“Tidak ada catatan yang pasti tentang berapa jumlah korban yang jatuh selama masa penaklukkan Basrah. Tapi peristiwa ini dicatat sebagai peristiwa paling berdarah pada zamannya dan selama 14 tahun masa perberontakan Zanj. Tercatat banyak sosok-sosok ilmuwan dan tokoh terkemuka yang tewas dalam peristiwa ini. Tapi yang paling mengerikan dari semua, peradaban Basrah seolah kembali ke zaman pra-sejarah. Dimana hampir semua monumen dan naskah penting lenyap tak bersisa dalam peristiwa tersebut.”
—Ο—
Sebagaimana sudah diulas dalam edisi sebelumnya, meskipun kondisi kota Basrah sudah demikian memprihatinkan dan penduduknya demikian lemah, pemimpin tertinggi Zanj, Ali bin Muhammad sengaja memerintahkan pasukannya untuk tidak langsung menyerang kota Basrah, melainkan menghancurkan dulu wilayah penyangga, serta memblokade jalur-jalur yang digunakan untuk memasok logistik ke kota Basrah baik di darat maupun di wilayah perairan. Alhasil, pada pertengahan tahun 871 M, Basrah secara efektif berhasil di kepung dari segala penjuru. Armada militer yang tersisa di dalam kota Basrah tinggal sedikit dan lemah. Masyarakatnya terpecah belah, dicekam ketakutan yang luar biasa, serta dilanda bencana kelaparan dan penyakit.
Akhirnya setelah yakin bahwa kemenangan sudah pasti bisa diraih, bulan Agustus 871, Ali bin Muhammad, memerintakan kepada dua jenderalnya, ‘Ali ibn Aban al-Muhallabi dan Yahya ibn Muhammad al-Bahrani, untuk segera bersiap memimpin serangan umum ke kota Basrah. Untuk menambah moral pasukannya, Ali bin Muhammad lagi-lagi mengeluarkan narasi-narasi mistisnya kepada para pengikutnya. Sebagaimana dikatakan oleh al-Tabari, Ali berkata di hadapan budak-budak dari kelompok Zanj, bahwa menurut wangsit yang diterimanya, Basrah akan takluk di tangan mereka bertepatan pada saat gerhana bulan terjadi, yaitu tanggal 4 Septmber 871 M.[1] Dan seperti biasa, kharisma mistis yang sampaikan Ali bin Muhammad berhasil memikat pengikutnya dan menaikan moral pasukan.
Yang lebih menyakitkan bagi penduduk Basrah, Mansur bin Ja’far, gubernur yang ditugasi oleh pemerintah pusat Abbasiyah untuk menjaga Basrah, justru berangkat meninggalkan kota sesaat sebelum dilancarkannya serangan umum. Sehingga praktis ketika itu, kota Basrah hanya dijaga oleh dua kelompok pasukan, yaitu sisa pasukan pemerintah pusat Abbasiyah yang hanya berjumlah 50 personil, dipimpin oleh sosok bernama Bughraj; serta pasukan lokal yang terdiri dari penduduk dan bangsawan setempat yang dipimpin oleh sosok bernama Burayh. Meski begitu, jumlah pasukan yang tersisa ini tidak bisa dikatakan sepadan untuk menghadapi kekuatan kelompok Zanj. Eksistensi pasukan ini di dalam kota sekedar untuk membantu menaikan moral masyarakat agar tidak jatuh dalam keputusasaan.
