Mozaik Peradaban Islam

Pengumpulan dan Penyeragaman Mushaf Alquran pada Masa Khalifah Utsman bin Affan (2): Satu Alquran Tunggal yang Disepakati Semua Umat Islam

in Sejarah

Suatu waktu ada seseorang yang membacakan Alquran di depan Jafar Shadiq dengan cara yang berbeda. Jafar berkata, “Mulai saat ini, jangan mengujarkan kata ini seperti itu. Bacalah sebagaimana yang dibaca oleh banyak orang.”

Foto ilustrasi: Lukisan karya Etienne Dinet. Sumber: Soraya Kadou/Pinterest

Suatu waktu, Talhah bin Ubaidillah sedang bersama Ali bin Abi Thalib membicarakan tentang mushaf Alquran yang belum lama diseragamkan atas inisiasi Khalifah Utsman bin Affan.

Ali berkata, “Apakah Alquran yang sekarang ada di tangan orang-orang ini semuanya Alquran, atau di dalamnya juga tercampur dengan selain Alquran?”

Talhah berkata, “Tentu saja semuanya adalah Alquran.”

Maka Ali berkata, “Jika memang demikian, maka apa pun yang kalian ambil dan amalkan, niscaya kalian akan mencapai kebahagiaan.”

Talhah berkata, “Kalau begitu, (Alquran yang ada di tangan orang-orang ini) cukup bagi kami.”[1]

Dengan jawaban semacam itu, maka tampaklah bahwa Ali bin Abi Thalib menyokong kebijakan khalifah Utsman dalam rangka penyatuan mushaf resmi Alquran.[2] Dan, juga tentu saja sikap Ali tersebut bertujuan untuk menjaga persatuan dan keotentikan Alquran.

Bahkan, setelah menjabat sebagai khalifah, Ali kerapkali memotivasi orang-orang untuk mengamalkan mushaf Utsman. Pernah ada seseorang di depan Ali membaca potongan ayat, “Wa Thalhin Mandhud.” (dan pohon pisang yang bersusun-susun [buahnya]) (QS. Al-Waqiah: 29).

Beliau berkata, “Mengapa (dibaca) ‘Thalhin’? Yang benar adalah ‘Thalin’, sebagaimana disebutkan di tempat lain, dan pohon-pohon kurma yang mayangnya lembut [Thaluha Hadhim] (QS. Al-Syuara: 148).”

Ketika orang-orang mendengar protes Ali kepada pembaca itu, “Apakah engkau tidak akan mengubahnya?”

Ali berkata, “Mulai saat ini tak boleh ada perubahan sedikitpun dalam Alquran.”[3]

Alquran Sunni dan Syiah

Terkait dengan dugaan tentang adanya perbedaan versi Alquran antara mazhab Sunni dan Syiah, mari kita simak riwayat ini.  Suatu waktu ada seseorang yang membacakan Alquran di depan Jafar Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, bacaan orang tersebut berbeda dengan apa yang dibaca oleh kebanyakan orang.

Jafar Shadiq lalu berkata kepadanya, “Mulai saat ini, jangan mengujarkan kata ini seperti itu. Bacalah sebagaimana yang dibaca oleh banyak orang.”[4]

Dengan kata lain, Jafar Shadiq, yang merupakan Imam ke-6 bagi pengikut Syiah Imamiyah, sejak awal berpandangan bahwa Alquran yang sekarang berada di tangan kaum Muslimin telah sempurna dan tidak ada perubahan (tahrif) sama sekali.

Pendapat ini belakangan disokong kembali dengan pendapat ilmiah dari ulama dan tokoh Syiah terkemuka semisal Syekh Shaduq, Syekh Thusi, dan Syekh Murthada. Dengan demikian, semua umat sepakat dengan mushaf tunggal. Apapun yang keluar dari mushaf itu dapat dianggap sangat aneh dan menyimpang.

Jika ditelisik lebih jauh, tuduhan semacam ini lebih banyak dipropagandakan oleh orientalis asing untuk mengadu domba sesama kaum Muslimin dengan cara kotor untuk menodai kesucian dan kemuliaan Alquran.

