“Saat ajalnya tiba, Rabi’ah menolak didampingi oleh siapapun, sekalipun orang-orang yang ingin mendampinginya adalah orang-orang yang sangat soleh”
–O–
Rabi’ah hidup seperti manusia lainnya, menjalani hidup hingga usia lanjut. Pada saat sakit, Rabi’ah mendapat kunjungan dari tiga orang sahabatnya, yaitu Hassan al-Basri, Malik bin Dinar dan Syaqiq al-Baikhi. Mereka membahas tentang ketulusan dan kejujuran. Salah seorang penulis mengatakan bahwa kain kafan milik Rabi’ah selalu berada di sampingnya, di tempat di mana ia selalu melakukan ibadah-ibadahnya.[1]
Pada suatu hari, sahabatnya berkata kepadanya “Wahai yang mulia di dunia ini, tak tampak penyakitmu dimataku, tetapi engkau sangat merasakan sakit dan selalu menangis”. Lalu Rabi’ah menjawab “sakitku adalah dari dalam dadaku, dimana penyembuh dari seluruh dunia tidak akan dapat menyembuhkannya, dan pembalut lukaku adalah menyatu dengan sahabatku, hanya itulah yang dapat meringankannya. Bukankah esok aku akan dapat meraih tujuanku. Tetapi karena rasa sakitku ini tidak menggangguku, tampaknya aku menderita, tak ada yang dapat kuperbuat dari semua ini. Yakni, tanda-tanda penderitaan fisikku tidak sebesar penderitaan spiritualku”.
Menjelang akhir hidup Rabi’ah, Muhammad bin Amr bercerita bahwa ia datang untuk melihat Rabi’ah, ia adalah wanita yang sudah tua berusia delapan puluh tahun, ia terlihat seolah-olah seperti tempat air yang hampir jatuh dari gantungannya. Dirumahnya terlihat tempat gantungan baju dari kayu Persia, tingginya kira-kira dua hasta. Selain itu terdapat pula sebuah kendi dari tanah liat dan sebuah tikar dari bulu. Ketika ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti Abi Sahwwal yang telah menemaninya dengan baik, ia merupakan sahabat dan pembantunya yang paling baik dan setia. Kepada Abdah ia berpesan, “janganlah kematianku sampai menyusahkan orang lain, bungkuslah mayatku dengan jubahku”[2]
Saat ajalnya tiba, Rabi’ah menolak didampingi oleh siapapun, sekalipun orang-orang yang ingin mendampinginya adalah orang-orang yang sangat soleh. Rabi’ah berkata kepada mereka “bangun dan keluarlah! Lapangkan jalan utusan Allah yang akan menjemputku”.
Setelah orang-orang di sekitar Rabi’ah keluar dan menutup pintu, terdengarlah suara Rabi’ah mengucapkan dua kalimat syahadat, lalu dijawab suara, “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang dan mendapat keridhaan. Maka masuklah ke dalam hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku”[3].
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa kain kafan untuk membungkus jenazahnya itu telah disiapkan olehnya dan digantung di samping tempat ibadahnya. Detik-detik terakhir menjelang kematiannya ia memanggil seorang pembantunya dan berkata kepadanya, “wahai Abda, jangan beritahu orang lain bahwa kematianku sudah dekat, apabila saatnya tiba, tutuplah aku dan ujung kaki hingga ujung rambut dengan menggunakan kafan ini”. Maka ketika ia meninggal ditutup tubuhnya yang telah rentang dengan kain kafan dari wol yang biasa ia gunakan.
Setelah satu tahun kematiannya, Abda mengisahkan bahwa ia telah berjumpa dengan Rabi’ah dalam suatu mimpi. Rabi’ah datang dengan menggunakan jubah sutera berwarna hijau dengan hiasan border benang emas dan kain selendang sutera brokat yang belum pernah dilihat oleh Abda sebelumnya di dunia ini. Lalu Abda bertanya padanya “wahai Rabi’ah kemanakah kain kafan dan selendang sutera yang engkau kenakan saat kematianmu itu?”, lalu Rabi’ah menjawab “Semua itu telah diambil dariku dan diganti dengan apa yang engkau lihat ini dan pakaian yang aku kenakan sebagai kain kafan telah dilipat, disegel dan dibawa oleh malaikat, sehingga pakaianku akan lengkap sudah saat hari kebangkitan nanti. Abda bertanya lagi “apakah engkau melaksanakan harimu sebagaimana engkau masih didunia?”. Lalu dijawab “apakah itu dapat dibandingkan dengan rahmat Allah kepada orang-orang suci-Nya”[4]
Rabi’ah wafat pada usia kurang lebih sembilan puluh tahun, tepatnya pada tahun 185 H/ 801 M, sedangkan makamnya tidak diketahui secara pasti, ada yang menyebutkan ia dikubur di Jerussalem di atas sebuah bukit, akan tetapi sumber yang lebih kuat menyebutkan bahwa Rabi’ah dimakamkan di Basrah, daerah Syam (Syiria).
Akhirnya Rabi’ah telah mencapai tujuan yang selama ini dicari dan didambakannya menyatu, bertemu, dan memandangi keindahan Tuhan.
Rabi’ah telah membukakan jalan menuju ma’rifat illahi, sehingga ia menjadi teladan bagi orang-orang yang menuju jalan Allah, sperti Sufyan as-Sauri, Rabah bin Amr al-Quysi, dan Malik bin Dinar. Teladan yang ditinggalkan Rabi’ah masih terus hidup sepanjang masa bagi orang-orang yang menuju jalan Allah.[5]
Banyak ulama mengatakan bahwa kelahiran Rabi’ah di dunia, dan lalu meninggalkannya ke alam lain, ia tidak pernah menginginkan sesuatu yang lain kecuali ta’zim hanya kepada Allah, dan ia tidak pernah menginginkan apa pun kecuali berdoa kepada Allah, “Berilah aku ini atau tolong lakukan ini untukku!” dan sedikit pula ia meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.[6]
Warisan yang telah ditinggalkan dan menjadi panutan adalah salah satu kelebihan yang dimiliki Rabi’ah yakni kemampuan ilmunya yang memadai, termasuk ilmu batin yang menjadikan dirinya sebagai sufi yang memiliki beberapa karamah. Karena itu, ia termasuk wali Allah. Perasaan cinta Illahi yang dipaparkan oleh Rabi’ah dalam perjalanan tasawufnya, tidak ada sahabat-sahabat sufinya yang pernah mengalaminya, maka ini juga termasuk ciri khas perkembangan tasawuf yang dialami oleh Tabi’in di akhir abad I dan II H.[7] (SI)
Bersambung….
Sebelumnya:
Rabi’ah Al-Adawiyah Ibu Para Sufi (3) : Memilih Untuk Tidak Menikah
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Margareth Smith, Rabi’ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hal 49
[2] Lihat, Muhammad Attiyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, hal 80
[3] Lihat, Ibid
[4] Lihat, Shibt Ibnu al-Jauzi, Tarikh Mir’at az-Zaman, MS, Brit. Museum vol. 257
[5] Lihat, Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hal 799
[6] Lihat, Op.cit, Smith, hal 51
[7] Lihat, Mahjuddin, Akhlak Tasawwuf II : Pencarian Ma’rifah Bagi Sufi Klasik dan Penemuan Kebahagiaan Batin Bagi Sufi Kontemporer, Kalam Mulia, Jakarta, 2010, hal 126-127