Perjalanan Mengetahui: Suatu Penjelasan Ringkas

in Studi Islam

“Manusia biasa yang tidak memiliki pengalaman transendental mengenai Realitas diumpamakan seperti orang buta yang tidak bisa berjalan aman tanpa bantuan tongkat di tangannya. Tongkat yang membantu manusia ini dilambangkan sebagai daya rasional pikiran. Karena itu, ketika Musa melemparkan tongkatnya, tirai-tirai alam fenomenal tersingkapkan dari pandangannya.”

Gambar ilustrasi. Sumber: nuonlinemojokerto.or.id

Perjalanan manusia dimulai dari kebodohan (jahl), berlanjut kepada pandangan dari kejauhan yang disebut dengan keraguan (syakk). Pengetahuan (‘ilm) didapatnya ketika ia mulai mendekat dan menghampiri apa yang dipandangnya dari kejauhan itu.

Pada tahap ini ia akan memperoleh suatu gambaran kasar atau sayup-sayup tentang sosok tersebut. Dari gambaran kasar ini ia akan mempertimbangkan untuk lebih mendekati sosok itu atau tidak.

Dalam mempertimbangkan hal ini, insting, nafsu, khayalan, akal, memori, perasaan, dan sebagainya bekerja mempengaruhi manusia dalam mengambil keputusan.

Apabila kemudian ia memutuskan untuk lebih mendekat, gambaran lebih jauh tentang sosok itu akan muncul dalam pikirannya. Tahap ini biasanya dilanjutkan dengan hubungan langsung dengan sosok tersebut. Hubungan ini bukan hanya terjadi searah, melainkan dua arah; yang satu akan mempengaruhi yang lain.

Setelah itu, terjadilah pertukaran informasi tentang masing-masing. Bila ternyata hasil pertukaran informasi sekilas itu positif, maka hubungan akan berlanjut menjadi pengetahuan yang memberikan keyakinan.

Keyakinan ini lalu akan membuahkan kesan mendalam pada masing-masing pihak, sedemikian sehingga masing-masing akan menjadi benar-benar tersatukan.

Barangkali Anda akan bertanya: Apakah proses di atas terjadi pada segala sesuatu?

Ilmu pengetahuan mengajarkan bahwa alam semesta ini adalah sistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Tidak ada aksi yang tidak melahirkan reaksi, dan tidak ada sebab (cause) yang tidak melahirkan akibat (effect).

Apapun yang terjadi di alam raya tidak lepas dari hukum sebab-akibat, walaupun kita tidak selalu mengerti sebab apa dan akibat apa. Yang jelas, segala sesuatu merupakan rangkaian sebab dan akibat, aksi dan reaksi.

Dalam kaitan ini, apa yang kita sebut sebagai ‘benda mati dan pasif’ itu sebenarnya tidak ada secara ilmiah. Semua benda, dalam tingkatannya masing-masing, melakukan aksi dan reaksi.

Hanya saja, lantaran sebagian aksi dan reaksi itu tidak kita ketahui, maka kita menyebutnya sebagai tiada. Padahal, sungguh berbeda antara hal yang tidak kita ketahui dan hal yang tidak ada. Manusia memang sering mengganggap apa yang tidak diketahuinya sama dengan ketiadaan.

Aksi dan reaksi atau sebab-akibat pada benda-benda mati sangat kecil dan tidak berarti bila dibandingkan dengan aksi dan reaksi pada benda-benda hidup seperti tetumbuhan dan binatang. Demikian pula aksi dan reaksi pada tetumbuhan dan binatang tidaklah berarti bila dibandingkan dengan aksi dan reaksi manusia dan makhluk-makhluk ‘non-material’.

Demikian itu karena realitas tersusun secara bertingkat-tingkat. Maujud-maujud dengan tingkat energi yang lebih besar mempengaruhi maujud-maujud dengan tingkat energi yang lebih kecil, dan yang lebih kecil menerima pengaruh itu sebagai anugerah untuk menyempurnakan dirinya.

Sebaliknya, maujud-maujud berkapasitas energi rendah secara otomatis akan menuju kepada maujud yang di atasnya, dan demikian seterusnya hingga mencapai ke Pusat Eksistensi.

Dalam tingkatan itu, alam material memiliki energi yang paling kecil, sesuai dengan hukum materi yang terbatas oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Sebaliknya, alam non-material adalah energi murni yang belum terpola dalam suatu bentuk dan berada dalam keadaan bebas.

Para ahli fisika kuantum menyebutnya dengan chaos, para filosof menyebutnya dengan Wujud Mutlak, kaum empiris menyebutnya dengan ketiadaan, dan agama menyebutnya dengan Kegaiban (الغيب) sebagai lawan dari ketampakan (الشهادة) atau Alam Batin (الباطن) sebagai lawan dari alam lahiriah (الظاهر).