Misalnya, salah satu orientalis seperti Ignas Goldziher (1850-1921), yang berasal dari keluarga Yahudi dan berkebangsaan Hongaria, menuduh pengikut Syiah masih meragukan validitas mushaf Utsmani.[5] Padahal jumhur ulama dan tokoh Syiah terkemuka sepakat berpandangan bahwa Alquran yang ada di tengah-tengah kaum Muslimin sekarang ini telah sempurna tidak lebih satu huruf maupun kurang satu huruf.[6]

Ulama Syiah semacam Abdul Husain Syarifuddin al-Musawi (1872-1957) menyebut bahwa setiap huruf dan kata dalam Alquran sampai kepada kita secara mutawatir, pasti, dan qathiy tanpa sedikitpun penambahan atau pengurangan pada setiap generasi secara terus-menerus berkesinambungan dari masa wahyu dan nubuwwah hingga sekarang ini.[7]

Lalu bagaimana dengan masa kekinian? Dr. Hasani Ahmad Said, MA, dosen dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, memiliki pengalaman tersendiri ketika dia berkunjung ke Iran yang penduduknya mayoritas bermazhab Syiah pada 2018 lalu.

Dr. Hasani berkata, “Sangat tidak beralasan ada tuduhan Syiah punya Alquran sendiri dan tuduhan-tuduhan lain. Dengan keberadaan saya di Iran selama dua minggu, anggapan-anggapan ini terus saya buktikan, dan akhirnya saya berkesimpulan tuduhan ini tidak benar.”

Menurut Dr. Hasani, ada beberapa fakta yang menguatkan penilaiannya. Pertama, dia membaca langsung mushaf cetakan Iran dan tidak menemukan adanya perbedaan mushaf.

Kedua, dia datang langsung ke percetakan Alquran di Iran, dan ternyata di sana tidak juga ditemukan perbedaan. Bahkan dia menemukan kertas yang dipakai untuk Alquran di Iran harus berlabel halal, dan salah satu sertifikat halal yang mereka gunakan berasal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan kertasnya diimpor dari Indonesia.

Ketiga, ketika dalam forum diskusi dia sempat bertanya langsung kepada orang-orang Iran, dan mereka menjawab bahwa tidak ada perbedaan antara Alquran Sunni dan Syiah.[8]

Demikianlah, pengumpulan dan penyusunan Alquran dalam bentuk seperti sekarang ini, tidak terjadi dalam satu masa, tapi berlangsung selama beberapa tahun atas kerja keras sahabat-sahabat besar dan berbagai kelompok qori dan penghapal Alquran. Dengan urutan, susunan, dan jumlah ayat di setiap surah sudah dibakukan sejak Rasulullah saw masih hidup.[9] Artinya, Rasulullah sudah mengunci sejak awal potensi perubahan dan penyelewengan atas wahyu Allah tersebut.

Dan Allah SWT sendiri telah menjamin kekekalan dan keterjagaan Alquran sepanjang masa. Allah berfitman, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr (15): 9). (SN)

Selesai.

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Quran, (2007), hal 132.

[2] Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, Edisi Digital, (Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hal 160.

[3] Tafsir ath-Thabari; jilid 27, hal. 104 dan Tafsir ath-Thabari; jilid 9, hal. 218.

[4] M. Hadi Ma’rifat Op.Cit.

[5] Ignas Goldziher, Mazhab Tafsir dari Klasik hingga Modern, (elSAQ Press, 2010), hal 324.

[6] A. Syarafuddin Al-Musawi, Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi’ah, (Mizan, 2002), hal 192.

[7] Ibid.

[8] “Kunjungi Percetakan Al-Qur’an di Iran, Dosen UIN Jakarta: Mushaf Sunni-Syiah Tak Berbeda (Bagian 2)”, dari laman https://islamindonesia.id/berita/kunjungi-percetakan-al-quran-di-iran-dosen-uin-jakarta-mushaf-sunni-syiah-tak-berbeda-bagian-2.htm, diakses 17 Juni 2020.

[9] M. Hadi Ma’rifat, Op.Cit, hal 129.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*