“Beberapa kejadian setelah tangisan-tangisannya, Rabi’ah sering bermimpi melihat cahaya yang terang yang menyatu ke dalam jiwa dan tubuhnya”
–O–
Setelah peristiwa meninggal orang tuanya, Rabi’ah sering menangis, dia menangisi orang tuanya dan terkadang menangis tanpa sebab yang pasti. Sampai akhirnya di satu hari sang kakak sempat bertanya mengapa ia menangis tersedu-sedu “apa yang engkau sedihkan Rabi’ah?” Rabi’ah menjawab di sela tangisannya “tak tahulah aku, tapi aku merasa sedih sekali, aku merasakan suatu kesedihan yang aneh. Tak tahulah apa sebabnya. Seolah-olah ada satu jeritan yang sangat dalam dari lubuk hatiku yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan suatu munajat dalam pendengaranku, yang tak dapat aku hadapi, kecuali dengan mengucurkan air mataku.”[1]
Beberapa kejadian setelah tangisan-tangisannya, Rabi’ah sering bermimpi dengan mimpi yang sama berulang-ulang. Rabi’ah sering bermimpi melihat cahaya yang terang yang menyatu ke dalam jiwa dan tubuhnya. Kejadian tersebut ternyata tidak hanya dalam bentuk mimpi, di satu hari ketika Rabi’ah berada dalam perahunya, Rabi’ah mendengarkan sebuah suara yang merdu dalam bentuk lantunan al-Quran. Lantas Rabi’ah pulang ke rumahnya untuk tidur dengan harapan ia mendapatkan mimpi sebelumnya. Ternyata kejadian itu menjadi nyata tatkala ia melihat tempat tidurnya penuh dengan cahaya yang menyenandungkan kalimat-kalimat yang ia dengar sebelumnya.[2] Kejadian-kejadian tersebut semakin meyakinkan Rabi’ah dalam jalannya untuk terus beribadah kepada Tuhan.
Dalam literatur lain diceritakan bahwa Rabi’ah di masa remaja adalah perempuan biasa, layaknya kaum perempuan di Basrah, tempat ia menetap. Kemiskinan keluarga mendorong ia memanfaatkan kecantikan fisik dan kemerduan suaranya untuk mencari penghidupan bagi keluarga, terlebih saat sang ayah meninggal. Namun kehidupan zuhud para sufi telah mempengaruhi cara pandangnya terhadap dunia. Ia yang di masa kecil telah menghafal ayat-ayat suci al-Quran dan melakukan ibadah dengan khusyuk, kesadarannya seakan terpanggil untuk mengulangi kembali kehidupan masa kecilnya yang selalu ingin mendekatkan diri kepada Tuhan. Bagi para zahid, sebutan bagi para sufi yang zuhud, orang-orang kaya memiliki dunia mereka sendiri, begitu pula orang-orang miskin. Rabi’ah lalu bertaubat kepada Tuhan, pertaubatannya telah membuat ia terbakar di dalam cinta kepadaNya.[3]
Pada suatu hari, ketika keluar rumah, ia ditangkap oleh perampok dan dijual dengan harga enam ribu dirham. Ia dibeli oleh suatu keluarga yang berasal dari kaum Mawali al-Atik yang masih ada hubungannya dengan Bani Adwa, dan nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu. Al-Atik berasal dari suku Qais, dari sinilah Rabi’ah dikenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyah.[4]
Orang yang membeli Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Memperlakukannya dengan bengis dan kasar. Namun demikian Rabi’ah tetap tabah menghadapi cobaan tersebut. Pada siang hari ia melayani tuannya, dan pada malam hari beribadah kepada Allah. Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi’ah sedang sujud dan berdoa “Ya Allah, hasrat hatiku adalah untuk mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat merubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan istirahat barang sedikit pun dari mengabdi kepada-Mu” menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi’ah, bersikap lunak kepadanya dan membebaskannya.[5]
Rabiah ditawari untuk tinggal bersama tuannya, akan tetapi Rabi’ah menolak. Ia memilih untuk meninggalkan rumah tuannya dan ia ingin hidup sendiri dalam kedekatan dengan Tuhannya. Dalam kebebasannya, ia selalu giat beribadah, bertaubat dan menjauhi duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya, bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.[6]
Menurut cerita orang yang memilikinya bahwa ia melihat cahaya di atas kepala Rabi’ah, dan sewaktu ia beribadah cahaya itu menerangi seluruh ruangan rumahnya. Setelah dibebaskan ia pergi menyendiri ke padang pasir dan memillih hidup sebagai zahidah, dan menurut riwayat Imam Sya’rani bahwa pada suatu ketika ada orang yang menyebut-nyebut siksa neraka di depan Rabi’ah, mendengar ucapan itu ia lalu tak sadarkan diri dan pingsan. Pingsan di sini dalam bentuk istighfar, memohon ampunan Tuhan dan setelah ia siuman dari pingsannya ia berkata “aku mesti meminta ampun lagi dengan cara memohon ampun yang pertama.”[7]
Rabi’ah mengembara dan hidup di padang pasir. Disinilah ia menemukan tempat dan menghabiskan waktunya untuk beribadah. Suatu hari Rabi’ah hendak beribadah haji. Dengan bermodalkan seekor keledai dan sedikit barang-barang untuk kebutuhan hidupnya, akhirnya ia berangkat untuk menunaikan ibadah haji. Di dalam perjalannya menuju haji, keledai yang menemaninya mati. Lalu ia berjumpa dengan sekelompok orang yang menawarkannya bantuan. Akan tetapi tawaran itu ditolak sambil berkata bahwa ia tidak akan pernah bergantung kepada selain Allah. Ia hanya percaya kepada bantuan Allah dan tidak kepada ciptaan-Nya. Kelompok tersebut akhirnya meninggalkan Rabi’ah sendiri di tengah gurun pasir. Rabi’ah akhirnya menundukan kepala dan berdoa “Ya Allah, apalagi yang akan Kau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkaulah yang memanggilku ke rumah-Mu, tetapi di tengah perjalanan ini Engkau malah mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah gurun pasir ini”. Setelah memanjatkan doa, maka keledai yang sebelumnya mati seketika bangkit kembali. Dengan penuh rasa syukur akhirnya Rabi’ah menaikan kembali semua barang bawaannya dan melanjutkan kembali perjalanannya.[8] (SI)
Bersambung…
Rabi’ah Al-Adawiyah Ibu Para Sufi (3) : Memilih Untuk Tidak Menikah
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Muhammad Attiyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, hal 10
[2] Lihat, Ibid, hal 13
[3] Lihat, Ma’mun Gharib, Rabi’ah al-Adawiyah fi Mihrab al-Hubbil Ilahy, Dar al-Gharib, Kairo, 2000, hal 29-33 dalam Jurnal Analisa Vol. 21 nomor 2 Desember 2014
[4] Lihat, Widdad El-Sakkaini, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, ter. Nabhil Fethi Safwat dan Zoya Herawati, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hal 122
[5] Lihat, Tim Penyusun Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta 1997, hal 148
[6] Lihat, M Al Fatih Suryadilaga, Miftahus Sufi, Teras, Yogyakarta, 2008, hal 114
[7] Lihat, Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT Pustaka Panjimas, 1984, hal 79
[8] Lihat, Margareth Smith, Mistime Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Perkembangannya, terj. Amroeni Drajat, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hal 10
Apa hakekat cinta
Apa hakekat cinta