Tapi rupa-rupanya, perang psikologis yang lancarkan kelompok Zanj ke kota Basrah belum berakhir. Pada tanggal 31 Agustus 871 M, tersiar kabar bahwa pemimpin tertinggi Zanj telah mengirim sejumlah uang ke sejumlah suku Arab yang tinggal di padang pasir agar mereka ikut serta dalam serangan umum ke Kota Basrah. Kabar ini ternyata bukan omong kosong. Hanya selang beberapa hari setelah itu, sejumlah suku dari padang pasir tersebut secara bersama-sama mengirimkan surat kepada kerabatnya di kota Basrah yang isinya meminta agar mereka segera meninggalkan kota tersebut, karena serangan umum akan segera dilancarkan. Sontak saja, berita ini menuai kepanikan dan membuat rasa frustasi di kalangan penduduk makin menjadi-jadi. Tidak pernah terbayangkan oleh mereka bahwa kelompok Zanj akan membawa permainan psikologis ini hingga ke titik seperti ini.
Melihat situasi kota yang tidak menentu, Burayh, komanda pasukan lokal Basrah berinisiatif untuk bersiap di luar benteng kota. Dia bermaksud untuk menghadapi serangan kelompok Zanj di luar kota, agar pertempuran tidak berdampak pada penduduk Basrah. Tapi tak lama Burayh berdiri di batas kota bersama pasukannya, Ali bin Aban, salah satu jenderal kepercayaan Ali bin Muhammad dengan tenang mendekati pasukan kecil tersebut dengan membawa segenap armada raksasa yang dia miliki. Melihat penampakan pasukan sebesar itu, Burayh seketika kehilangan keberaniannya. Dia lalu memutuskan kembali ke Basrah, dan memilih bertahan di sana.
Dan sebagaimana kata wangsit yang diterima Ali bin Muhammad, bertepatan dengan gerhana bulan pada Syawal 257 H atau 4 September 871 M, seluruh koalisi pasukan Zanj diperintahkan berkumpul dengan kekuatan penuh mengepung kota Basrah. Mereka berdiri di setiap jalur keluar dan masuk, baik di darat maupun di sungai. Tinggal menunggu perintah penyerangan.
Serangan umum ke kota Basrah baru terjadi pada hari jumat tanggal 7 September 871 M, dimulai oleh pasukan yang dipimpin oleh Ali bin Aban. Nyaris tanpa perlawanan, Ali bin Aban berhasil melumpuhkan perlawanan pasukan yang dipimpin oleh Burayh. Tak lama setelah itu, Ali bin Aban sudah berhasil menduduki istana Burayh dan mengendalikan situasi. Dia memerintahkan agar istana itu di kuras isinya lalu dibakar. Tak lupa rumah-rumah di sekitar tempat itu di bakar dan dijarah. Para penduduk yang menyaksikan hal itu, berlarian mencari perlindungan, lebih memilih berlindung di dalam rumah mereka daripada harus menanggapi seruan untuk melakukan perlawanan. Hasilnya, Basrah seperti kota yang lumpuh tak berdaya. Sempat ada sedikit perlawanan dari pasukan yang dipimpin oleh Bughraj yang didukung oleh sedikit kekuatan penduduk Basrah. Tapi dengan cukup mudah pasukan inipun bisa dikalahkan.[2]
Keesokan harinya, atau pada sabtu 8 September 871 M, Basrah praktis sudah dikuasai oleh kelompok Zanj. Para pemberontak tersebut membakar dan menjarah rumah-rumah yang mereka temui dan membunuh penduduknya. Masih ada sedikit perlawanan dari sisa pasukan yang dipimpin oleh Bughraj dan Burayh. Tapi itu hanya di anggap sebagai letupan-letupan kecil saja. Ali bi Aban pun sudah tidak lagi melakukan pertempuran apapun dan hanya berdiam diri di dalam tendanya. Dan pada hari senin, Yahya bin Muhammad memastikan bahwa Bughraj dan Burayh sudah melarikan diri dari Kota Basrah. Dengan demikian, tidak ada lagi sistem perlawanan yang cukup terorganisir di Basrah, dan Yahya bin Muhammad yang sebelumnya menanti perkembangna di luar kota bersama armada besar Zanj yang lain, akhirnya memasuki kota tanpa gangguan sedikitpun.
