Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (1)

in Islam Nusantara

Last updated on August 9th, 2018 03:20 pm

Entah disadari atau tidak, Nusantara adalah anak kandung hampir semua peradaban di muka bumi. Seperti terminal peradaban dunia, identitasnya tersusun dari rangkapan anasir yang kompleks. Sehingga sulit diingkari bahwa pluralitas yang ada di nusantara sudah seperti bawaan alaminya. Tidak ada yang merasa paling pribumi, dan tidak pula ada yang terasing di sini. Semua perbedaan diikat oleh satu kecintaan yang sama, dan peradaban nusantara dibangun oleh amaliah bersama setiap manusia yang menghuninya.

—Ο—

 

Bernard H. M. Vlekke mengatakan dalam bukunya berjudul “Nusantara: Sejarah Indonesia”, bahwa “Nusantara merupakan wilayah yang keadaan linguistik maupun rasialnya sangat kompleks. Beberapa ratus bahasa dipercakapkan di kepulauan Nusantara, dan sering kali beberapa bahasa dipakai di salah satu pulau kecil. Penduduk satu wilayah kecil bisa terdiri atas tipe rasial yang sangat berbeda. Tidak ada satupun pulau, betapapun kecilnya, yang penduduknya tidak campur baur secara rasial, dan di semua pulau besar (kecuali Jawa) kita temukan suku-suku bangsa primitive hidup berdampingan dengan orang-orang dengan derajat peradaban lebih tinggi…”[1]

Realitas sosial masyarakat Nusantara tersebut sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari posisi geografis Nusantara yang terletak di persimpangan jalur lalu lintas komunikasi dan perdagangan dunia. Sejak ribuan tahun lalu, Nusantara sudah menjadi titik pertemuan berbagai pengaruh peradaban dunia, yang kemudian turut membentuk struktur sosial, kebudayaan, maupun geneologi rasial masyarakatnya. Mungkin ini pula sebabnya, masyarakat Nusantara menjadi masyarakat yang ramah, toleran, dan terbuka. Karena mereka terbisa bertemu dengan orang-orang asing, bertukar informasi dan kebudayaan.

Tidak hanya siap menerima pendatangan, masyarakat Nusantara juga telah lama dikenal sebagai masyarakat penjelajah. Hasil penelitian mutahir terkait jalur kayu manis (Cinnamon Route) dan jalur rempah-rempah (Spice Route) yang tulis oleh Charles E.M. Pearce & Frances M. Pearce dalam buku “Oceanic Migration: Paths, Sequence, Timing and Range of Prehistoric Migration in the Pacific and Indian Oceans, menunjukkan bahwa pelaut-pelaut Nusantara dengan perahu layarnya yang bernama Perahu Halmahera dengan penggandung ganda (The Halmaherian double-outrigger), telah melakukan pelayaran hingga ke Madagaskar sejak ribuan tahun lalu.[2] Bentuk perahu layar pelaut Nusantara ini masih terpampang di relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad 8 Masehi, dan masih digunakan sampai pada masa Kerajaan Majapahit berkuasa.

 

Relief di Candi Borobudur, Samudra Rhaksa (Abad 8)

Adapun rute yang ditempuh di Jalur Kayu Manis ini sangat berbeda dengan Jalur rempah-rempah (spice road). Jalur Kayu Manis menggunakan jalur selatan, dari Halmahera, menyusuri selatan Pulau Jawa, langsung melewati Samudera Hindia hingga ke Madagaskar. Jalur ini tetap bertahan hingga masuknya era Jalur Sutra China[3] dan jalur rempah-rempah, yang menghubungkan nusantara dengan peradaban-peradaban di utara, mulai dari China, India, Persia, Arab, hingga Romawi.

