“Salah satu gagasan paling revolusioner dalam perdagangan dunia, adalah ide untuk membangun sebuah terusan untuk menghubungkan dua lautan, dengan cara membelah daratan yang menghubungkan dua Benua. Penguasa Mesir kala itu, Said Pasha, melihat sebuah masa depan dari ide ini. Di tengah dekadensi peradaban Islam masa itu, Terusan Suez bisa menjadi titik balik yang memungkinkan peradaban Islam kembali memimpin dunia.”
—Ο—
Bila kita membaca sejarah dunia, ada dua lautan besar yang menjadi panggung utama pementasan sejarah manusia, yaitu Samudera Hindia di Selatan, Laut Mediterania di Utara. Di sekitar pesisir kedua lautan besar inilah peradaban umat manusia lahir, tumbuh berkembang dan mati. Mulai dari Mesir Kuno, Yunani, Romawi, Persia, India, Sriwijaya, hingga China. Jalur perdagangan purba mengenal istilah “Jalur Sutra Laut” (Silk Road) dan “Jalur Kayu Manis” (Cinnamon Road), yang diperkirakan sudah berusia lebih dari 3000 tahun.[1] Kedua jalur tersebut menghubungkan peradaban di kedua pesisir lautan besar ini, meskipun masih sangat minim intensitasnya.
Setelah Islam datang, dan menjelma menjadi imperium terbesar dalam sejarah dunia, semua berubah. Posisi geografisnya yang terletak di kedua pesisir lautan ini, secara otomatis menjadikannya sebagai pusat episentrum perkembangan peradaban di sekitarnya. Ketika Dinasti Umayyah memiliki Damaskus sebagai ibu kotanya, maka Mediterania berkembang pesat. Demikian juga ketika Dinasti Abbasiyah berjaya, Samudera Hindia menjadi demikian hidup. Islam menyerap semua karya intelektual peradaban di sekelilingnya, mengimprovisasinya, dan membagikannya kembali. Sehingga dunia terhubungan dengan satu lingua franca yang sama, dan secara otomatis membuat interaksi antar peradaban di kedua lautan besar tersebut mulai terhubung lebih intens.
Adalah Dinasti Fatimiyah, yang berdiri pada 909 M, memilih Mesir sebagai pusat kekuasannya. Sejak zaman purba, Mesir sudah menjadi imperium dunia. Hanya saja, wilayah ini sudah lebih dari 1000 tahun kehilangan jati dirinya sebagai pusat peradaban dunia. Khalifah keempat Fatimiyah bernama Al Mu’izz kemudian membangun kota Kairo dari puing-puing dan menjadikannya sebagai terminal perdaban dunia. Di sinilah untuk pertama kalinya – setelah sekian lama – semua unsur peradaban dunia, baik yang berada di Mediterania, dan juga yang berada di Samudera Hindia kembali bertemu. Dan sejak itu, posisi geografis Mesir memiliki nilai strategis yang tak terkalahkan oleh wilayah manapun di Dunia.
Setelah Dinasti Fatimiyah jatuh, digantikan oleh Dinasti Ayubiyah, dan akhirnya Dinasti Mamluk yang berkuasa hingga akhir abad ke 18 Masehi, potensi geografis yang luar biasa ini belum disadari oleh mereka. Puncaknya, adalah ketika Imperium Inggris menemukan India, dan mendirikan The British East Indian Company (BEIC) pada tahun 1600 M, kebutuhan akan jalur transportasi dan perdagangan yang lebih efektif menjadi meningkat.[2] Pada bulan Juli 1798, Napoleon Bonaparte berhasil menaklukan Mamluk di Laut Merah, dan mengambil alih Mesir. Namun ini tidak berlangsung lama, hanya beberapa tahun setelah itu Napoleon meninggalkan Mesir dalam keadaan kosong kekuasaan.
