“Tidak semua orang dalam kelompok kaum kafir Mekkah merupakan orang-orang yang membenci syiar ajaran Rasulullah SAW. Keberadaan orang-orang yang ada di Badr pada 17 Ramadhan 2 H kala itu dilatari oleh berbagai variable yang kompleks di kedua belah pihak. Tidak semua orang yang berada di pihak kaum kafir Mekkah hari itu memiliki kebencian yang sama terhadap Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Alih-ali, sebagian di antara mereka kelak ada yang masuk Islam dan menjadi tokoh ternama dalam sejarah Islam.”
—Ο—
Kisah kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Badr seketika santer terdengar. Ibnu Ishaq berkata, “Setelah kemenangan diraih, Rasulullah SAW mengirim Abdullah bin Rawahah sebagai penyampai berita gembira kepada warga Al-Aliyah, bahwa Allah Azza wa Jalla memenangkan Rasul-Nya dan kaum Muslimin. Rasulullah SAW mengirim Zaid bin Harits sebagai penyampai berita gembira kemenangan kepada warga As-Safilah. Usamah bin Zaid berkata, ‘Informasi tiba kepada kami ketika kami sedang menguruk tanah ke atas kuburan Ruqayyah binti Rasulullah SAW yang diperistri Utsman bin Affan. Rasulullah SAW memerintahkan aku dan Utsman menjaga Ruqayyah.’[1] Ketika Zaid bin Haritsah tiba, aku datang kepadanya yang ketika itu sedang berdiri di mushalla, dan dikerubuti kaum Muslimin. Zaid bin Haritsah berkata, ‘Utbah bin Rabi’ah tewas, Syaibah bin Rabi’ah tewas, Abu Jahal bin Hisyam tewas, Zam’ah bin Al-Aswad tewas, Abu Al-Bakhtari Al-Ash bin Hisyam tewas, Umaiyyah bin Khalaf tewas, Nubaih bin Al-Hajjaj tewas, dan Munabbih bin Al-Hajjaj juga tewas.’ Usamah bin Zaid bertanya kepada ayahnya, Zaid bin Haritsah, ‘Ayah, apakah itu semua benar?’ Zaid bin Haritsah menjawab, ‘Demi Allah, benar wahai anakku’.”[2]
Menurut Ibn Abbas, terdapat 70 orang tewas di pihak kaum Quraisy, dan 70 orang berhasil ditawan. Di antara tawanan yang tertangkap terdapat juga kerabat dekat Rasulullah SAW, seperti Abbas bin Abdul Muthalib yang merupakan paman Nabi SAW, dan suami Zainab putri Rasul SAW bernama Abu al Ash. Juga ikut tertawan saudara kandung Ali bin Abi Thalib yang juga sepupu Rasul SAW yaitu Aqil bin Abi Thalib. Sedang salah satu putra Abu Thalib lainnya yang ketika itu belum memeluk Islam adalah Thalib, kakak sulung Ali, tidak ditemukan jasadnya dan tidak tercatat juga dalam daftar tawanan.[3]
Salah satu aspek yang agaknya perlu diperhatikan di sini, berdasarkan perhitungan Rasulullah SAW, jumlah pasukan Mekkah yang hadir di Badr, berkisar antara 950-1000 orang. Menurut Ibn Hisyam, tidak ada satu rumah pun di Mekkah yang tidak mengirimkan utusannya.[4] Bila kita asumsikan dalam satu rumah terdapat 5 orang – termasuk budak, buruh dagang dan gembala – maka jumlah penduduk Mekkah kala itu berkisar 5000 jiwa. Ini berarti hampir setiap laki-laki dewasa di Mekkah, ikut serta dalam rombongan tersebut.[5]
Timbul pertanyaan memang, mengapa setiap rumah di Mekkah secara serentak mengirimkan perwakilannya untuk melawan Nabi di perang Badr? Mungkinkah semua yang ada Mekkah kala itu memiliki kebencian dan permusuhan yang sama dengan yang dirasakan Abu Lahab, Abu Sufyan, Abu Jahal, dan sejumlah petinggi Mekkah lainnya?
