Sejarawan Oxford: Hadis Penikahan Anak Aisyah Fabrikasi Sektarian

in Studi Islam

Hadis tentang pernikahan kanak-kanak Aisyah tidak disebutkan di dalam sumber-sumber awal di Madinah, tempat peristiwa itu terjadi. Riwayat tersebut diciptakan pada Abad Kedelapan di Irak, dan kemudian diinjeksikan ke dalam kisah hidup Nabi Muhammad. Pemalsuan ini, menurut penelitian Little, bahkan memiliki tujuan sektarian dan politik tertentu.”

Gambar ilustrasi. Sumber: tirto.id

Joshua Little, seorang sejarawan Universitas Oxford yang berspesialisasi dalam bidang sejarah awal dan Abad Pertengahan Islam, telah menyelidiki salah satu topik paling kontroversial: pernikahan Nabi Muhammad dengan istri ketiganya, Aisyah. Ini topik yang telah diperdebatkan secara luas karena usia Aisyah yang dilaporkan masih kanak-kanak saat menikah dengan Nabi Muhammad.

Para propagandis anti-Muslim seringkali mengutip hadis tentang pernikahan anak yang dilakukan oleh Nabi Muhammad untuk menyerang Islam—dan uniknya sejumlah Muslim fundamentalis juga melakukan hal serupa dengan tujuan berbeda.

Tapi, tesis doktoral Little yang belum dipublikasikan, dan yang berhasil dipertahankannya, menantang keabsahan riwayat mengenai pernikahan kanak-kanak (child marriage) Aisyah. Little menyatakan bahwa hadis tentang pernikahan Aisyah adalah sebuah fabrikasi sejarah dari Abad Kedelapan demi tujuan politik dan sektarian.

Riwayat bahwa Muhammad menikahi seorang anak didasarkan pada hadis-hadis yang diatribusikan kepada Aisyah dalam kitab-kitab koleksi hadis—sebagiannya dianggap sumber hukum terpenting setelah Al-Quran bagi kalangan Muslim tradisionalis. Dalam beberapa teks hadis, Aisyah dilaporkan dipinang pada usia enam tahun dan menikah pada usia sembilan tahun. Beberapa Muslim fundamentalis menggunakan hadis pernikahan Aisyah ini untuk membenarkan pernikahan anak di zaman sekarang.

Kalangan Muslim liberal, modernis, dan reformis telah lama mempertanyakan keaslian hadis pernikahan Aisyah, sementara kelompok Muslim ultrakonservatif, fundamentalis, dan ekstremis sangat membela hadis itu. Di antara mereka, ada kalangan Muslim tradisionalis moderat yang berusaha menegaskan keaslian hadis (dan kitab hadis secara keseluruhan) tapi pada saat yang sama tidak menyetujui pernikahan anak karena hal itu sudah tidak sesuai dengan konteks sosio-historis masa kini.

Little adalah seorang sejarawan spesialis hadis. Dia melakukan penelitian ini di bawah pengawasan Christopher Melchert, seorang ahli studi Islam terkemuka di Oxford. Little menerapkan metode kritis-historis terhadap sumber-sumber Islam tradisional, khususnya yang berkenaan dengan hadis pernikahan kanak-kanak Aisyah. Pendekatan ini menggunakan teknik sejarawan modern untuk menentukan kemasukakalan sejarah dan mencari anakronisme sejarah untuk mengidentifikasi pemalsuan dalam teks.

Metode kritis-historis dipopulerkan dalam studi biblikal oleh sarjana seperti Bart Ehrman. Sejumlah apologis Muslim mengonsumsi metode ini ketika pendekatan ini diterapkan terhadap Bibel dan Yesus, tapi merasa tidak nyaman ketika diterapkan terhadap sumber-sumber tradisional Islam. Standar ganda ini juga terjadi di kalangan apologis Kristen, yang menggunakan temuan-temuan metode kritis-historis untuk menyerang Islam, dan pada saat yang sama menolak sarjana seperti Ehrman yang menggunakan pendekatan serupa terhadap Bibel.

