Di Kufah terjadi pertengkaran mengenai mushaf Alquran. Melihatnya Hudzaifah bin al-Yaman berkata, “Seandainya aku berjumpa dengan Utsman, niscaya aku akan memaksa dia untuk menenggelamkannya ke dalam satu mushaf.”
Pada masa Utsman bin Affan, Kota Kufah, Irak, berhasil disulap oleh Walid bin Uqbah menjadi pusat keilmuan, kajian, dan pembelajaran seputar pengetahuan-pengetahuan Islam. Pada masa itu Masjid Kufah mulai difungsikan sebagai tempat aktifitas tersebut dilakukan.
Yazid Nakhai menceritakan sebuah kisah. Suatu waktu dia pergi ke Masjid Kufah, di sana ada sekelompok orang yang sedang berkumpul, di antara mereka terdapat Hudzaifah bin al-Yaman. Tiba-tiba seseorang berteriak, “Mereka yang bacaannya mengikuti Abu Musa Asyari hendaknya berkumpul di dekat pintu Kindah. Mereka yang mengikuti bacaannya Ibnu Masud ke dekat pintu Abdullah.”
Dua kelompok itu berselisih tentang suatu ayat dari Surah al-Baqarah. Satu kelompok berkata, “Wa Atimmul Hajja Wal Umrata Lil-Bait.” Dan yang lainnya berkata, “Wa Atimmul Hajja Wal Umrata Lillah.”
Hudzaifah marah dan berkata, “Seandainya aku berjumpa dengan Utsman, niscaya aku akan memaksa dia untuk menenggelamkannya ke dalam satu mushaf.”
Abdullah bin Masud menjawab, “Demi Allah, seandainya engkau lakukan hal itu, niscaya Allah akan menenggelamkanmu ke suatu tempat selain air (neraka jahanam).”
Demikianlah perselisahan menyangkut qiraat dan tilawah (bacaan) Alquran itu seperti terekam dalam Fathul Bari, sehingga Ibnu Hajar meriwayatkan dalam Fathul Bari, “Ibnu Masud berkata kepada Hudzaifah, ‘Aku mendapat kabar bahwa engkau tidak suka kepada mereka sekaitan dengan bacaan (Alquran) sehingga mereka harus berselisih seperti Ahlul Kitab.’.”[1]
Adanya fenomena ini membuat para sahabat khawatir dengan kemungkinan terjadinya penyimpangan dan perubahan Alquran sebagai yang sebelumnya pernah terjadi pada kitab-kitab sebelumnya. Ditambah lagi, pada masa itu permintaan mushaf-mushaf semakin bertambah, seiring dengan meningkatnya kebutuhan kaum Muslimin akan sumber hukum dan aturan, di tengah meluasnya ruang lingkup pemerintahan Islam yang tersiar hingga ke Syam (Syiria), Iran, dan lain-lain.[2]
Kala itu telah banyak beredar sejumlah mushaf sesuai dengan daerah domisili masing-masing masyarakat. Sebagai contoh, mushaf Abdullah bin Masud, mushafnya menjadi rujukan penduduk Kufah. Demikian pulai mushaf Ubay bin Kaab bagi penduduk Madinah. Atau, mushaf Abu Musa Asyari di Bashrah, dan mushaf Miqdad bin Aswad di Damaskus.[3]
Adanya perbedaan dalam mushaf-mushaf dan bacaan-bacaan tersebut, seringkali menyulut bentrok dan sengketa di tengah-tengah kaum Muslimin. Oleh sebab itu, demi menghindari konflik berkepanjangan semacam ini berulang kembali, Hudzaifah berinisiatif menghadap Khalifah Utsman bin Affan.
Baca juga:
Hudzaifah berkata kepada Utsman, “Hai Khalifah! Tanpa basa-basi aku mengingatkanmu, selamatkanlah umat ini sebelum mereka berselisih sebagaimana dialami Yahudi dan Nasrani.”[4]
Dia meminta Utsman bin Affan untuk menyatukan semua mushaf dan sekaligus menyeragamkan bacaan sehingga umat terbebas dari perselisihan.