Pada kenyataannya tidaklah demikian. Bahkan sebaliknya, banyak di antara kaum Quraisy, seperti beberapa pemuda Bani Hasyim yang ketika ikut serta ke Badr, ternyata berangkat dalam keadaan terpaksa. Salah satunya adalah Thalib bin Abi Thalib yang tidak lain adalah kakak sulung dari Ali bin Abi Thalib. Ketika terjadinya Perang Badr, Thalib belum masuk Islam. Namun menurut Ibn Hisyam, ketika para pemuka Mekkah bersepakat untuk memerangi Rasulullah SAW, terjadi dialog antara Thalib bin Abu Thalib yang ada di tengah-tengah orang-orang Quraisy dengan sebagian orang-orang Quraisy. Mereka berkata kepada Thalib bin Abu Thalib, ‘Demi Allah, hai Bani Hasyim, sesungguhnya kendati kalian keluar bersama kami, namun sesungguhnya hati kalian bersama Muhammad.’[6]
Menurut O. Hashem, Thalib berserta anggota keluarga Bani Hasyim lainnya telah dipaksa ikut bersama kaum Quraisy ke Badr. Tatkala keluar dari Mekkah dalam perjalanan ke Badr, anak tertua Abu Thalib ini membuat syair: “Wahai Tuhan, mereka membawa Thalib dalam pasukan; Maka jadikan mereka yang takluk, bukan sebagai penakluk; Dan jadikan mereka orang yang dirampok, bukan perampok!”[7] Tapi menurut Tabari, ketika itu Thalib dapat menghindari peperangan. Ia berangkat bersama rombongan kafir Quraisy ke Badr, tapi ia tidak berhenti di sana, dan terus berjalan menyusuri pantai. Setelah itu, tidak diketahui lagi nasib Thalib hingga hari ini. [8]
Menurut pendapat O. Hashem, terjadinya mobilisasi besar-besarab terhadap penduduk Mekkah tidak bisa dilepaskan dari sistem kebudayaan masyarakat jahiliyah masa itu yang menganut ketat sistem ashobiyah. Masyarakat Arab hidup di tengah alam yang ganas dan sama sekali tidak ramah, sehingga mereka dipenuhi kecemasaan dan perasaan tidak aman (insecure). Satu-satunya cara bertahan hidup dalam kondisi seperti ini adalah dengan cara berkelompok. Dan agar eksistensi kelompoknya tetap langgeng, setiap anggota kelompok dituntut untuk memiliki kesetiaan tanpa batas, hidup atau mati.
Bagi mereka, ketika ada satu anggota kelompok klan yang terhina, dianiaya atau dibunuh oleh kelompok lain, bisa dipastikan ia akan membawa seluruh kelompok lain dalam masalahnya. Tidak ada satupun anggota klan yang bisa menghindar dari kewajiban membela anggota klannya. Andaipun ada yang bisa melepaskan diri dari kewajiban tersebut, maka ia akan dilepaskan dari ikatan kesukuan, yang dengan demikian tiap orang bebas menghinanya, memperbudak, bahkan membunuhnya tanpa perlindungan.
Situasi seperti inilah yang dulu dialami oleh Rasulullah SAW ketika pemimpin Bani Hasyim Abu Thalib, wafat dan digantikan oleh Abu Lahab. Beliau SAW diusir dari klannya dan hidup tanpa perlindungan di tengah kehidupan padang pasir yang ganas. Ini sebabnya beliau mendatangi berbagai klan di luar Mekkah untuk mencari dukungan dari mereka, seperti klan Aus dan Khazraj di Madinah dan klan-klan lain di sekitar Mekkah seperti di Thaif. Jabir bin Abdullah melaporkan; “Nabi SAW memperkenalkan dirinya dan bersabda: Apakah tidak ada seorangpun yang mau membawaku kepada kaumnya? Orang Quraisy menghalangi aku menyampaikan Firman Tuhan ku”[9]
Demikianlah Perang Badr terjadi. Tidak semua orang dalam kelompok kaum kafir Mekkah merupakan orang-orang yang membenci syiar ajaran Rasulullah SAW. Keberadaan orang-orang yang ada di Badr pada 17 Ramadhan 2 H kala itu dilatari oleh berbagai variable yang kompleks di kedua belah pihak. Tidak semua orang yang berada di pihak kaum kafir Mekkah hari itu memiliki kebencian yang sama terhadap Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Alih-ali, sebagian di antara mereka kelak ada yang masuk Islam dan menjadi tokoh ternama dalam sejarah Islam. (AL)
Selesai
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, bahwa Utsman bin Affan tidak ikut dalam Perang Badr dengan alasan harus mejaga Ruqayyah binti Rasulullah SAW yang sedang menderita sakit. Sedang Usamah bin Zaid yang ketika itu masih remaja, dikembalikan oleh Rasulullah SAW ke Madinah karena dinilai belum cukup umur. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Ishaq, bahwa Zaid diperintahkan oleh Rasulullah SAW membantu Utsman bin Affan menjaga Ruqayyah binti Rasulullah SAW yang ternyata ketika berita kemenangan kaum Muslimin datang, Ruqayyah sudah tiada. Lihat, O. Hashem, Muhammad Sang Nabi, Jakarta, Ufuk Press, 2004, hal. 128-129
[2] Lihat, Sirah Nabawiah Ibn Hisyam (jilid 1), Fadhli Bahri, Lc (Penj), Jakarta, Batavia Adv, 2000, hal. 488
[3] Lihat, The History of al-Tabari, Volume VII, The Foundation of the Community, Translated by M. V. McDonald, Annotated by W. Montgomery Watt, State University of New York Press, 1990, hal. 46
[4] Lihat, Sirah Nabawiah Ibn Hisyam (jilid 1), Op Cit, hal. 463
[5] Lihat, O. Hashem, Op Cit, hal. 143
[6] Lihat, Sirah Nabawiah Ibn Hisyam (jilid 1), Op Cit, hal. 470
[7] Lihat, O. Hashem, Op Cit, hal. 146
[8] Lihat, The History of al-Tabari, Volume VII, Lock Cit, hal. 46
[9] Lihat, O. Hashem, Op Cit, hal. 148