Pembantaian di Benteng Kairo; Titik Nol Sejarah Mesir Modern (2)

in Sejarah

Last updated on November 22nd, 2017 03:59 pm

Setelah berhasil menguasai Mesir, Muhammad Ali mulai merumuskan imperiumnya. Ia terkatung-katung diantara kesetiaan pada Ottoman dan impian menjadi penguasa yang mandiri. Tapi ia memang harus memilih…

—Ο—

 

Menurut Eamonn Gaeron, peristiwa pembantaian yang terjadi di Benteng Kairo, menandai titik balik sejarah modern Mesir dan Islam secara keseluruhan. Setelah peristiwa ini, secara perlahan Muhammad Ali mulai menarik jarak dari Ottoman. Antara tahun 1811 hingga 1840, ia melakukan serangkain aksi militer. Namun dari rangkaian aksi itu, ada yang dilakukan atas perintah Sultan Ottoman, tapi tidak sedikit yang dilakukan atas inisiatif sendiri dan demi keuntungan sendiri.[1]

Ekspedisi militer yang dilakukan atas perintah Sultan adalah memulihkan ketertiban di Arabia bagian tengah dan barat. Dinasti baru Saud sudah bergerak terlalu jauh, dan mulai meruntuhkan supremasi Ottoman di kawasan itu. tapi ekspedisi ini tidak mudah. Butuh dua kali ekspedisi militer yang kedua-duanya dipimpin oleh putra Muhammad Ali untuk memadamkan ambisi dinasti Saud I. Putra tertua Muhammad Ali, Tusun meninggal dunia, kemudian diganti oleh adiknya yang bernama Ibrahim. Dibawah kepemimpinan Ibrahim lah Dinasti Saud bisa dikalahkan. Ibu kota Dinasti Saud, Diriyah (sekarang Riyadh) berhasil dikuasi setelah dikepung selama 5 bulan pada tahun 1818 M. Setelah dikalahkan, seluruh anggota keluarga Saud dibawa ke Ottoman. Abdullah bin Saud yang saat itu bertindak sebagai raja dinasti ini dipenggal, dan sebagian anggota keluarga lainnya ditahan di Mesir.

Setelah menaklukkan Arab, dan mengembalikan dua tanah suci pada kekuasaan Ottoman, ia menempatkan putranya, Ibrahim untuk menjadi pucuk pimpinan di kawasan hijaz. Sedang Muhammad Ali sendiri, mulai mengalihkan perhatiannya untuk menaklukkan Sudan. Ekspedisi kali ini, bukan atas perintah Sultan, tapi atas inisiatifnya sendiri. Di Sudan ia meraih sukses yang luar biasa hanya dalam 2 tahun (1822-23).[2] Di wilayah ini ia mendapatkan emas dan budak yang kemudian diboyongnya ke Mesir. Dan tentu saja seluruh wilayah Sudan –yang luasnya dua kali lipat lebih besar dari Mesir – kini berada di bawah kekuasaannya.

Tugas selanjutnya yang Muhammad Ali dapatkan dari Sultan Ottoman adalah memadamkan pemberontakan di Kreta, Siprus dan daratan Yunani. Untuk ini tugas kali ini, Muhammad Ali menerjunkan 16.000 tentara, 100 kapal angkut dan 63 kapal pengawal. Ini adalah armada elit Mesir. Kabarnya, Muhammad Ali sudah mengelontorkan banyak biaya untuk membangun pasukan elit ini. Pasukan ini dipimpin langsung oleh putranya, Ibrahim Pasha. Tapi berbeda dari pertempuran sebelumnya, dalam pertempuran kali ini, pasukan Mesir berada dibawah komando perwira dari Ottoman, Muharram Bey yang juga membawa sejumlah pasukan dari Ottoman.

Sedang di Eropa, kekuatan inti disana bersekutu untuk melindungi Yunani dari invasi Ottoman. Inggris, Perancis dan Rusia sudah menyiapkan armada khusus untuk menghadapi pasukan Ottoman, di bawah komando Admiral Edward. Dan Pada tanggal 20 Oktober 1827, pertempuran antar kekuatan besar ini terjadi di Navario. Sebagian sejarawan menganggap bahwa inilah pertempuran besar terakhir yang terjadi di laut. Dua kekuatan laut, dengan kesiapan optimal, bertemu dan saling menghancurkan dalam skala besar. Hasil akhir pertempuran ini dimenangkan oleh pasukan sekutu Eropa. Adapun pasukan Ottoman, khususnya pasukan elit Mesir, hancur dan berhasil dipukul mundur.[3]

Lukisan yang mengilustrasikan pertempuran Navario. Sumber gambar: http://greece.greekreporter.com

Tapi bagi Muhammad Ali, kekalahan itu bukan sesuatu yang menyakitkan. Ia hanya memikirkan hancurnya armada dan pasukan elit yang sudah dibangunnya dengan biaya mahal. Atas kerugian ini, ia menuntut ganti rugi pada Ottoman, yaitu wilayah Suriah dan Mediterania. Sebuah tuntutan yang jelas-jelas berani dari seorang gubernur pada atasannya. Tapi tuntutan ini ditanggapi dingin oleh Sultan Ottoman. Merasa diacuhkan, Muhammad Ali tidak bisa tinggal diam. Pada tanggal 31 Oktober 1831, di bawah Ibrahim Pasha, invasi Mesir ke Suriah dimulai.[4]

Pasukan Mesir bergerak ke utara sambil menaklukkan satu persatu wilayah Ottoman yang dilaluinya, mulai dari wilayah-wilayah di palestina, hingga ke Suriah. Halangan yang cukup berat terjadi hanya dalam pertempuran Arce (sekarang Israel) yang berlangsung dari 3 November 1831 sampai 27 Mei 1832. Untuk membiayai keperluan logistik di front ini, Muhammad Ali mulai memeras dan melakukan tindakan represif kepada rakyatnya. Protes dan kerusuhan pun sempat terjadi di Mesir selama pertempuran. Tapi Muhammad Ali memilih melanjutkan ekspesidi militernya, dan berhasil.

Ottoman berhasil ditundukkan oleh Mesir pada Pertempuran Konya, 21 Desember 1832. Pasukan  Ibrahim Pasha dengan gigih mengalahkan tentara Ottoman yang dipimpin oleh Wazir Agung (Sadrazam) Rasyid Pasha. Dengan demikian rampunglah kekuasaan seorang Muhammad Ali Pasha.[5] Keberhasilannya melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan Ottoman adalah satu tahap penting dalam sejarah Islam. Dinasti Ottoman yang sudah berusia ratusan tahun ini, perlahan tapi pasti menuju masa kehancurannya. Sedangkan Mesir, di bawah kepemimpinan Muhammad Ali Pasha langsung melesat menjadi symbol kebangkitan peradaban Islam di era modern. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Pembantaian di Benteng Kairo (1): Titik Nol Sejarah Mesir Modern

Catatan kaki:

[1] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 245

[2] Lihat, https://web.archive.org/web/20080321211135/http://www.geocities.com:80/hazemsakr/royal/mehmetali.html, diakses 14 November 2017

[3] Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Navarino, diakses 14 November 2017

[4] Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Egyptian%E2%80%93Ottoman_War_(1831%E2%80%9333), diakses 14 November 2017

[5] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*