“Dalam situasi ketika Eropa menjadi imperialis dunia, Jepang dan Turki adalah dua negara yang merdeka, namun dalam keadaan tertekan. Keduanya kemudian menjalin hubungan diplomatik. Dalam sebuah misi diplomatik ke Jepang, armada Turki habis dihantam badai dan menyebabkan 550 personilnya tewas.”
–O–
Jauh sebelum era modern, karena lokasinya yang jauh dan terisolir, dalam perjalanan sejarah, Jepang telah lama diangap sebagai “ujung dunia”. Oleh para penjelajah, pembuat peta, pedagang, dan ilmuwan dari berbagai belahan dunia, Jepang dianggap sebagai tempat yang misterius. Namun bagi beberapa orang, fakta ini justru membuat Jepang menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi dan dipelajari (atau, setidaknya dalam satu kasus, mencoba untuk ditaklukkan). Bagi banyak orang — termasuk banyak orang Jepang sendiri — “isolasi unik” Jepang adalah alasan bagi dunia untuk memilih lebih fokus pada negara-negara lain yang lebih mudah dijangkau dan lebih terbuka untuk disinggahi.[1]
Tidak terkecuali bagi para Muslim, terlepas dari kenyataan bahwa Islam telah tersebar dan berkembang di daratan Cina dan Asia Tenggara yang dekat dengan Jepang selama berabad-abad, barulah pada akhir abad ke-19 antara Muslim dan Jepang tercipta sebuah hubungan. Walaupun sebenarnya jauh hari sebelum itu umat Islam pernah mendengar tentang Jepang. Di dunia Islam Jepang disebut dengan “al-Yāban” (atau “Chāpun”), hal tersebut dapat dibuktikan ketika pada tahun 1430 salah seorang ilmuwan Muslim Persia Hafiz-i Abrū, di Far Timur, untuk pertama kalinya membuat sebuah peta dunia yang di dalamnya terdapat gambar kepulauan Jepang.[2]
Selain itu, pada abad ke-17, seorang sejarawan Utsmani (Ottoman) menggambarkan orang Jepang (atau orang-orang dari “Caponya”) sebagai orang-orang yang “suka mandi air dingin dan memiliki moral yang tinggi”. Orang Jepangnya sendiri kemungkinan memiliki pengetahuan tentang orang-orang Islam, mereka mungkin secara singkat pernah bertemu dengan pedagang atau diplomat Muslim selama berabad-abad. Namun, kemungkinan individu Muslim yang pernah menetap di Jepang pada periode ini tidak pernah terungkap dalam sejarah.[3]
Namun, pada akhir abad ke-19, dua kecenderungan paralel tiba-tiba menggugah minat orang-orang Islam dan Jepang untuk berinteraksi satu sama lain: (1) imperialisme Eropa di dunia Muslim, dan (2) kemunculan tiba-tiba Jepang sebagai bangsa modern yang merdeka yang bisa mempertahankan diri sendiri melawan kekuatan besar negara-negara Eropa.[4]
Dengan dimulainya era Renaissance Jepang, atau lebih dikenal sebagai era Meiji, dimulai pada tahun 1868, hanya dua negara di Asia yang menikmati kemerdekaan, yaitu Kekaisaran Ottoman dan Jepang. Kedua negara ini berada di bawah tekanan dari negara-negara Barat, dan dengan situasi seperti itu, mereka memutuskan untuk menjalin hubungan persahabatan dan akibatnya mereka mulai saling mengunjungi.[5]
Peristiwa terpenting dari kunjungan ini terjadi ketika Sultan Abdul Hamid II (berkuasa pada 1876-1909) melaksanakan misi diplomatik dengan mengirimkan armada laut di atas kapal Al Togrul ke Jepang pada tahun 1889 untuk menemui Kaisar Meiji (berkuasa pada 1867-1912), yang dua tahun sebelumnya adiknya mengunjungi Istanbul terlebih dahulu. Armada tersebut membawa banyak hadiah untuk Kaisar Meiji, dan lebih dari enam ratus perwira dan tentara yang dipimpin oleh laksamana Ustman Pasha ikut dalam misi diplomatik tersebut. [6] [7]
Namun nahas, dalam perjalanan pulang pada tahun 1890, setelah misi itu berhasil diselesaikan di Jepang dan mereka bertemu dengan kaisar Jepang, badai dahsyat menimpa kapal mereka ketika masih berada di perairan Jepang. Badai tersebut menyebabkan kematian lebih dari 550 orang termasuk adik Sultan. Oleh pihak Jepang, para korban dimakamkan di dekat lokasi bencana, sementara 69 orang sisanya yang selamat diantar pulang ke Istanbul oleh dua kapal Jepang. Di kemudian hari sebuah museum didirikan tidak jauh dari lokasi kecelakaan, dan sampai hari ini baik Jepang dan Turki, meskipun telah berganti-ganti pemerintahan, setiap lima tahun sekali memperingati peristiwa tersebut di lokasi kecelakaan.[8]
Muslim Pertama Jepang
Dalam perjalanan ke Istanbul bersama dengan para korban yang selamat, ikutlah seorang jurnalis muda Jepang yang bernama Shotaro Noda. Sebelumnya di Jepang Noda telah menggalang sumbangan untuk para keluarga korban. Di Istanbul dia menyerahkan uang sumbangan tersebut kepada pemerintah Ottoman, dan bahkan bertemu dengan Sultan Abdul Hamid II. Sultan kemudian memintanya untuk tinggal dulu di Istanbul dan mengajarkan para pejabat Ottoman tentang Jepang. Pada saat tinggal di Istanbul, Noda bertemu dengan Abdullah Guillaume, seorang Muslim dari Liverpool, Inggris yang memperkenalkannya ke agama Islam. Setelah diskusi yang panjang, Noda cukup yakin bahwa Islam adalah agama yang benar, akhirnya dia memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Halim Noda. Noda sampai saat ini diyakini sebagai orang Jepang pertama yang memeluk Islam.[9] (PH)
Bersambung….
Catatan Kaki:
[1] Hassam Munir, “The Long and Fascinating Journey of Islam to Japan”, dari laman http://mvslim.com/you-should-definitely-know-about-islams-long-journey-to-japan/, diakses 5 April 2018.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Salih Mahdi S. Al Samarrai, Islam In Japan: History, Spread, and Institutions In The Country, (Jurnal Islamic Center-Japan: 2009), dari laman https://www.islamcenter.or.jp/history-of-islam-in-japan/, diakses 5 April 2018.
[6] Ibid.
[7] Hassam Munir, Ibid.
[8] Salih Mahdi S. Al Samarrai, Ibid.
[9] Ibid.