Di sisi lain, pada masa yang sama, dunia Islam kehabisan energi oleh persaingan politik di antara mereka. Pada tahun 1805, Dinasti Ottoman, melalui jenderalnya bernama Muhammad Ali Pasha, berhasil melumat sisa-sisa kekuatan Dinasti Mamluk yang sudah berkuasa lebih dari 500 tahun di Mesir. Muhammad Ali membantai orang-orang Mamluk ini di Benteng Kairo, lalu menyatakan diri merdeka dari Ottoman, dan secara penuh berkuasa di Mesir. Di bawah kekuasaan Muhammad Ali, Mesir kembali berkembang, menuju progresifitas yang meyakinkan. Secara perlahan, potensi geografis Mesir kembali terlihat. Muhammad Ali Pasha langsung melesat menjadi simbol kebangkitan peradaban Islam di era modern.
Sebelum Muhammad Ali berkuasa, Inggris sangat menyukai jalur Laut Merah ketimbang jalur darat melantasi jazirah Arabia yang masih dikuasai oleh Ottoman.[3] Dibandingkan jalur darat, jalur Suez relatif lebih aman. Tidak ada kekuatan yang begitu dominan di jalur ini, sehingga hanya dengan berbekal beberapa tentara bayaran, barang-barang dari India sudah bisa mencapai Inggris. Di jalur perdagangan ini hanya ada gangguan berupa perompak yang dimotori oleh penguasa-penguasa kecil setempat. Tapi setelah Muhammad Ali berkuasa, urusan menjadi tidak mudah. Inggris harus bernegosiasi dengan Mesir, dan semua kembali normal.
Selama bertahun-tahun Inggris dan Negara-negara Eropa lainnya menikmati pelayanan dari Mesir. Barang-barangnya berhenti di pelabuhan Suez, lalu diangkut melalui jalur darat hingga ke tepi laut Mediterania, kemudian baru kembali dikapalkan menuju Inggris. Hingga pada tahun 1854, seorang Perancis bernama Ferdinand de Lesseps, mengagas proyek raksasa untuk membelah tanah genting Suez menjadi sebuah terusan.
Ide ini ditolak bekali-kali oleh pemerintah Inggris. Hingga akhirnya, ia menawarkan ide ini pada putra keempat Muhammad Ali Pasha bernama Said Pasha yang ketika itu menjadi penguasa di Mesir. Said Pasha, melihat sebuah masa depan dari ide ini. Di tengah dekadensi peradaban Islam masa itu, Terusan Suez bisa menjadi titik balik yang memungkinkan peradaban Islam kembali memimpin dunia. (AL)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Lihat, Charles E.M. Pearce & Frances M. Pearce, Oceanic Migration: Paths, Sequence, Timing and Range of Prehistoric Migration in the Pacific and Indian Oceans. Springer: London-New York, 2010, Hal. 75-81
[2] Terkait hal ini, jalur konvensional yang dikenali masyarakat Eropa menuju ke wilayah Timur adalah jalur laut, dari Inggris kapal akan menyisiri tepi barat benua Eropa dan Afrika, hingga ke Afrika selatan, lalu naik ke Samudera Hindia, dan berakhir di India. Tapi persoalannya, jalur ini begitu jauh dan memakan waktu sangat lama. Disamping itu, jalur ini sudah terlebih dahulu di kuasai oleh Portugis dan Spanyol yang merupakan perintis penjelajahan bangsa Eropa. Lihat, http://www.britishempire.co.uk/maproom/mideast.htm, diakses 25 November 2017
[3] Jalur ini dimulai dari laut Mediterania timur, transportasi akan dilanjutkan dengan jalur darat di pelabuhan Syiria, kemudian melewati gurun Syiria, menyusuri Sungai Efrat, dan memasuki Teluk Persia, sampai ke Samudera Hindia (Jalur Syiria). Namun jalur ini sangat melelahkan dan tidak efektif untuk mengangkut barang-barang yang besar dan banyak. Ditambah lagi, sejak pecahnya perang antara Ottoman dengan kekaisaran Persia pada tahun 1730, situasi keamanan di jalur ini semakin tidak menentu. Lihat, Ibid