iskandar. “Tapi kakek saya bilang, orang-orang yang dimakamkan di belakang masjid berasal dari India.”[4]

Selain Al Anshor, Masjid Kampung Baru (1748) dan An Nawir (1760) menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Pekojan. Masjid An Nawir bahkan menjadi salah satu masjid besar di wilayah Pekojan. Tanah Masjid ini diwakafkan oleh Syarifah Fatimah binti Husin Alaydrus.[5] Hingga kini, makam  Syarifah Fatimah dapat disaksikan di belakang Masjid An Nawir, Jalan Pekojan, sekitar satu kilometer barat daya Stasiun Jakarta Kota. 

Pendatang dari Jazirah Arab, khususnya Yaman, memang telah bermukim di sana sejak abad ke-18 walau jumlah mereka tidak begitu banyak. Namun, memasuki abad ke-19, jumlah pendatang dari Timur Tengah secara bertahap bertambah hingga akhirnya Pekojan menjadi pemukiman Arab hingga abad ke-20.[6]

Seseorang sedang melakukan salat di dalam Masjid Al Anshor. Foto: Gana Islamika

Pada 1822, Habib Usman bin Yahya lahir di Pekojan yang kemudian dikenal sebagai mufti Islam di Batavia. Semasa hidupnya, dia juga aktif mengajarkan pendidikan agama kepada murid-muridnya di Masjid An Nawir.[7] Tak heran jika bangunan yang kini bisa  menampung dua ribu jemaah ini disebut-sebut berperan penting dalam penyebaran Islam.

“Masjid An Nawir bagian dari (sejarah) dakwah ulama-ulama terdahulu,” kata Ketua Pengurus Masjid An Nawir, Dikky Bashandid. “Bahkan sebelum organisasi Budi Utomo berdiri, para tokoh di Pekojan telah mendirikan organisasi yang berperan aktif dalam dakwah Islam secara modern.”[8]

Memasuki abad ke-20, tepatnya 1901, sejarah Pekojan mencatat lahirnya organisasi bernama Jamiatul Khair. Menurut catatan wartawan senior Alwi Shahab, Jamiatul Khair dapat dikatakan organisasi yang menerapkan sistem pendidikan Islam modern pertama di Indonesia dan mencetak sejumlah tokoh Islam nasional seperti HOS Tjokoroaminoto, KH. Ahmad Dahlan dan H. Agus Salim.[9]

Makam Syarifah Fatimah di selasar Masjid An Nawir. Foto: Gana Islamika

HOS  Tjokoraminoto merupakan salah satu pelopor pergerakaan kemerdekaan Indonesia. Ia mendidik sejumlah murid yang kemudian menjadi tokoh nasional. Salah satunya Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Soekarno.

Sementara KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah, organisasi Islam yang lahir pada 1912 dan telah berkiprah di Tanah Air hingga saat ini . Melalui Muhammadiyah, pria kelahiran Yogyakarta ini berjasa membangkitkan kesadaran bangsa dengan dakwah pembaharuan Islam, pendidikan dan amal usaha.

Adapun H. Agus Salim dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia pernah berjuang melalui Sarekat Islam dan menjadi pemimpin kedua di organisasi ini setelah HOS Tjokroaminoto.

[Artikel ini terbit pertama kali di harian nasional Kompas pada 8 Mei 2019 hasil kerjasama dengan Ganaislamika.com]


Catatan Kaki:

[1] Huub de Jonge, “Sebuah Minoritas Terbelah: Orang Arab Batavia”, dalam: Kees Grijns dan Peter J.M. Nas (ed.), Jakarta Batavia: Esai Sosio-kultural (Jakarta: Banana dan KITLV, 2007), hlm 151.

[2] Walau bangunan telah mengalami pemugaran dan perluasan, bentuk asli Masjid masih bertahan. Semua material bangunan juga telah mengalami perubahan kecuali sejumlah kayu yang menyangga kubah dari dalam secara horizontal.

[3] Wawancara dengan Imam Masjid Al Anshor, Iskandar, tanggal 6 Mei 2019 di Pekojan, Jakarta Barat.

[4] Ibid.

[5] Wawancara dengan Ketua Pengurus Masjid An Nawir, Dikky Bashandid, tanggal 6 Mei 2019 di Pekojan, Jakarta Barat. Dikky membantah pendapat Alwi Shahab yang menulis dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi bahwa Syarifah Fatimah merupakan pendiri Masjid. Menurut Dikky, nama pendiri Masjid tidak diketahui.

[6] Huub de Jonge, Loc.Cit.

[7] Alwi Shahab. Saudagar Baghdad dari Betawi (Jakarta: Republika, 2004) hlm 30.

[8] Dikky Bashandid, Loc.Cit.

[9] Alwi Shahab. Op.Cit, hlm 31.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*