Puasa Berbicara hingga Puasa Ramadhan: Pemaknaan Puasa berdasarkan Al-Quran dan Sunnah

in Ramadania

Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (Qs. Maryam: 26)

Gambar ilustrasi. Sumber: suaraislam.co

Ramadhan adalah bulan yang mulia dan istimewa bagi ummat Islam di seluruh dunia. Pada bulan ini, mereka menyambutnya dengan senang penuh suka cita serta amal ibadah yang tak lekang oleh waktu.

Pada malam hari, jalan dipenuhi jamaah yang berbondong-bondong untuk shalat tarawih bersama di masjid. Di Indonesia misalnya, pengeras suara masjid selama bulan Ramadhan tidak pernah sepi dari lantunan ayat suci Al-Quran sepanjang malam. Saat menjelang fajr, setiap rumah tidak pernah sepi diisi dengan perbincangan hangat di meja makan sembari melaksanakan sahur, bahkan tradisi membangunkan sahur keliling masih kuat terpelihara terutama di gang-gang kecil komplek perumahan. Sehingga tidak heran jika bulan ini sangat ditunggu-tunggu kedatangannya.

Namun, pernahkah terpikir akan tradisi puasa sebelum puasa Ramadhan disyariatkan?

Apakah mereka juga dengan suka cita menyambut hari-hari puasa layaknya ummat Islam saat ini?

Pengertian Puasa dan Syariat Ahli Kitab

Puasa (ṣaum) secara literal bermakna menahan (al-imsāk),[1] sedangkan menurut ibn Mandzur, puasa adalah meninggalkan makan, minum, menikah, dan bahkan berbicara.[2] Ayat al-Quran yang pertama kali membahas tentang puasa adalah puasa dalam konteks menahan diri dari berbiacara

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا

Artinya: Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (Qs. Maryam: 26)

Syaikh Abdurrahman Hanabakah Al-Maidani Rahimahullah membahas hal ini dalam kitabnya bahwa puasa berbicara (kalam) merupakan syariat ahli kitab pada zaman Nabi Isa as. sebagai nadzar. Sedangkan nadzar dalam Islam wajib ditunaikan bahkan hingga saat ini.

Perbedaannya, nadzar pada masa tersebut bermakna mewajibkan hal yang mubah, sedangkan syariat Islam saat ini berdasarkan pendapat mayoritas fuqahaʿ memaknai nadzar dengan mewajibkan perkara yang didasari oleh ketaatan kepada Allah SWT, yang mana selain tujuan tersebut harus ditinggalkan dan tidak perlu ditunaikan.[3]

Hal ini berdasarkan peristiwa dimana ada seorang sahabat bernadzar untuk berpuasa, berdiri di bawah terik matahari, tidak duduk, tidak berteduh, dan tidak berbicara yang termaktub dalam hadits sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ بَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوا أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلاَ يَقْعُدَ وَلاَ يَسْتَظِلَّ وَلاَ يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ‏.‏ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ‏”‏‏.[4]

Artinya: Ketika Rasulullah Saw sedang berpidato, beliau melihat seseorang berdiri, lalu beliau bertanya tentang orang itu. Mereka (para sahabat) berkata, “Dia adalah Abu Israil yang telah bernadzar untuk berdiri, tidak akan duduk, tidak akan berteduh, tidak akan berbicara kepada siapa pun, serta akan berpuasa. Rasulullah Saw kemudian bersabda, “Perintahkanlah dia untuk tetap berbicara, berteduh, dan duduk, namun hendaklah dia menyempurnakan puasanya.”

              Selain itu, berdasarkan dalil-dalil Quran dan Hadits lainnya, amal ibadah puasa juga sudah disyariatkan sejak zaman Nabi Daud as., yang dikenal dengan puasa daud, dan puasa Asyura’ sejak zaman Nabi Musa as.[5] Oleh karena itu, puasa pada masa sebelum Rasulullah Saw memiliki syariat dan metode yang berbeda-beda.

Lalu bagaimanakah puasa Ramadhan akhirnya disyariatkan pada ummat Rasulullah Saw?

