Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (14)

in Islam Nusantara

Last updated on September 17th, 2018 07:41 am

Memasuki akhir abad 18, dominasi baru terbentuk di Nusantara. Proyek kolonialisme bertujuan menginstall sistem imperium bangsa Eropa ke semua wilayah jajahannya. Untuk itu dibutuhkan inovasi dalam teknologi pengawasan. Ilmu pengetahuan yang lebih komprehensif tentang tanah jajahan dan penduduknya sangat diperlukan oleh aparatus kolonial, guna mengatur kawasannya dan melaporkan kepada para penguasa di Eropa. Pada periode inilah kolonialisme mewujudkan dirinya sebagai proyek dominasi kultural – sebuah penaklukan ranah epistemologis lokal melalui penyelidikan yang dipandang lewat lensa Pencerahan.”

—Ο—

 

Fase selanjutnya kedatangan orang-orang Arab ke Nusantara terjadi pada akhir abad ke 18 hingga 19 M. Pada fase ini, kedatangan mereka berlangsung lebih massif baik dalam jumlah maupun dalam hal frekuensi kedatangannya. Menurut L.W.C van den Berg, fenomena ini terjadi disebabkan – salah satunya – oleh ditemukannya mesin uap. Sehingga membuat pelayaran di Samudera Hindia tidak lagi bergantung dengan peredaran angin muson yang bertiup 4 bulan sekali ke utara dan 4 bulan kemudian ke selatan.

Secara umum, abad ke 18 ditandai oleh banyak perubahan besar di dunia. Pada masa ini terjadi pola integrasi masyarakat manusia dalam skala global. Dan faktor pendorong paling utama dari perubahan ini adalah kebangkitan peradaban Eropa.

Setelah renaisans, kebangkitan Eropa terus berlangsung secara massif. Laju pengaruhnya nyaris tak tertahankan di seluruh dunia. Kedigjayaan alam ditundukkan. Angin muson yang selama ribuan tahun menjadi instrument yang tak mungkin di negasikan, tertaklukkan bersamaan dengan ditemukannya kapal uap. Demikian juga dengan konektifitas jalur pelayaran kuno. Sejak dibukanya Terusan Suez, jarak tempuh dari Eropa ke Samudera Hindia dapat diringkas hingga sejauh 4500 Mile atau lebih dari 6000 Km.[1]

Lukisan antik yang mengilustrasikan parade kapal uap di Terusan Suez, tahun 1885. Sumber gambar: antiquemapsandprints.com

Persoalannya, kemajuan Eropa yang gilang gemilang itu, mengusung nilai yang berbanding terbalik dengan nilai yang selama ini dipahami oleh manusia. Salah satunya yang paling menonjol, adalah munculnya superioritas pendekatan kuantitatif, di atas kualitatif. Demikian menurut Musa Kazhim, dalam salah satu tulisan yang pernah diterbitkan redaksi Ganaislamika.com berjudul “Kematian Manusia: Sebuah karikatur”.[2]

Sebagai sebuah metodologi, pendekatan kuntitatif jelas sangat membantu dalam mendekatkan pemahaman manusia pada realitas fisik secara lebih presisi. Dan ini menjadi titik tumpu perkembangan industrialisasi dan modernisme. Hanya saja, ketika nalar ini didorong oleh keserakahan dan motivasi memenangkan kompetisi, maka yang terjadi adalah memudarnya standar-standar penting yang bersifat kualitatif. Menurut René Guénon, pendekatan kuantitatif (banyak-sedikit, besar-kecil, untung-rugi) terhadap alam menafikan sisi kualitatif kehidupan, sehingga ajaran benar-salah dan baik-buruk digantikan. [3]

Sebagaimana kita saksikan dalam sejarah, imperium-imperium modern di Eropa dengan trenginas menginstall sistem yang dimilikinya ke semua kawasan di muka bumi. Mereka bersaing satu sama lain memperebutkan wilayah untuk kemudian meraup sumberdaya, guna penopang keunggulan kuantitatif imperium masing-masing.