Cinammon route. Sumber gambar: http://www.spicydc.com/2014/10/a-short-summary-of-cinnamon.html

 

Konstalasi Jalur komunikasi dan pelayaran purba. Sumber gambar: https://spiceislandsblog.com/2014/10/06/the-cinnamon-route/

 

Masih di dalam buku yang sama, Charles E.M. Pearce & Frances M. Pearce mengatakan bahwa pengetahuan manusia Nusantara tentang peredaran angin muson adalah faktor terpenting di jalur pelayaran ini.[4] Dalam tradisi pelayaran kuno, angin muson adalah salah instrumen pelayaran paling vital, karena hanya dengan inilah perahu-perahu dapat berlayar melintasi Samudera Hindia. Ini sebabnya, para pedagang dari wilayah barat, seperti Afrika, Arab, Persia, dan India, dan pelaut-pelaut di sepanjang pesisir Samudera Hindia selalu memperhatikan peredaran angin muson ini dalam setiap perencanaan pelayarannya. [5]

Angin muson merupakan kekhasan iklim kawasan Samudera Hindia. Pada bulan-bulan September hingga April, Angin Barat Laut berhembus dari Utara bumi ke bagian selatan. Para pedagang yang berasal dari Barat, termasuk bangsa Arab, umumnya memanfaatkan angin ini untuk melakukan pelayaran ke Timur. Adapun dalam pelayaran pulang, para pelaut ini menunggu datangnya Angin Timur Laut yang berhembus dari selatan ke utara bumi. Di antara waktu-waktu menunggu inilah terkadang mereka meretap di suatu tempat di sepanjang perjalanan ke China ataupun sebaliknya selama berbulan-bulan lamanya. Salah satu titik kumpul paling strategis yang dipilih untuk menunggu peredaran angin ini adalah wilayah Utara Pulau Sumatera dan sekitarnya (Selat Malaka), yang pada abad ke 6 atau 7 M, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa arus perdagangan global pada pada abad ke 7 M atau sekitar masa turunnya Islam, sudah terjalin dengan sangat kompleks. Hampir semua peradaban di penjuru dunia terkoneksi melalui jalur-jalur pelayaran yang sudah luas dikenal selama ribuan tahun. Melalui jalur-jalur ini kebudayaan-kebudayaa dunia berinteraksi dan bertukar informasi, produk, nilai, ilmu pengetahuan, dan agama. Ketika Islam datang di jazirah Arab, jalur-jalur purba ini menjadi salah satu instrument utama penyebaran Islam ke seluruh dunia, temasuk ke gugusan pulau di Nusantara. (AL)

Bersambung…

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta, Kepustaan Populer Gramedia, 2008, hal. 8

[2] Lihat, Charles E.M. Pearce & Frances M. Pearce, Oceanic Migration: Paths, Sequence, Timing and Range of Prehistoric Migration in the Pacific and Indian Oceans. Springer: London-New York, 2010, Hal. 75-81

[3] Menurut Joshua J. Mark, Jalur Sutra baru terbuka pada sekitar tahun 101 M. ketika itu, mengacu pada laporan perjalanan utusan Dinasnti Han bernama Zhang Qian ketika melakukan ekspediasi ke Bokhara/Bukhara, daerah Asia Tengah, Berdasarkan Informasi yang terimanya, maka pada tahun 101 SM, Kaisar Dinastihan bernama Wudi mengutus Jenderal Li Guangli untuk melakukan ekspedisi penaklukan ke wilayah Feghana, dan berhasil dengan sukses. Pada masa-masa selanjutnya, jalur-jalur perjalanan ini menemukan paternnya sendiri yang menghubungkan perdagangan, informasi dan komunikasi kebudayaan antara timur dan barat. Hingga pada tahun 1877, seorang pelancong dan geographer Jerman, Ferdinand von Richthofen, dalam catatannya menyebut konstalasi jalur yang menghubungkan timur dan barat ini sebagai ‘Seidenstrasse’ (silk road/jalan sutra) atau ‘Seidenstrassen’ (silk routes/jalur sutra). Lihat, Joshua J. Mark, Silk Road, https://www.ancient.eu/Silk_Road/, Diakses 22 Oktober 2017

[4] Lihat, Charles E.M. Pearce & Frances M. Pearce, Op Cit

[5] Kata “muson” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Arab (mosem), yang kemudian disebut musim. Angin muson biasanya merujuk pada perubahan musiman arah angin di sepanjang pesisir Samudera Hindia, khususnya di laut Arab, yang bertiup dari arah barat daya di India dan wilayah-wilayah di sekitarnya untuk setengah tahun dan dari timur laut untuk setengah tahun lainnya. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Muson,

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*