Puasa Ramadhan dan Pemaknaannya

Seperti halnya Nabi Musa as., Nabi Muhammad Saw dan umatnya juga disyariatkan untuk berpuasa Asyura bahkan sebelum puasa Ramadhan diperintahkan, sebagaimana dalam hadits disebutkan:

كان يوم عاشوراء يوماً تصومه قريش في الجاهلية، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصومه في الجاهلية[6]

Artinya: Suku Quraisy biasa berpuasa pada hari ‘Asyura’ di masa Jahiliyah, dan Rasulullah Saw juga berpuasa pada hari itu. Ketika beliau tiba di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan orang lain untuk berpuasa juga. Kemudian ketika puasa bulan Ramadhan disyariatkan, beliau meninggalkan puasa pada hari Asyura dan menjadi pilihan bagi seseorang untuk berpuasa atau tidak.

Maka jelaslah bahwa kewajiban puasa Ramadhan menasakh kewajiban berpuasa Asyura pada zaman Nabi Saw. Ayat Al-Quran yang menjelaskan kewajiban berpuasa Ramadham dalam Islam terdapat dalam Surat Al-Baqarah sebagai surat yang pertama kali turun di Madinah setelah hijrah Rasulullah Saw.

Para ulama berpendapat bahwa syariat puasa ditetapkan pada tahun kedua setelah Hijrah Nabawi. Hal ini merupakan penyempurnaan ayat puasa yang kemungkinan telah diturunkan sejak tahun pertama Hijrah namun belum diwajibkan untuk seluruh umat Islam pada masa itu.[7]

Sejak saat itulah Allah SWT mensyariatkan puasa bulan Ramadhan dengan banyak keistimewaan yang dapat diraih oleh umat Islam sepanjang bulan tersebut. Bahkan Allah SWT menjanjikan hamba-Nya yang menjalankan Ramadhan akan pengampunan dosa-dosa yang lalu selama pelaksanaannya penuh taqwa imanan wa ihtisaban sebagaimana dalam hadits berikut:

عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ‏”‏‏.‏[8]

Artinya: Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang mendirikan salat pada malam Lailatul Qadar dengan iman yang tulus dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni segala dosa-dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan iman yang tulus dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni segala dosa-dosanya yang telah lalu.”

Ibn Taymiyyah berpendapaat bahwa makna imanan adalah yakin bahwa Allah SWT yang mensyariatkan, mewajibkan, meridhoi dan memerintahkan akan perkara tersebut, sedangkan ihtisaban berarti melaksanakannya dengan ikhlas berharap pahala dari Allah SWT.[9]

Setelah mentadabburi dalil-dalil kuat mengenai puasa sejak zaman ahli kitab hingga saat ini, dapat disadari bahwa apa yang telah Allah syariatkan pada umat Islam saat ini adalah puasa yang ringan dibanding puasa-puasa umat sebelumnya.

Namun pintu-pintu kebaikan banyak dibukakan oleh Allah SWT bagi mereka yang benar-benar dapat memaknai bulan Ramadhan dengan baik. Sehingga tidak heran jika umat Islam dengan suka cita merayakannya dengan planning serta target ibadah selama bulan Ramadhan telah siap dalam genggamannya, berharap meraih keistimewaan-keistimewaan di dalamnya. (NSS)

Catatan kaki:


[1] Al-Azhari, Tahdhīb al-Lughah, 12/182.

[2] Ibn Mandzur, Lisān al- ‘Arab, 8/309.

[3] Abdurrahman Hanabakah al-Maidani, Al-Ṣiyām wa Ramaḍān fī Al-Sunna wa Al-Qur’ān, 33.

[4] Al-Bukhari, Ṣahīh al-Bukhārī 6704 (83/81).

[5] Atiyyah Muhammad Salim, Istiqbāl al-Muslimīn li Ramaḍān, 28.

[6] Al-Bukhari, Ṣahīh al-Bukhārī 2002 (30/107).

[7] Abdurrahman Hanabakah al-Maidani, Al-Ṣiyām wa Ramaḍān fī Al-Sunna wa Al-Qur’ān, 33.

[8] Al-Bukhari, Ṣahīh al-Bukhārī 1901 (30/11).

[9] Ibn Taymiyyah, Jāmiʿ al-Masā’il, 1/161.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*