Di Semarang, dalam salah satu pidatonya tahun 1948, Bung Karno mengatakan; “Kita kini sudah merdeka, tentu kita harus bersyukur kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Kita juga harus berterimakasih kepada seluruh rakyat yang sudah berjuang untuk kemerdekaan, karena ada warga keturunan yang juga ikut berjuang membantu perjuangan. Kita juga harus berterimakasih kepada warga keturunan Cina. Kita juga harus berterimakasih kepada warga keturunan India. Tetapi kita jangan berterimakasih kepada warga keturunan Arab, karena…karena…mereka sudah menjadi bagian dari keluarga besar bangsa kita sejak ratusan tahun lalu…”[1]
—Ο—
Jauh sebelum datangnya Islam ke Nusantara, jejaring komunikasi dan perdagangan antara jazirah Arab dengan masyarakat Nusantara sudah terjalin cukup intens. Menurut data manuskrip atau literatur kuno Cina, menjelang perempat pertama abad ke-7 M, sudah berdiri perkampungan Arab-Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di sana orang-orang Arab tinggal dan menikah dengan penduduk lokal, dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.[2]
Menurut salah satu artikel di Historia.id, mengutip Natalie Mobini Kesheh, bahwa orang-orang Hadramaut dikenal sebagai “orang Phoenicia dari Timur Tengah”. Karena mereka mirip dengan bangsa Phoenicia kuno (sekarang Lebanon dan Suriah). Perdagangan maritim mereka sudah mulai aktif sejak sekira lima abad sebelum masehi. Kiprah mereka sempat mengalami kemunduran, namun mereka bangkit kembali setelah masuknya agama Islam. Setelah era Islam, mereka berdagang sembari membawa misi menyebarkan agama Islam.[3]
Menurut Prof. MDYA DR. Wan Hussein Azmi, orang-orang Arab sudah lama tiba dan mengenal gugusan kepulauan Melayu. Berdasarkan konstalasi jalur komunikasi dan perdagangan dunia yang ada waktu itu, besar kemungkinan orang-orang Arab ini datang ke Nusantara melalui dua jalur; [4]
Pertama, jalur laut, yang dimulai dari Adan (Teluk Aden), di selatan Semenanjung Tanah Arab menuju ke Gujarat (India), Kambey, Sailon (Sri Langka), dan dari sini bertolak ke gugusan pulau-pulau di Melayu.
Kedua, jalur darat, dimulai dari Damsyik, Siria, ke Khurasan, Parsi dan dari Khurasan ke Balakh, Afganistan, dan dari Balakh ke Bamir kemudian ke Kasykar, Shina, ke Khutan, kemudian menyebrangi padang pasir Gobi menuju ke Sangtu, kemudian ke Hansyau, dan dari sini mereka itu bergerak ke gugusan pulau-pulau Melayu.
Bila menelaah sejarah perkembangan Islam di Nusantara, terdapat setidaknya tiga periodesasi arus besar kedatangan bangsa Arab dan Islam ke Nusantara.
Periode pertama, terjadi pada abad ke 6 dan ke 7 Masehi. Salah satu bukti arkelogis tertua adanya Islam dan Arab pada masa ini di Nusantara bisa ditemukan di Pemakaman Mahligai Barus, di Desa Sihorbo, Kecamatan Barus Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah. Di areal pemakaman Mahligai Barus yang terbentang di atas bukit seluas 3 hektare tersebut terdapat sejumlah makam ulama besar asal Timur Tengah. Epigraf pada nisan makam tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Arab dan Islam sudah ada sejak 661 Masehi atau tahun 48 Hijriah.[5] Hanya saja, belum tidak ada catatan pendukung yang cukup menjelaskan tentang asal mula kedatangan kelompok pertama ini, dan juga kiprah mereka dalam menyebarkan Islam di Nusantara.
Periode kedua, besar kemungkinan terjadi pada sekitar abad ke-8 M. Prof. Hasjmy dalam salah satu makalahnya, dengan merujuk pada Kitab Idharul Haqq, karangan Abu Ishak Makarani Al Fasy, menuliskan:[6]
“…Pada tahun 173 H, Nahkoda Khalifah dengan kira-kira 100 orang anggota Angkatan Dakwahnya telah berlabuh di Bandar Perlak, yang menyamar sebagai “kapal dagang”. Khalifah sendiri yang menjadi “Kapitain” dari “kapal dagang” tersebut, sehingga dalam Kitab Idharul Haqq Fi Mamlakah Ferlak karangan Abu Ishak Makarani Al Fasy, dia sebut “Nahkoda Khalifah” (Nahkoda artinya kapitan kapal). Anggota Dakwahnya berjumlah 100 orang itu, terdiri dari orang-orang Arab, Persia dan Hindi.
Idharul Haqq mencatat bahwa Nahkoda Khalifah amat bijaksana, sehingga dengan hikmah kebijakasaannya, dalam waktu kurang dari setengah abad, Meurah (Raja) dan seluruh rakyat Kemeurahan Perlak yang beragama Budha/Hindu dan Perbegu, dengan sukarela masuk agama Islam. Selama proses Peng-Islaman yang tidak begitu lama itu, para Anggota Dakwah Nahkoda Khalifah telah mengawini dara-dara Perlak, dan salah seorang anggota angkatan dari Arab suku Quraisy mengawini Putri Istana Kemeurahan Perlak, sehingga perkawinan itu lahirlah putra campuran pertama, yang diberi nama Saiyid Abdul Aziz.
Idharul Haqq mencatat selanjutnya bahwa pada tanggal 1 Muharam 225 H. Kerajaan Islam Perlak diploklamirkan berdiri, Saiyid Abdul Aziz, putra campuran Arab-Perlak dilantik menjadi Raja pertama dengan gelar Sulthan Maulana Abdul Aziz Syah”.
Bila kita korelasikan dengan fase perkembangan peradaban Islam di Timur Tengah, tahun 173 H merupakan tahun ketika Dinasti Abbasiyah diperintah oleh Harun Al Rasyid, Khalifah termasyur Dinasti Abbasiyah yang dilantik pada tahun 170 H.[7] Penulis masih belum menemukan infomasi memadai terkait adakah hubungan atau pengaruh Dinasti Abbasiyah di Persia, dengan kemunculan Kerajaan Perlak, yang sejauh ini dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. (AL)
Bersambung ke:
Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (3)
Sebelumnya:
Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (1)
Catatan kaki:
[1] Lihat, Hamid Nabhan, Ziarah Sejarah; Mereka yang Dilupakan, Lamongan, PAGAN PRESS, 2018, hal. 47
[2] Lihat, http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/sejarah-kedatangan-islam-ke-nusantara.pdf, diakses 8 Agustus 2018
[3] Lihat, https://historia.id/modern/articles/awal-mula-datangnya-orang-orang-arab-ke-nusantara-DnEMo, diakses 8 Agustus 2018
[4] Lihat, Prof. MDYA DR. Wan Hussein Azmi, “Islam Di Aceh Masuk dan berkembangnya Hingga Abad XVI”, dalam Prof. A. Hasjmy, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 176
[5] Ibid, Hal. 180
[6] Prof. A. Hasjmy, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 146-147
[7] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History of Islam (Volume II), Riyadh, Darussalam, 2001, Hal. 340