Runtuhnya Kekhalifahan Terakhir (3): Selamat Tinggal Khalifah, Selamat Datang Presiden

in Monumental

“Abdul Mejid diangkat menjadi khalifah, dua tahun kemudian sistem kekhalifahan dihapuskan, dia dan keluarganya diusir keluar dari Turki. Mustafa Kemal Ataturk menjadi presiden pertama Turki dan menjadikan negara ini sekuler.”

–O–

Simultan dengan Perjanjian Serves dan  mandat Liga Bangsa-Bangsa (LBB), di dalam negeri pun, Republik Turki yang baru terbentuk, melalui Majelis Nasional Agung Turki, pada November 1922 memberikan tekanan dengan menghapuskan Kekaisaran Ustmaniyah (Ottoman). Namun mereka masih diberi waktu beberapa tahun lagi untuk pergi dari Turki. Kini, menghilangnya Kekaisaran Ottoman dari muka bumi tinggal menunggu waktu, sampai akhirnya mereka benar-benar hilang dan tenggelam, yang tersisa dari mereka hanya tinggal sejarah.[1]

Salah satu alasan mengapa kekaisaran atau kekhalifahan Ottoman tidak diusir pada saat itu juga adalah karena adanya kekhawatiran akan memicu perang saudara, suatu hal yang sangat ingin dihindari oleh Mustafa Kemal Ataturk, pemimpin nasionalis Turki pada saat itu. Jadi, yang dilakukan pertama kali oleh Ataturk adalah menghapus sistem kesultanan, dan kemudian mengangkat orang yang akan menjadi khalifah terakhir supaya transisi ini berjalan dengan mulus.[2]

 

Abdul Mejid II, Sang Khalifah Terakhir

Orang terakhir yang diangkat menjadi khalifah adalah Abdul Mejid II (Abdulmecid II), putra dari Sultan Abdul Aziz, Sultan Ottoman yang ke-32. Sebelum terbentuknya Republik Turki, sesuai dengan tradisi Ottoman, dia telah dinobatkan menjadi Putra Mahkota Kesultanan. Karena kesultanan sudah dihapuskan, maka dia diberi gelar sebagai khalifah.[3]

Abdul Mejid II, Sang Khalifah terakhir pada tahun 1923. Photo: Perpustakaan Kongres Amerika Serikat

Ketimbang dikenal sebagai seorang politisi, Abdul Mejid II lebih dikenal sebagai seseorang yang bersosok lembut, mencintai ilmu, dan seni rupa. Bahkan dalam sudut pandangnya, dia menempatkan agama Islam tidak di atas agama-agama lain, melainkan sejajar. Dia berkata telah melihat jauh ke depan, ketika manusia di dunia hidup dalam persaudaraan, “semua manusia akan memanggil satu sama lain sebagai saudara, pertimbangan rasial dan agama akan hilang, dan orang-orang akan hidup menurut firman Allah yang sejati sebagaimana yang disampaikan kepada mereka oleh nabi-nabi-Nya: Musa, Kristus, Konfusius, Buddha, dan Muhammad,” kata Abdul Mejid.[4]

Pengangkatan Abdul Mejid menjadi khalifah hanya sesuatu yang simbolis, dia diharapkan menjadi jembatan transisi antara tradisi besar Islam yang telah hidup selama ribuan tahun ke era modern. Di dalam tradisi Ottoman, dia adalah pemegang takhta tertinggi yang ke-37, sementara apabila dilihat dari rentang sejarah Islam yang panjang, dia adalah khalifah ke-101 setelah pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama.[5]

 

Pengusiran

Pada tanggal 3 Maret 1924, Ataturk menandatangani surat keputusan yang menghapuskan posisi khalifah. Maka secara resmi, sebuah lembaga yang sudah ada dan mengakar di dalam dunia Islam selama lebih dari 1.300 tahun sekarang sudah tidak ada lagi. Ketika berita tersebut tersebar ke berbagai penjuru dunia, dunia Islam sangat terkejut, khususnya bagi para Muslim Sunni, karena untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, umat Islam tidak memiliki seorang khalifah.[6]

