Beberapa ahli memberikan nama-nama yang berbeda kepada Shahifat. Ada yang menyebutnya “perjanjian” (treaty), karena nabi membuat perjanjian persahabatan antara Muhajirin dan Ansar sebagai Komunitas Islam di satu pihak dan antara kaum muslimin dan kaum Yahudi serta sekutu-sekutu mereka di pihak lain agar mereka terhindar dari pertentangan suku serta bersama-sama mempertahankan keamanan kota Madinah dari serangan musuh untuk hidup berdampingan secara damai sebagai inti dari persahabatan.
Disebut sebagai “piagam” (charter), karena isinya mengakui hak-hak kebebasan umat beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan prinsip-prinsipnya untuk mennghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak baik. Disebut “konstitusi” (constitution), karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah yang majemuk tersebut.
Oleh sebagian sarjana politik istilah konstitusi diartikan sama dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi kepustakaann Belanda membedakan pengertian konsitusi (constitution) dan Undang-Undang Dasar (grondwet). Konstitusi adalah peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis, sedangkan Undang-Undang Dasar merupakan bagian tertulis dalam konstitusi. Walaupun demikian, tidak ada konstitusi yang memasukkan semua peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Karena konstitusi merupakan dokumen yang hanya memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya, ia hanya mengandung hal-hal yang bersifat pokok, mendasar atau asas-asasnya saja. Jadi, tidak semua masalah yang dianggap penting bagi Negara dimasukkan ke dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Karena itu, C.F. Strong mengemukakan bahwa “tidak ada koonstitusi yang seluruhnya tidak tertulis; demikian pula tidak ada konstitusi yang seluruhnya tertulis”. Sifat dan karakteristik konsitusi yang demikian, agar ia tidak selalu diubah karena perkembangan zaman dan masyarakat. Jadi, cukuplah hal-hal yang bersifat fundamental dan universal saja yang dimasukkan ke dalam konstitusi.
Konsitusi, menurut Miriam Budiardjo, adalah siatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Didalamnya terdapt berbagai aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga Negara, cita-cita dan ideology Negara, masalah ekonomi, dan sebagainya. Namun, mengenai unsur ketetapannya idak ada kesepakatan di kalangan para ahli.
Dari berbagai keterangan tentang pengertian konstitusi dan unsur-unsur aau cirri-ciri yang dikemukakan di atas, maka suatu konstitusi adalah himpunan peratutan-peraturan pokok mengenai penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu masyarakat yang berkaitan dengan organisasi Negara, kedaulatan Negara, dan pembagian kekuasaan antara badan legislative, eksekutif dan yudikatif, hak-hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah di bidang-bidang social, politik, ekonomi, agama, dan budaya, cita-cita dan ideology dan sebagainya.
Baik disebut sebagai “perjanjian” maupun “piagam”, dan “konstitusi” bentuk dan muatan Shahifat itu idak menyimpang dari pengertian ketiga istilah tersebut. Dilihat dari pengertian treaty, Shahifat itu adalah dokumen perjanjian antara beberapa golongan Muhajirin-Ansar-Yahudi dan sekutunya bersama nabi. Dilihat dari segi pengertian sebagai charter, ia dalaha dokumen yang menjamin hak-hak semua warga Madinah dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka serta kekuasaan yang dimiliki oleh nabi. Kemudian dilihat dari pengertian constitution, ia juga memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya kandungan Shahifat itu dapat mencakup semua pengertian ketiga istilah tersebut. Sebab, ia adalah dokumen perjanjian persahabatan antara Muhajirin-Ansar-Yahudi dan sekutunya bersama nabi yang menjamin hak-hak mereka, menetapkan kewajiban-kewajiban mereka dan memuat prinsip-prinsip pemerintah yang bersifat fundamental yang sifatnya mengikat untuk mengatur pemerintahan di bawah pimpinan nabi. Karenanya, Marduke Pickthal, H.A.R. Gibb, Wensinck, dan Watt sebagai telah disebut, menyebut Shahifat tersebut sebagai “konstitusi”.
Meskipun ada beberapa ahli yang menyebut Shahifat sebagai konstitusi, harus diakui bajwa Piagam Madinah tidak dapat memenuhinya secara paripurna. Sebab didalamnya tidak ditemui penjelasan tentang pembagian kekuasaan antara badan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi ia menetapkan adanya hukum tertinggi. Namun demikian, ia dapat disebut sebagai konstitusi, karena ciri-ciri lain dapat ia penuhi, yaitu ia dalam bentuk tertulis; menjadi dasar organisasi pemerintahan masyarakat Madinah sebagai suati umat; adanya kedaulatan Negara yang dipegang oleh nabi; dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang sifatnya fundamental, yaitu mengakui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah, mengakui hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka. Sebagai himpunan peraturan yang mengatur kahidupan masyarakat Madinah ia bercita-cita mewujudkan persatuan dan kesatuan semua golongan menjadi satu umat dan hidup berdampingan secara damai sebagai satu umat yang bermoral, menjunjung tinggi hukum dan keadilan atas dasar iman dan takwa.
Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Piagam Madinah dapat dikatakan suatu ide yang revolusioner untuk saat itu. Dari sudut tinjauan modern ia dapat diterima sebagai sumber inspirasi untuk masyarakat yang majemuk. Dalam kaitan ini Nurcholis Madjid menyatakan:
“bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok fikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi dan lain-lain. Tetapi juga ditegaskan adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar”
Oleh karena itu, Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah yang dibuat untuk mempersatukan kelompok-kelompok sosial di Madinah menjadi satu umat dan mengakui hak-hak mereka demi kepentingan bersama, merupakan contoh teladan dalam sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang bercorak majemuk. Ide-ide dalam ketetapan-ketetapan Piagam Madinah tetap mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini, dan telah menjadi pandangan hidup modern berbagai Negara di dunia. Hal ini dapat dibandingkan dengan isi berbagai piagam, konstitusi, dan deklarasi hak-hak asasi manusia yang lahir puluhan abad kemudian sesudah lahirnya Konstitusi Madinah. (SI)
Bersambung ke:
Piagam Madinah; Sebuah Model Konstitusi Tertulis Pertama Dalam Sejarah (3)
Sebelumnya:
Piagam Madinah; Sebuah Model Konstitusi Tertulis Pertama Dalam Sejarah (1)
Sumber:
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013.
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, UI Press, Jakarta, 1995.
Nurcholis Madjid, “Cita-cita Politik Kita” dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal, Aspirasi Umat Islam Indonesia, Leppenas, Jakarta, 1983.