Tak pelak, Samudera Hindia yang semula menjadi ranah persaingan dagang yang bersifat simetris, diubah menjadi lahan eksploitasi bahan baku bagi kelangsungan industri di Eropa. Pada era ini, kawasan Samudera Hindia diintegrasikan secara terpaksa, dan menjadi sub-sistem ekonomi Eropa.

Adapun dampak langsung yang dirasakan wilayah jajahan dari munculnya superioritas pendekatan kuantitatif ini, yaitu dimulailah masa mengkalkukasi segala aspek kehidupan masyarakat jajahan, mulai dari sumber daya alam dan manusia, hingga kultur dan peradabannya. Ismail Fajrie Alatas dalam tulisannya mengatakan;[4]

Bentuk dominasi baru memerlukan inovasi dalam teknologi pengawasan. Ilmu pengetahuan yang lebih komprehensif tentang tanah jajahan dan penduduknya sangat diperlukan oleh aparatus kolonial, guna mengatur kawasannya dan melaporkan kepada para penguasa di Eropa. Pada periode inilah kolonialisme mewujudkan dirinya sebagai proyek dominasi kultural – sebuah penaklukan ranah epistemologis lokal melalui penyelidikan yang dipandang lewat lensa Pencerahan.

 Inilah momen pembentukan ilmu pengetahuan kolonial yang ditandai dengan munculnya kategori-kategori baru dan oposisi-opisisi yang sebelumnya tidak dikenal. Ilmu pengetahuan kolonial mengkodefikasi, mengumpulkan, mengklasifikasi, mengkategorisasi apa yang sebelumnya tidak dapat dipahami serta menyusun informasi-informasi tersebut dalam bentuk yang mudah dikenali, walupun terkadang terputus dari realitasnya. Proyek inilah yang disebut Bernard Cohn sebagai ‘berbagai cara investigatif’ (investigative modality) yang dimaksudkan untuk mengenali tanah jajahan.[5]

Pada tahap selanjutnya, nalar ilmu pengetahuan kolonial yang berkembang pesat ini, tidak hanya mempengaruhi cara berpikir masyarakat Eropa, tapi juga menular ke cara pandang para ningrat di tanah jajahan. Proses penularan cara pandang ini tidak berlangsung secara alamiah. Melainkan melalui sejumlah upaya sistematis, seperti membangun konstruksi hukum di negara kolonial, melalui kebijakan ekonomi, pertanian dan perdagangan, serta yang paling kentara dampaknya adalah melalui mediasi sistem pendidikan modern. Pada akhirnya, ilmu pengetahuan kolonial tersebut, berhasil pula mengubah cara pandang komunitas Arab di Nusantara. (AL)

Bersambung…

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (15)

Sebelumnya:

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (13)

Catatan kaki:

[1] Mengenai sejarah Terusan Suez, redaksi Ganaislamika.com pernah mempublikasi tulisan berjudul “Terusan Suez”. tulisan tersebut bisa diakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/terusan-suez-1/

[2] Lihat, Musa Kazhim, Kematian Manusia: Sebuah karikatur (3), https://ganaislamika.com/kematian-manusia-sebuah-karikatur-3/

[3] Lihat, René Guénon dalam The Reign of Quantity and the Signs of Times, Terjemahan Lord Northbourne, London, 1953.

[4] Lihat, Ismail Farie Alatas, “Menjadi Arab: Komunitas Hadrami, Ilmu Pengetahuan Kolonial dan Etnisitas”, dalam L. W. C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, Jakarta, Komunitas Bambu, 2010, hal. xxxvi

[5] Sebagaimana dikutip dari tulisan Ismail Fajrie Alatas, menurut Bernard Cohn, “Termasuk cara-cara investigative adalah mendefinisikan informasi yang diperlukan, prosedur bagaimana mengumpulkan ilmu pengetahuan yang pantas, membentuk klasifikasi dan struktur, dan kemudian megubah informasi tersebut ke dalam bentuk yang dengan mudah digunakan seperti reportase, tabel statistik, sejarah, surat kabar, kode-kode hukum dan ensiklopedi.” Lihat, Ibid, hal. xxxvii

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*