Walaupun demikian, pemerintah baru Republik Turki memberikan perintah agar Abdul Mejid diperlakukan dengan terhormat dan sopan, meskipun dia tetap harus sudah keluar dari Turki sebelum fajar tiba. Semua keturunan laki-laki dari Sultan Osman (sultan pertama Ottoman) diberi waktu 24 jam untuk meninggalkan negara itu. Sementara anggota keluarga perempuan diberi waktu satu minggu. Seluruh paspor mereka diberi tanda khusus, yang artinya selamanya mereka dilarang kembali ke Turki.[7]

Pada saat yang sama, tidak ada satu pun negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam mau menerima keturunan Osman untuk menjadi penduduk baru di negara mereka. Mereka khawatir suatu waktu para keturunan Osman ini ingin kembali mendirikan kekhalifahan atau kesultanan.[8] Pada 23 Agustus 1944, Abdul Mejid, sang khalifah terakhir, meninggal di rumahnya di Boulevard Suchet, Paris. Ia dimakamkan di Madinah, Arab Saudi.[9]

 

Presiden Pertama Turki

Mustafa Kemal Ataturk menjadi Presiden pertama Republik Turki, dia memegang jabatan itu dari sejak tahun 1923 sampai kematiannya di tahun 1938. Di bawah kepemimpinannya, peran Islam dalam ranah kehidupan publik menyusut dengan drastis, dia melakukan reformasi dengan cepat yang mengubah Turki menjadi sekuler dan dan kebarat-baratan.[10]

Mustafa Kemal Ataturk, Presiden Republik Turki pertama.

Sistem hukum yang mengadopsi hukum di Eropa diberlakukan, pemerintahan kesultanan dihapuskan, dan bahasa dan pakaian baru dimandatkan. Tetapi meskipun Turki telah menjadi republik dan secara label merupakan negara demokratis, tetapi pada praktiknya Ataturk menangani kubu oposisi dengan cara-cara otoriter.[11]

Ataturk juga menutup semua pengadilan dan sekolah-sekolah agama, melarang pemakaian jilbab di kalangan pegawai pemerintahan, menghapuskan kementrian dan yayasan-yayasan keagamaan, mencabut larangan alkohol; mengadopsi kalender Gregorian sebagai pengganti kalender Islam, yang hari liburnya menjadi hari Minggu, bukan Jumat; mengubah alfabet Turki yang sebelumnya huruf Arab menjadi huruf Romawi, memberikan mandat bahwa adzan harus dilakukan dalam bahasa Turki bukan bahasa Arab, dan bahkan melarang pemakaian kopiah.[12]

Pada Oktober 1926 Ataturk melakukan pidato, dia berkata, “dunia yang beradab jauh di depan kita. Kita tidak punya pilihan lain selain mengejar ketertinggalan,” ujarnya. Delapan tahun kemudian, dia mewajibkan semua orang Turki untuk memilih nama keluarga, Ataturk sendiri memilih “Ataturk” (yang artinya adalah Bapak Turki) sebagai nama keluarganya. Pada saat itu juga, Turki telah bergabung dengan LBB, memberantas buta huruf, dan memberikan hak pilih untuk perempuan, meskipun pada praktiknya dia pada dasarnya menerapkan sistem aturan partai tunggal. Dia juga menutup koran-koran oposisi, menekan organisasi-organisasi pekerja sayap kiri, dan menutup jalan apa pun terhadap otonomi wilayah suku Kurdi.[13] (PH)

Seri Runtuhnya Kekhalifahan Terakhir selesai.

Sebelumnya:

Runtuhnya Kekhalifahan Terakhir (2): Akhir Ustmaniyah

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 290.

[2] Ibid.

[3] “Abdülmecid II: Ottoman Prince and Caliph”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Abdulmecid-II, diakses 6 Mei 2018.

[4] Eamon Gearon, Loc. Cit.

[5] “Abdul Mejid II”, dari laman http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Abdul_Mejid_II, diakses 6 Mei 2018.

[6] Eamon Gearon, Ibid., hlm 288.

[7] Ibid., hlm 290.

[8] Ibid., hlm 290-291.

[9] “Abdul Mejid II”, Ibid.

[10] “Kemal Atatürk”, dari laman https://www.history.com/topics/kemal-ataturk, diakses 6 Mei 2018.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*