“Agaknya rezim kolonial sudah memahami sejak awal, bahwa kebhinekaan yang ada di Nusantara, adalah kekuatan utama masyarakatnya. Untuk itu, diperlukan solusi hukum untuk membendungnya.”
—Ο—
Revolusi industri dan modernisme yang terjadi di Eropa telah berhasil mengubah banyak hal di dunia. Tapi perubahan paling penting dan fundamental dari semua itu, mereka berhasil mengubah secara revolusioner cara pandang umat manusia terhadap alam, dan manusia itu sendiri. Fatwa abad pencerahan mewajibkan semua harus bisa diukur, dikuantifikasi, dan verifikasi secara objektif. Dalam bimbingan paradigma seperti ini, materi menjadi fundamental. Ia menjadi standar acuan moral dan intelektual dimana-mana. Materi menjadi suprastruktur penggerak, dan menjadi isme yang menjadi arus utama di dunia. Tak ayal, dalam ekosistem pandangan dunia seperti ini, kapitalisme segera saja menjadi konsep adiluhung yang memandu arah kemajuan manusia.
Pada tahap selanjutnya, ekspansi kapitalisme kolonial di Nusantara ternyata menarik minat masyarakat Hadramut untuk meninggalkan tanah air mereka. Menurut Ismail Fajrie Alatas, kondisi politik yang tak pernah stabil di Hadramaut dan menurunnya biaya transportasi (melalui kapal uap) berdampak pada membanjirnya migrasi Hadrami. Sayangnya, meski terjadi peningkatan secara kuntitatif, secara kualitatif kapasitas personal orang-orang Arab ini menurun. Bila sebelumnya mereka yang datang ke Nusantara adalah ulama dari garis keturunan Alawiyin (sayid), yang datang belakangan ini berasal dari segala lapisan stratifikasi sosial yang ada di Hadramaut dan sekitarnya.[1]
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh L.W.C van den Berg, pada 1884-1886 – atau rentang waktu penelitian tersebut– dia melihat bahwa koloni-koloni Arab sudah berdiri di sejumlah tempat di Indonesia. Menurut analisisnya, koloni-koloni Arab tersebut bisa dipastikan belum ada sebelum abad ke 18 M. Hal ini tentu saja mengkonfirmasi pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang Arab yang datang ke Nusantara sebelum abad 18 telah melakukan asimilasi dengan masyarakat lokal.[2]
Hanya saja, hal yang agaknya perlu ditekankan di sini, bahwa keberadaan koloni-koloni Arab tersebut, tidak lain disebabkan oleh kebijakan rezim kolonial Belanda sebelumnya. Menurut Ismail Fajrie Alatas, dari mulai tahun 1835, pemerintah kolonial telah melihat adanya tendensi bercampur-baur antara bangsa Timur Jauh dan penduduk pribumi, [3] dimana hal ini jelas menyulitkan mereka untuk mencari solusi strategis guna menaklukkan wilayah ini.
Bila dikaitkan dengan kebijakan kolonialisme yang berkembang pada masa itu, hal ini jelas dikarenakan nalar kuantitatif masyarakat Eropa tidak bisa mengidentifikasi kultur hibrida yang sebenarnya bertebaran di sepanjang gugusan pulau di Nusantara. Ketidakmampuan pemerintah kolonial mengidentifikasi secara kuntitatif peta sosial dan politik di Nusantara, membuat kebijakan yang mereka gulirkan selalu kontra-produktif. Agar mudah diatur dan diarahkan, pemerintah kolonial perlu membuat klasifikasi dan definisi yang jelas dari kultur hibrida yang ada ini. Agaknya mereka sudah memahami sejak awal, bahwa kebhinekaan yang ada di Nusantara, adalah kekuatan utama masyarakatnya. Untuk itu, diperlukan solusi hukum untuk membendungnya.
Melalui rubrik “melindungi kepentingan ekonomi kaum pribumi,” pemerintah kolonial membagi populasi tanah jajahan ke dalam tiga ketegori hukum: bangsa Eropa, bangsa Timur Asing (vreemde osterlingen) dan bangsa Pribumi (inlander). Pada tahun 1866, pemerintah kolonial akhirnya memberlakukan sistem perkampungan dan kartu tanda jalan (wijkenstelsel & passenstelsel) yang berarti bangsa Timur Asing seperti komunitas Tionghoa dan Arab harus tinggal di kampung terpisah dari penduduk pribumi dan diharuskan membawa kartu tanda jalan jika ingin keluar dari kawasannya.[4]
Pada tahap selanjutnya, kebijakan ini ternyata berhasil memberi jarak antara komunitas Arab dengan masyarakat setempat yang sebelumnya sudah terjalin baik. Proses asimilasi yang sebelum berlangsung sangat alamiah, menjadi terganggu.
Persoalannya lagi, design ekonomi yang diterapkan pemerintan kolonial di Nusantara memaksa jarak identitas antar masyarakat di Nusantara semakin jauh. Sebagai contoh yang terjadi dengan komunitas Arab. Sebagaimana diuraikan oleh Ismail Fajrie Alatas, bahwa orang-orang Arab yang datang belakangan dari Hadramaut mengubah modus perokomian mereka, dari sebelumnya berorientasi bahari, kini mereka terpaksa masuk ke pedalaman-pedalaman. Perilihan ini dipacu oleh cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang dibuat pada zaman pemerintahan Van den Bosch.[5]
Sistem cultuurstelsel mewajidkan 20% lahan pedesaan menanam tanaman yang berfungsi sebagai komoditas ekspor. Komodifikasi produksi agrikultur di Jawa membuka peluang bisnis besar bagi para pedagang Arab, yang mulai bertindak sebagai pedagang perantara antara kota dan dusun-dusun. Posisi tersebut, membuat orang-orang Arab ini beraktifitas rutin mendatangi wilayah pedesaan guna menagih pembayaran barang dagangan. Ternyata, aktivitas ini membentuk citra negatif mereka di mata masyarakat, karena mereka lebih terlihat sebagai lintah darat daripada seorang pedagang. Citra tersebut berdampak besar pada prestise komunitas ini.[6] Dan pada tahap yang lebih jauh, sejumlah skema kebijakan pemerintah kolonial di Nusantara, berhasil merentangkan jarak dikotomis antara orang-orang Arab dan masyarakat Nusantara yang sebelumnya sudah membentuk jalinan kultural hibrida. (AL)
Bersambung…
Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (16)
Sebelumnya:
Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (14)
Catatan kaki:
[1] Lihat, Ismail Farie Alatas, “Menjadi Arab: Komunitas Hadrami, Ilmu Pengetahuan Kolonial dan Etnisitas”, dalam L. W. C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, Jakarta, Komunitas Bambu, 2010, hal. xxxvii
[2] L. W. C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, Jakarta, Komunitas Bambu, 2010, hal. 95
[3] Lihat, Ismail Farie Alatas, Op Cit, hal. xl
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid, hal. xxxix