Realitas gaib atau alam batin berada di luar (beyond) cakrawala pengetahuan. Data yang ada pada ilmu pengetahuan memungkinkan cakrawala ini bergeser, hingga medan pemahaman tentangnya makin bertambah.

Tetapi, seperti orang yang berada di dalam rumah, dia tidak pernah mengetahui apa yang terjadi di luar rumah. Dia hanya bisa berupaya membongkar atap dan melihat-lihat keadaan di lapisan atap kedua. Tetapi, pada lapisan atap kedua ini, ada lapisan ketiga dan begitulah seterusnya.

Batas itulah yang disebut dengan “limit” dalam bahasa matematika. Ibaratnya seperti barisan Cauchy yang trend-nya bergerak ke suatu arah. Tetapi, di suatu titik, akan terdapat cakrawala yang membatasi trend itu.

Di luar cakrawala ini adalah lambang-lambang Ketakterbatasan. Sesuatu hanya akan bisa mendekati ambang batasnya, tetapi ia tidak akan pernah melampauinya. Begitu ia keluar dari batasnya, ia akan menghilang di telan Kekosongan Absolut (Absolut Zero). Pada saat itu, identitasnya memudar dan ia menjadi tak lagi dapat didefinisikan secara eksak.

Bahasa yang bisa digunakan untuk mengungkapkan Alam Gaib atau Alam Batin atau Wujud Mutlak adalah bahasa simbol, perumpamaan, metafora, isyarat, alusi, dan sebagainya yang berpijak pada keimanan, keyakinan, kecintaan,penyaksian-langsung, dan sejalur sejurusannya. Upaya untuk mengungkapkan Realitas Gaib atau Alam Batin dengan bahasa rasional-analitik akan selalu berakhir dengan kerancuan dan kebuntuan.

Dalam kaitan ini, Sayyid Haydar Amuli, seorang sufi besar abad ke-14, pernah menyatakan: “Ketika manusia mencoba mendekati Wujud melalui akalnya yang lemah (‘aql dha’îf) dan pemikirannya yang kabur (afkâr raqîqah), kebutaan dan kebingungannya akan semakin bertambah.”[1]

Dengan nada yang sama, Mahmud Syabastari mengungkapkan:

Buanglah nalar, peganglah selalu Realitas;

Karena mata seekor kelelawar takkan mampu menatap matahari.”

Dalam komentarnya atas sajak di atas, Muhammad Lahiji menyatakan bahwa penalaran yang mencoba menatap Realitas Mutlak sama seperti mata yang mencoba menatap matahari. Meskipun dari kejauhan, kilauan dahsyat cahaya matahari akan membutakan mata penalaran. Dan setiap kali mata penalaran menaiki tahap-tahap Realitas yang lebih tinggi dan pelan-pelan menghampiri wilayah metafisikal Sang Mutlak, kegelapan akan makin mengental hingga pada akhirnya segala sesuatu berubah menjadi hitam-pekat.[2] 

Manusia biasa yang tidak memiliki pengalaman transendental mengenai Realitas diumpamakan seperti orang buta yang tidak bisa berjalan aman tanpa bantuan tongkat di tangannya. Tongkat yang membantu manusia ini dilambangkan sebagai daya rasional pikiran. Akan tetapi, anehnya, tongkat yang diandalkan oleh orang buta ini justru adalah penyebab kebutaannya.

Karena itu, ketika Musa melemparkan tongkatnya, tirai-tirai alam fenomenal tersingkapkan dari pandangannya. Barulah kemudian, di balik tirai bentuk-bentuk fenomenal itu ia menyaksikan kemahakuasaan Realitas Mutlak. Tongkat Nabi Musa pun mampu beralih-bentuk menjadi ular dan membelah lautan.

Semua yang ada di alam material sesungguhnya berasal dari Alam Gaib, Alam Ketakterbatasan, atau Wujud Mutlak. Begitu tercipta dalam bentuk fenomenal tertentu, ia menjadi terbatasi.

Sebagai permisalan, anda bisa membayangkan sebuah rumah idaman dalam benak anda yang sepenuhnya sempurna. Namun, begitu anda mulai merancangnya dalam suatu sketsa, kekurangan demi kekurangan akan muncul. Bila lantas sketsa itu mulai anda kerjakan, kekurangan yang lebih banyak lagi akan muncul dan begitu seterusnya hingga tidak berapa lama Anda akan merasakan betapa tidak sempurnanya rumah idaman Anda. Begitu pula halnya dengan proses penciptaan sesuatu yang sebelumnya berada dalam Lautan Ketakterbatasan. (MK)

Catatan kaki:


[1] Sayyid Haydar Amuli, Risâlah Naqd Al-Nuqûd, suntingan Henry Corbin dan Osman Yahya, Teheran-Paris 1969, hal. 625.  

[2] Muhammad Lahiji, Syarh-e Gulsyan-e Râz, Tehran, 1337 Kalender Iran, hal. 94-97.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*