Sayidah Sukainah Binti Husein ra (2)

in Tokoh

Dalam usianya yang sangat belia, beliau telah mampu menyampaikan pendapat yang strategis guna melindungi kehormatan keluarga Nabi SAW. Dan ini sudah lebih dari cukup untuk membantah semua informasi dan anggapan yang tidak sesuai tentang dirinya.

—Ο—

 

Terkait dengan kontroversi yang diriwayatkan oleh Abul Faraj Isfahani tentang Musha’ab bin Zubair yang dianggap sebagai suami dari Sukainah binti Husein ra, terdapat beberapa informasi yang perlu diluruskan. Musha’ab bin Zubair merupakan saudara dari Abdullah bin Zubair. Mereka ini sangat terkenal kebenciannya pada Ahlul Bait dan pengikutnya. Mereka memusuhi Sayidina Ali dan anak keturunan beliau (termasuk Sukainah). Dalam khotbah Jum’at, Abdullah bin Zubair menghapus shalawat kepada Rasulullah SAW dan melaknat Ali bin Abi Thalib.

Dan Musha’ab adalah pengikut setia saudaranya. Ia menghunus pedang melawan Mukhtar Tsaqafi yang merupakan pengikut setia Ahlul Bait, dan sosok yang sepak terjangnya menentramkan hati keluarga Nabi SAW. Keluarga Zubair ini, adalah yang paling keras permusuhannya pada Mukhtar. Pada akhirnya, mereka berhasil membunuh Mukhtar dan menguasai Kufah. Mereka lalu membunuh setiap pengikut Mukhtar yang ditemukan dimana saja, bahkan mereka membunuh istri Mukhtar Tsaqafi. Pertanyaaannya, apakah dapat dipercaya bahwa Sayidah Sukainah, yang juga termasuk Ahlul Bait, menikah dengan Musha’ab bin Zubair?

Hal-hal lain yang sering dikaitkan dengan Sukainah binti Husain adalah pernikahannya yang ia lakukan berkali-kali. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Sukainah binti Husain setelah peristiwa Asyura dan kembali ke Madinah menikah dengan Mush’ab bin Zubair dan memiliki anak bernama Fatimah. Setelah Mush’ab terbunuh, ia menikah dengan Abdullah bin Utsman bin Abdullah bin Hakim bin Hazam bin Khaulid dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Utsman. Setelah itu, ia menikah dengan Zaid bin Amru bin Utsman bin Affan, kemudian menikah dengan Ibrahim bin Abdurahman bin Auf. Namun karena adanya surat Hisyam bin Abdul Malik, wali Madinah, ia bercerai dengannya dan setelah itu ia menikah dengan Ashbagh bin Abdul Aziz bin Marwan dan kemudian menikah lagi dengan Ibrahim bin Abdurahman bin Auf.[1]

Berdasarkan riwayat-riwayat yang terkait dengan pernikahan Sukainah binti Husein yang berkali-kali tersebut, terdapat dua sanggahan yang paling penting; Pertama, dari para penulis sejarah, tidak didapatkan nama dari suami atau anak-anak dari wanita ini. Riwayat yang ada hanyalah riwayat yang berasal dari Abul Faraj Isfahani dan orang-orang segolongannya yang merupakan orang-orang yang dekat dengan Muawiyah. Wanita yang digambarkan oleh Al Husein dengan: “Sukainah sangat larut dalam dzat suci Ilahi, oleh itu, tidak pantas jika dikaitkan dengan urusan suami istri”, bagaimana mungkin Sukainah seperti apa yang digambarkan oleh Abul Faraj Isfahani? Kedua, pernikahan ini, terutama pernikahan dengan Mush’ab bin Zubair karena kerasnya permusuhan keluarga Zubair dengan Ahlul Bait, dan karena ketidaksetujuan mereka antara yang satu dengan yang lainnya, maka pernikahan antara Sukainah dan Mush’ab adalah sesuatu yang tidak mungkin dan dari sisi persyaratan agama dan sosial juga melarang pernikahan ini, maka bagaimana mungkin Sukainah menikah dengan Mush’ab sementara ia memusuhi keluarga Ali dan pengikutnya.[2]

