Profil Emas KH. Wahid Hasyim (1)

in Tokoh

Last updated on February 17th, 2018 12:49 pm

KH. Wahid Hasyim dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Tapi di atas semua itu, sosok beliau adalah potret ideal seorang anak, ayah, pemimpin, ulama dan hamba Allah yang layak untuk diteladani oleh setiap generasi bangsa ini.”

—Ο—

 

Hari itu, jumat tanggal 1 juni 1914, kesepuhan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, sedang dilanda kecemasan. Nyai Nafiqah putri Kyai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan, Madiun, sedang berjuang antara hidup dan mati melakukan persalinan anak ke-5. Meski sudah beberapa kali melakukan persalinan, tapi untuk kali ini berbeda. Selama mengandung, Nyai Nafiqah sering sakit-sakitan. Sehingga wajar bila kecemasanpun mewarnai seisi kasepuhan, terlebih sang suami, KH. Hasyim Asy’ari yang tidak lain pendiri dan pengasuh pondok pesantren Tebuireng. Keempat anak mereka sebelumnya semua perempuan. Ada harapan dalam diri pasangan ini agar anak kelima ini laki-laki, sehingga bisa melengkapi kebahagian dalam hidup mereka.

Di luar, aktifitas pesantren tetap berlangsung seperti biasa. Hanya sepuluh meter dari kasepuhan, tempat keluarga besar KH. Hasyim Asy’ari, terdapat Masjid yang menjadi pusat aktifitas ibadah warga pondok. Seperti biasanya, setiap habis isya, masjid ini digunakan untuk kegiatan pengajian. Suara lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari lidah-lidah para santri berkumandang menyemarakkan suasana malam yang bersejarah itu.[1]

Akhirnya, menjelang malam, lahirlah bayi laki-laki pertama dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah dengan selamat dan dalam keadaan sehat walafiat. Kyai Hasyim kemudian menamakannya Muhammad Asy’ari. Nama ini diambil dari nama ayahnya Kyai Hasyim, K.H. Asy’ari seorang pendiri pesantren Keras di Jombang.[2]

Tapi tak lama kemudian, Muhammad Asy’ari mengalami sakit yang cukup memprihatinkan. Akibat dari sakit ini, badannya semakin kurus. Sehingga, sebulan kemudian, ayahnya mengubah namanya menjadi Abdul Wahid. Dan benar saja, sejak itu Wahid Hasyim berangsur pulih dan tidak pernah lagi sakit-sakitan. Nyai Nafiqah memanggil putra pertamanya itu dengan “Mudin”.  Kelak setelah dewasa, dunia lebih mengenal beliau dengan panggilan KH. Wahid Hasyim.[3]

Sebelumnya, atau selama masa mengandung anak ke-5 ini, Nyai Nafiqah sering sakit-sakitan. Hingga akhirnya ia bernazar, bila anak yang dilahirkannya kelak selamat dan sehat, maka ia akan membawa anak ini ke seorang ulama besar, yang juga guru dari KH. Hasyim Asy’ari, yaitu KH. Kholil di Bangkalan, Madura. Dan ketika dirasa waktunya sudah tepat, Nyai Nafiqah berangkat bersama putranya untuk menunaikan nazarnya.

Ia menempuh perjalan yang sukar dari Jombang ke Madura. Tapi sesampainya di Madura, ia dan putranya tidak diizinkan masuk oleh sang Kyai. Sesuatu yang sangat tidak biasa dan menggugat nalar. Nyai Nafiqah tidak pernah menduga bahwa nazar yang diucapkanya, ternyata begitu pelik ketika ditunaikan.

Ketika itu malam, langit memuntahkan semua bebannya. Hujan turun bercampur geledek menyirami Bangkalan. Nyai Nafiqah membatu bersama putranya di halaman rumah Sang Guru. Mereka tak diizinkan masuk, tidak juga dibolehkan pulang. Setelah cukup lama menunggu, dan karena khawatir akan putranya, Nyai Nafiqah merapat ke teras untuk berteduh. Namun Kyai Kholil justru menyuruhnya kembali ke halaman, berdiri di bawah derasnya hujan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh murid dan anaknya ini selain mengikuti kata sang guru. Hingga akhirnya, mereka tetap tidak diperkenankan masuk, dan Nyai Nafiqah beserta putranya diperintahkan kembali ke Tebuireng.[4]

Kisah ini demikian masyur dan masih dituturkan dari gerasi ke genersi. Tidak ada yang bisa memastikan maksud Kyai Kholil memerintahkan muridnya melakukan hal demikian. Pun tidak ada yang bisa memahami bagaimana Nyai Nafiqah demikian patuh dan takzim pada perintah gurunya ini. Munib Huda, sekretaris pribadi Abdurrahman Wahid (Gus Dur), anak tertua Wahid Hasyim menilai, “kisah tersebut hanya bisa ditafsirkan oleh orang-orang yang ikhlas dan linuwih.”[5] Tidak sedikit orang yang meramalkan itu adalah sebuah tanda bahwa bayi yang dibawa oleh Nyai Nafiqah, akan menjadi sosok agung yang akan menjalani satu lakon raksasa bagi bangsanya.

Tapi ramalan itu tampaknya memang tidak berlebihan. Beberapa puluh tahun kemudian, dunia menyaksikan bagaimana KH. Wahid Hasyim memang menjadi salah satu tokoh sentral dalam membidani lahinya nusantara modern yang dikenal dengan Indonesia. Kiprah beliau dalam masa pergerakan hingga lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak bisa dibantah oleh siapapun.

Sosoknya begitu spesial. Ia mampu menjangkar berbagai kutub perbedaan yang sebelumnya tampak mustahil disatukan. Dalam dirinya menyatu unsur kemodernan dan tradisional, nasionalis dan agama, timur dan barat, serta ulama dan pejuang. Di kala banyak tokoh perjuangan bergerak memperjuangkan kelompoknya, ideologi politiknya, kelas sosial tertentu ataupun agama tertentu untuk dijadikan sebagai fundamen kebangsaan Indonesia raya, beliau justru sibuk meracik rumusan baru kebangsaan Indonesia di atas semua perbedaan itu.

Lebih dari itu, sosok beliau adalah potret ideal seorang anak, ayah, pemimpin, ulama dan hamba Allah yang layak untuk diteladani oleh setiap generasi bangsa ini. (AL)

Bersambung..

Profil Emas KH. Wahid Hasyim (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, http://digilib.uinsby.ac.id/3919/5/Bab%202.pdf, diakses 14 Februari 2018

[2] Ibid

[3] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, diakses 14 Februari 2018

[4] Ibid

[5] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*