Penelitian Little menunjukkan bahwa hadis pernikahan kanak-kanak Aisyah difabrikasi oleh seorang perawi bernama Hisyam bin Urwa antara 754 dan 765 Masehi di Irak, hampir satu setengah abad setelah peristiwa yang diriwayatkan dan berjarak 1.000 mil jauhnya dari Madinah, tempat pernikahan itu seharusnya terjadi. Pemalsuan ini, menurut penelitian Little, bahkan memiliki tujuan sektarian dan politik tertentu.

Temuan Little sebenarnya selaras dengan karya-karya sebelumnya dari para sarjana dan penulis Muslim modern tentang topik ini. Namun, beberapa karya sebelumnya itu tidak memiliki argumen yang kuat dan kajian yang serius.

Sementara itu, penelitian Little menonjol karena pendekatan akademisnya yang ketat dan penyempurnaan metodologi “analisis isnad-cum-matn”. Metodologi ini meneliti korelasi dan pola antara teks hadis dan para perawinya untuk merekonstruksi teks awal dan mengidentifikasi asal-usulnya.

Ibn Urwa, perawi awal hadis tersebut, dianggap tidak dapat diandalkan. Ia dituduh sudah pikun dan kerap melakukan penipuan akademis yang disebut tadlis dalam terminologi ilmu hadis. Tadlis menghilangkan sebuah cacat dalam jalur periwayatan hadis untuk menyiratkan bahwa hadis itu bisa diandalkan. Tadlis mengindikasikan suatu kecerobohan dalam periwayatan.

Alasan lain yang mungkin lebih memberatkan bagi Little adalah fakta bahwa hadis tentang pernikahan kanak-kanak Aisyah tidak terdapat dalam koleksi hadis hukum paling awal di Madinah, termasuk al-Muwatta karya Imam Malik, meskipun Imam Malik mengutip Ibn Urwa puluhan kali. Ini menunjukkan tidak hanya bahwa Malik mungkin menolaknya, tetapi juga bahwa hadis tersebut tidak beredar di Madinah pada saat itu. Mengingat ini tentang usia pernikahan yang memiliki konsekuensi hukum penting, hadis itu seharusnya dimasukkan ke dalam koleksi hadis hukum di Madinah.

Dengan demikian, hadis tentang pernikahan kanak-kanak Aisyah tidak disebutkan di dalam sumber-sumber awal di Madinah, tempat peristiwa itu terjadi. Berdasarkan ini, Little berpendapat bahwa riwayat tersebut diciptakan pada Abad Kedelapan di Irak, dan kemudian diinjeksikan ke dalam kisah hidup Nabi Muhammad. Pendapat Little ini didasarkan pada “argumen ketiadaan”(ketiadaan bukti dari sumber-sumber awal).

Lalu untuk apa hadis itu difabrikasi?

Berdasarkan penelitiannya, Little memandang bahwa hadis pernikahan kanak-kanak Aisyah dipalsukan untuk memperkuat citra Aisyah terhadap kalangan Syiah. Klaim tersebut dibuat oleh tokoh Sunni di Irak dengan maksud bahwa usia belia Aisyah saat menikah bisa menegaskan kemurnian keperawanannya, apalagi mengingat sebagian besar istri Nabi Muhammad adalah janda.

Budaya Timur Dekat kuno sangat menghargai kemurnian perawan karena konotasinya yang bebas dari dosa duniawi, sebuah gagasan yang juga tercermin dalam penekanan Kristen dan Muslim pada keperawanan Maria.

Selain itu, hadis tersebut menempatkan Aisyah telah hidup bersama Nabi Muhammad sejak usia belia, bersaing dengan sepupu Nabi, Ali bin Abi Thalib. Catatan tradisional menunjukkan bahwa Ali juga memasuki rumah tangga Nabi Muhammad di usia muda. Kepercayaan generasi Muslim awal menyatakan bahwa rumah tangga dan keturunan Nabi Muhammad harus dihormati. Semakin dini seseorang memasuki rumah tanggal Nabi Muhammad, semakin besar kehormatan yang mereka peroleh.

