“Seri artikel ini akan menceritakan keruntuhan Kekhalifahan Terakhir di dalam Islam, yakni Kekaisaran Ottoman pada tahun 1924. Kejadian tersebut di dalam dunia Islam merupakan salah satu peristiwa besar. Bagaimana kisahnya, ketika imperium yang sudah berkuasa selama lebih dari 600 tahun dan menguasai dunia dapat runtuh di era modern.”
–O–
Secara tata bahasa, kata al khilâfah (الخلافة) berasal dari akar kata khalfun ( خلف ) yang arti asalnya “belakang” atau lawan kata “depan”.[1] Dari akar kata khalfun berkembang menjadi berbagai pecahan kata benda seperti khilfatan (bergantian); khilâfah (kepemimpinan sebagai pengganti); khalîfah, khalâif, khulafâ (pemimpin, pengganti); ikhtilâf (berbeda pendapat); dan istikhlâf (penggantian). Kata kerja yang muncul dari kata khalfun adalah kha-la-fa (خلف) artinya mengganti; ikh-ta-la-fa (إختلف) yang artinya berselisih, berbeda pendapat; dan kata is-takh-la-fa ( استخلف) yang artinya menjadikan sesuatu sebagai pengganti.[2]
Di dalam al-Qur’an terdapat sekurang-kurangnya 127 ayat yang menyebut kata yang berakar dari kata khalfun. Tetapi hanya dua kali menyebut dalam bentuk kata benda yang diatributkan kepada manusia sebagai “khalîfah”, yaitu pada surat Al Baqarah ayat 30 dan surat Shâd ayat 26. Selebihnya berbicara tentang kedudukan manusia sebagai makhluk yang saling bergantian menempati dan memakmurkan bumi dari generasi ke generasi berikutnya, atau dalam makna pergantian siang malam, dan perpedaan pendapat.[3]
Sementara itu, pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, meskipun secara harfiah khalifah artinya adalah “pengganti”, maknanya menjadi lebih mengkerucut, yaitu: “pengganti kepemimpinan Nabi”. Dalam pandangan aliran Sunni, diyakini tak ada petunjuk teks al-Quran mengenai siapa pengganti Nabi. Kalangan Sunni juga tidak meyakini ihwal hadis penunjukan siapa pengganti Nabi.[4]
Berbeda halnya dengan aliran Syiah yang meyakini Imam Ali bin Abu Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi, sebagai pengganti Nabi yang sah. Hadis Nabi yang diucapkan di Ghadir Khum sepulang dari haji wada’ dijadikan sandaran kuat oleh kalangan Syiah bahwa kepemimpinan setelah Nabi wafat hanyalah untuk Imam Ali.[5] Masyhur diketahui bahwa dalam perspektif Syiah, imamah (kepemimpinan) merupakan hak eksklusif Imam Ali bin Abu Thalib dan keturunannya atas dasar penunjukan oleh Nabi sendiri untuk mewarisi perannya sebagai pemegang otoritas politik dan keagamaan sepeninggal beliau.[6]
Dalam artikel ini, kita tidak akan membahas perspektif Syiah terkait kepemimpinan pasca Rasulullah. Apabila di dalam Syiah, kepemimpinan pasca Nabi lebih mengkerucut dan definitif, lain halnya dengan Sunni. Di dalam Sunni terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama, Imam Al Mawardi dalam karyanya yang berjudul Al ahkamus sulthoniyah mengatakan bahwa kekhalifahan dalam Islam hanya berlangsung pada masa Khulafaur Rasyidin, yakni empat pemimpin pertama dalam Islam selepas wafatnya Rasulullah: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib.[7]
Pendapat kedua, Abul A’la al-Maududi dalam bukunya yang berjudul al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan), mengatakan bahwa khilafah dalam Islam hanya terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin sampai masa Hasan bin Ali bin Abu Thalib, cucu Rasulullah sekaligus putra dari khalifah keempat. Pasca Hasan, dengan naiknya Muawiyah, diteruskan oleh putranya Yazid, dan seterusnya oleh berbagai keturunan dari Bani Umayyah, yang ada bukan khilafah, melainkan kepemimpinan dalam Islam berdasarkan sistem kerajaan.[8]