Setelah Basrah kosong dari otoritas, seorang tokoh terkemuka di Basrah bernama Muhallabid Ibrahim ibn Yahya, mengujukan beberapa perjanjian dengan Yahya bin Muhammad yang baru saja mengambil alih seluruh komando Zanj di Basrah. Yahya bin Muhammad pun menyetujui sejumlah kausul perjanjian, yang di antaranya menjamin setiap nyawa penduduk kota Basrah yang bersedia menyerahkan diri. Mendengar hasil perjanjian tersebut, hampir semua penduduk Basrah berbondong-bondong keluar dari persembunyiannya dan menyatakan menyerah. Mereka semua lalu dikumpulkan di tengah alun-alun kota. Yahya bin Muhammad bahkan memerintahkan pada anak buahnya untuk menyediakan oven di sekitar alun-alun, sehingga penduduk yang selama ini dilanda kelaparan mengira bahwa akan ada upacara pembagian makanan.[3]
Tapi sesuatu yang tidak diduga terjadi. Sebagaimana di kisahkan al-Tabari, setelah melihat banyaknya penduduk Basrah yang berkumpul di alun-alun kota, Yahya bin Muhammad mulai mengubah pikirannya. Tiba-tiba dia memerintakan pada anak buahnya untuk berkumpul dan memblokade semua jalan keluar dari alun-alun. Kemudian, dengan satu perintah kecil, pasukan Zanj serentak menyerang semua orang yang hadir di alun-alun. Sehingga hampir semua orang Basrah yang hadir pada hari itu terbunuh. Tidak sampai di sana. Mereka yang berhasil melarikan diri terus diburu. Orang-orang Zanj seperti kesetanan membantai penduduk yang temui, membakar rumah-rumah, menjarah harta benda, menghancurkan masjid dan infrastruktur kota.[4] Dalam waktu singkat, kota Basrah yang demikian megah berubah menjadi lautan darah.
Tidak ada catatan yang pasti tentang berapa jumlah korban yang jatuh selama masa penaklukkan Basrah. Tapi peristiwa ini dicatat sebagai peristiwa paling berdarah pada zamannya dan selama masa perberontakan Zanj. Tercatat banyak sosok-sosok ilmuwan dan tokoh terkemuka pada zamannya tewas dalam peristiwa ini. Tapi yang paling mengerikan dari semua, peradaban Basrah seolah kembali ke zaman pra-sejarah. Dimana hampir semua monumen dan naskah penting lenyap tak bersisa dalam peristiwa tersebut.
Pemimpin tertinggi kelompok Zanj, Ali bin Muhammad menyambut dengan suka cita keberhasilan anak buahnya. Hasil tersebut secara signifikan menaikan bobot politik mereka di mata kolega dan juga musuh utama mereka, yaitu Dinasti Abbasiyah.
Tapi di sisi lain, pusat pemerintahan Abbasiyah di Samarra tersengat aib yang memilukan. Di tengah kekistruhan internal yang dialaminya, peristiwa penaklukkan Basrah telah berhasil menarik perhatian Khalifah al-Mu’tamid yang baru saja naik tahta pada 19 Juni 870 M. Isu tentang pemerontakan Zanj segera naik kelas menjadi prioritas utama yang harus dituntaskan dalam masa pemerintahannya. Tidak tanggung-tanggung, al-Mu’tamid langsung menyerahkan tanggungjawab ini kepada pangeran kenamaan Bani Abbas, yang sekaligus bertindak sebagai panglima tertinggi Dinasti Abbasiyah, yaitu Abu Ahmad Thalhah bin Mutawakkil (al-Muwaffaq). (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] The History of al-Tabari Volume XXXVI, The Revolt of the Zanj, Translated by David Waines, State University of New York Press, 1992, hal. 126
[2] Ibid
[3] Ibid, hal. 127
[4] Ibid
Pemberontakan Zanj 15 kapan dilanjutkan, min (?)
rangkaian sejarah Islam yang disajikan gana islamika, memperkaya bathin dan wawasan reliji.