Studi gender, dan Keterjebakan Paradigma

Persoalannya kemudian, informasi-informasi yang salah ini didaur ulang dari generasi ke generasi, dan dijadikan bahan baku untuk membangun sebuah konstruksi berpikir. Sebagai contoh, tidak sedikit tulisan yang menggunakan figur Sukainah binti Husein sebagai role model wanita ideal. Tapi disebabkan landasan informasi yang dipilih adalah riwayat yang salah, maka figur Sukainah justru mengalami distorsi yang membingungkan.[3]

Salah satu studi yang secara luas menggunakan figur Sukainah sebagai role model wanita ideal, adalah feminisme. Nama Sukainah menjadi terkenal luas saat ini setelah Fatima Mernissi, seorang pemikir Feminis Muslim mengupasnya dalam karya “Women’s Rebellion & Islamic Memory”. Sayangnya Fatima Mernissi mengkonstruksi figur agung Sukainah dari informasi-informasi yang salah tersebut.

Feminisme dan studi gender adalah studi tentang bagaimana cara mendefinisikan perempuan. Hasil dari definisi ini akan mendudukkan proporsi hak, kewajiban dan martabat kaum perempuan di dunia. Pertanyaan tentang apa/siapa perempuan itu? akan mengkonstruksi posisi perempuan dalam skema kehidupan di semua bidang. Persoalannya kemudian, studi ini ternyata belum berhasil memberikan rumusan definitive tentang apa/siapa perempuan. Bahkan parahnya, ketika perempuan justru didefinisikan sebagai “laki-laki”, maka yang terjadi adalah keterjebakan paradigmatic. Bahwa perempuan yang ideal, adalah yang laki-laki, sehingga yang terjadi adalah perebutan ranah aktualisasi. Studi feminisme berubah menjadi studi tentang konflik kelas, dan wacana emansipasi berubah menjadi wacana perlawanan terhadap identitas biologis tertentu.

Dalam kekisruhan berpikir yang seperti ini, infomasi-infomasi yang salah tentang figur seperti Sukainah binti Husein, justru menjadi makanan empuk yang siap saji. Kesalahan paradigmatic dalam memahami perempuan inilah yang kemudian membawa studi tentang Sukainah menjadi tidak kritis, bahkan tanpa verifikasi. Sukainah digambarkan sebagai sosok yang memenangkan ranah aktualisasi, konflik kelas dan terbebas dari dominasi identitas biologis tertentu. Padahal, bagi kelompok tertentu yang demikian menghormati Ahlul Bait Rasulullah SAW, figur agung Sukainah adalah sumber definisi perempuan itu sendiri. Ia adalah karakter mandiri, dan identitas yang otentik. Ia terbebas dari ontology masyarakat modern tentang emansipasi, kelas ataupun dominasi satu kaum.

Maka, sebagai penutup dari catatan kecil ini, figur agung Sukainah tidak mungkin dihukumi dengan standar wanita ideal zaman sekarang. Sebaliknya, karakter agung beliau semestinya menjadi standar acuan untuk menghukumi definisi wanita ideal di setiap zaman. Dalam kisah tragedi kemanusiaan di sepanjang sejarah, tidak ada yang mampu menyamai mega tragedi Karbala. Di dalam drama yang luar biasa ini, Sukainah menjadi salah satu aktor sentral, baik di padang Karbala, di Kufah, maupun di Damaskus.

Ketika berada di Damaskus, Syimir sengaja mengarak keluarga Nabi SAW melalui pintu gerbang ketika kerumuan masyarakat sedang berkumpul. Maka jadilah, keluarga Nabi suci ini sebagai tontonan masyarakat Damaskus. Dalam kondisi seperti ini, Sukainah lah yang memerintahkan kepada Sahl Sa’idi, salah satu sahabat Rasulullah SAW, agar menjauhkan kepala Al Husein dari rombongan tawanan wanita, agar perhatian masyarakat lebih pada kepala Al Husein daripada memandangi kaum wanita Nabi SAW. Dalam usianya yang sangat belia, beliau telah mampu menyampaikan pendapat yang strategis guna melindungi kehormatan keluarga Nabi SAW. Dan ini sudah lebih dari cukup untuk membantah semua informasi dan anggapan yang tidak sesuai tentang dirinya. Wallahualam bi sawab..

Selesai

 

Sebelumnya

Catatan kaki:

[1] Lihat, http://id.wikishia.net/view/Sukainah_binti_Husain_sa, diakses 5 Januari 2018

[2] Ibid

[3] Lihat, http://www.aananshori.web.id/2017/05/lady-sukayna-sejarah-islam-berhutang.html#more, diakses 5 Januari 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*