Pendapat ketiga, Khalid Muhammad Khalid, dalam bukunya yang berjudul Khulafa’ur Rasul, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan khalifah Rasulullah adalah Khulafaur Rasyidin plus Umar bin Abdul Aziz. Menurutnya, Umar bin Abdul Aziz yang berasal dari garis keturunan Umar bin Khattab dan Bani Umayyah, adalah Mukjizat Islam, karena meskipun hidup jauh hari setelah Rasulullah wafat dan berasal dari keturunan Bani Umayyah yang terkenal dengan segala keburukkan dan kefasikkannya, namun dia berhasil kembali menghidupkan ayat-ayat al-Quran dan bertingkah laku sangat mirip dengan Rasulullah.[9]
Pendapat keempat, belakangan pendapat ini gencar disuarakan oleh kelompok Hizbut Tahrir. Kelompok ini memiliki cita-cita untuk mewujudkan kekhalifahan dalam Islam atau khilafah yang pernah runtuh. Kelompok ini tersebar di berbagai wilayah di dunia, di antaranya Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, hingga Eropa. Di beberapa negara Hizbut Tahrir bahkan terang-terangan menjadi sebuah partai politik.[10]
Mengutip Rancangan Undang Undang Dasar Daulah Khilafah milik Hizbut Tahrir, Abu Bakar Muhamad bin Ismail dalam bukunya yang berjudul Mengenal Lebih Dekat Hizbut Tahrir (Indonesia) menyebut khalifah mewakili umat dalam kekuasaan dan pelaksanaan syara. Adapun kekhilafahan sebagai institusi politik disebut Ismail bukan sesuatu yang asing. Dalam sejarah Islam, terdapat sejumlah kekhilafahan yang diawali pada masa Khulafaur Rasyidin selama 30 tahun dan berakhir di era Turki Utsmani (Ottoman) pada tahun 1924. Jadi, menurut Hizbut Tahrir, yang dimaksud dengan khilafah dimulai dari sejak zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq sampai dengan berakhirnya kekuasaan Ottoman pada tahun 1924.[11]
Terlepas dari perdebatan mengenai apa makna dan definisi “khalifah” di dalam Islam, artikel ini tidak akan mengelaborasi lebih jauh versi mana yang benar. Seri artikel ini akan mendeskripsikan sejarah runtuhnya kekhalifahan berdasarkan pendapat yang terakhir, yakninya runtuhnya Dinasti Ottoman pada tahun 1924. Bagaimanapun, kejadian tersebut di dalam dunia Islam merupakan salah satu peristiwa besar. Bagaimana kisahnya, ketika imperium yang sudah berkuasa selama lebih dari 600 tahun dan menguasai dunia dapat runtuh di era modern. (PH)
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Al Raghib al Asbahani, Al Mufradât fî gharîb al Qur’ân, (Libanon: Darul Ma’rifah, tt.), hlm. 155, dalam “Makna Khilafah dalam Al-Qur’an dan Sunnah”, dari laman http://persis.or.id/makna-khilafah-dalam-al-quran-dan-sunnah, diakses 3 Mei 2018.
[2] “Makna Khilafah dalam Al-Qur’an dan Sunnah”, Ibid.
[3] Ibid.
[4] Masduki Baidlowi, “Antara khilafah dan khalifah”, dari laman https://beritagar.id/artikel/telatah/antara-khilafah-dan-khalifah, diakses 3 Mei 2018.
[5] Ibid.
[6] Akhmad Sahal, “Khilafah: Tujuan atau Sarana? [Bagian I]”, dari laman https://geotimes.co.id/kolom/politik/khilafah-tujuan-atau-sarana-bagian-i/, diakses 3 Mei 2018.
[7] Masduki Baidlowi, Ibid.
[8] Nadirsyah Hosen, “Demokrasi Mengembalikan Politik Islam ke Jalur yang Benar”, dari laman https://geotimes.co.id/kolom/politik/demokrasi-mengembalikan-politik-islam-ke-jalur-yang-benar/, diakses 3 Mei 2018.
[9] Lihat Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984).
[10] Wishnugroho Akbar, “Hizbut Tahrir Indonesia: Menyebar Khilafah di Bumi Nusantara”, dari laman https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170814022839-20-234474/hizbut-tahrir-indonesia-menyebar-khilafah-di-bumi-nusantara, diakses 3 Mei 2018.
[11] Ibid.