Utsman lalu mengundang sahabat-sahabat Nabi saw yang berada di Madinah untuk bermusyawarah, tak terkecuali Ali bin Abu Thalib, yang dikenal sebagai pengumpul pertama Alquran pada masa Nabi berdasarkan perintah Nabi sendiri.[5]
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah berujar kepada Ali, “Hai Ali, Alquran ada di belakang tempat tidurku, (tertulis) di atas shuhuf, sutera, dan kertas (lembaran kain atau lainnya). Ambil dan kumpulkanlah, jangan sia-siakan seperti orang Yahudi menyia-nyiakan Taurat.” Ali kemudian mengambilnya dan membungkusnya dengan kain berwarna kuning.[6]
Pada kesempatan lain, Nabi pernah bersabda, “Ali bersama Alquran dan Alquran bersama Ali.”[7] Ketika Rasulullah saw wafat, Ali berjanji tidak akan menanggalkan surban yang dia kenakan pada lehernya hingga dia berhasil mengumpulkan bacaan Alquran.[8]
Lalu, beliau berdiam diri di dalam rumahnya selama tiga hari, dalam versi lain disebut selama enam bulan setelah wafat Nabi. Ali kemudian bersumpah tidak akan keluar rumah sebelum berhasil mengumpulkan bahan-bahan Alquran (lembaran, kayu, kain sutra, kulit pohon, dan pelepah kurma) dan juga berdasarkan hafalan beliau untuk menjadi sebuah mushaf.[9]
Setelah selesai mengumpulkan Alquran, Ali membawa tumpukan mushaf dalam sebuah kain yang disegel di atas punggung unta dan dibawa ke masjid ketika orang-orang mengelilingi Abu Bakar. Ali berkata kepada mereka, “Setelah Rasulullah saw wafat, aku sibuk mengumpulkan Alquran dan sekarang aku telah membawanya di dalam bungkusan kain ini.
“Aku telah mengumpulkan semua ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Tiada satu ayat pun yang diturunkan kecuali Nabi saw membacakannya untukku dan mengajarkan kepadaku tafsir dan takwilnya. Jangan sampai esok hari kalian berkata, ‘Kami telah lupa hal itu.’.”[10]
Kembali ke Madinah, yaitu ketika Utsman bin Affan mengundang sejumlah sahabat Nabi pengumpul tulisan wahyu-wahyu ilahi untuk merespon seruan dari Hudzaifah dalam menyatukan semua mushaf yang ada agar lengkap dan bacaannya seragam.
Seperti diketahui, sejumlah nama sahabat yang memiliki catatan wahyu ketika Nabi masih hidup adalah seperti Ibnu Masud, Ubay bin Kaab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Abu Musa al-Asyari, Hafshah, Zaid bin Tsabit, Aisyah, dan lain-lain.[11]
Ketika Utsman bertanya kepada Ali, dia setuju untuk menyatukan mushaf Alquran. Berdasarkan riwayat Ibnu Abi Daud dari Suwaid bin Ghaflah, Ali berkata:
Dia (Utsman) berkata kepadaku, “Aku diberitahu bahwa sebagian orang mengatakan kalau bacaanku lebih baik dari bacaanmu. Berita ini adalah sesuatu yang mendekati kekufuran.”
Aku bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu?”
Dia menjawab, “Aku berpendapat bahwa masyarakat hendaknya hanya memiliki satu mushaf agar tidak terjadi perselisihan.”
Aku berkata, “Pendapat yang bagus.”[12] (SN)
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Abu Dawud, al-Mashahif (hal 11-14), dan Ibnu Hajar, Fathul Bari (jilid 9, hal 15).
[2] Lihat kembali edisi sebelumnya, https://ganaislamika.com/pengumpulan-mushaf-al-quran/.
[3] Abu Dawud, Op.Cit.
[4] Ibid, hal 155-156.
[5] Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, Edisi Digital, (Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hal 155.
[6] Ibid.
[7] H. A. Muhaimin Zen, Al-Quran 100% Asli: Sunni-Syiah Satu Kitab Suci, (2012), hal 94.
[8] Lihat Ibnu Nadim, Kitab al-Fihrist.
[9] Abdurrasul Ghiffari, Kodifikasi Al-Quran, Telaah Argumentatif atas Makna Pengumpulan Kitab Suci, (2016), hal 33.
[10] Ibid, hal 34.
[11] Taufik Adnan Amal, Op.Cit, hal 155.
[12] Abu Dawud, Op.Cit.