Generasi Muslim selanjutnya bersaing untuk mendapatkan klaim kedekatan dengan Nabi Muhammad melalui garis keturunan mereka. Sebagian menekankan hubungan mereka dengan Muhammad melalui Ali, sementara yang lain mengklaim garis keturunan yang berlawanan melalui Aisyah. Di kemudian hari kekhalifahan (dan konter kekhalifahan) juga berakar pada klaim-klaim silsilah seperti itu, sehingga menciptakan dorongan untuk membesar-besarkan nilai mereka di sisi Nabi Muhammad.

Pada akhirnya, tesis Little menyatakan bahwa hadis pernikahan kanak-kanak Aisyah adalah propaganda sektarian, yang bertujuan untuk meningkatkan status Aisyah dengan menekankan kemurnian keperawanannya dan masuknya dia ke dalam rumah tangga Muhammad sejak usia belia.

Menurut Javad T Hashmi, kandidat doktor bidang studi agama pada Universitas Harvard, kalangan Muslim modernis mungkin merayakan kesimpulan tesis Little mengenai hadis Aisyah itu, sementara yang lain mungkin khawatir akan konsekuensi yang lebih luas.

Sebagian besar Muslim tradisionalis konservatif tidak semata-mata berfokus mempertahankan pernikahan anak itu sendiri, tetapi lebih jauh membela kitab-kitab hadis. Motivasi utama mereka tampaknya adalah mempertahankan kitab-kitab hadis dari serangan metode kritik-historis modern.

Cendekiawan Muslim konservatif Yasir Qadhi, misalnya, berpendapat bahwa meragukan hadis pernikahan Aisyah merupakan bagian dari serangan yang lebih luas terhadap kitab hadis seperti Sahih Bukhari, yang oleh Muslim tradisionalis dianggap sebagai sumber kedua setelah Al-Quran. Sahih Bukhari yang dianggap sebagai kitab hadis yang paling dapat diandalkan dan merupakan pusat ortodoksi Sunni juga memuat hadis pernikahan kanak-kanak Aisyah.

Oleh karena itu, perdebatan mengenai hadis pernikahan Aisyah bisa jadi bukan perdebatan mengenai pernikahan anak (child marriage) tapi lebih dianggap sebagai serangan terhadap Sahih Bukhari dan kitab hadis lain.

Joshua Little juga melihat bahwa dalam masyarakat pra-modern dan pra-literasi di Arab Abad Ketujuh, sangat tidak mungkin Aisyah mengetahui usianya sendiri, seperti yang sering ditunjukkan oleh penelitian-penelitian tentang masyarakat pra-literasi. Usia muda yang dikaitkan dengan Aisyah harus dilihat sebagai simbol keperawanan dan kemudaan, bukan secara akurat sebagai usia. Usia dan tanggal seringkali dipilih karena alasan simbolis daripada keakuratan sejarah dalam masyarakat Timur Dekat kuno.

Sebagai contoh, Muhammad dikatakan berusia 40 tahun ketika pertama kali menerima wahyu Ilahi. Ini karena usia 40 tahun melambangkan kedewasaan dan kebijaksanaan. Istri pertamanya, Khadijah, juga dikatakan berusia 40 tahun ketika menikah dengan Muhammad, sebuah klaim yang tidak masuk akal mengingat Khadijah masih bisa melairkan anak yang banyak setelah itu. Hal ini menunjukkan bahwa, jika usia Khadijah dibesar-besarkan untuk menekankan senioritasnya, maka usia Aisyah dibesar-besarkan untuk menekankan kemudaan dan keperawanannya.

Fabrikasi hadis pernikahan kanak-kanak Aisyah pada Abad Kedelapan juga mengindikasikan bahwa pernikahan anak pada masa itu tidak dianggap sebagai hal yang tidak dapat diterima secara sosial. Menstruasi pertama adalah rata-rata usia minimum untuk menikah bagi anak perempuan di masyarakat kuno dan Abad Pertengahan di seluruh dunia. Maka, memaksakan ideal dan norma sosial-budaya modern pada masyarakat masa lalu juga sebuah kekeliruan logika, yang disebut “presentisme”.

Namun, terlepas dari itu, sebagian besar Muslim modernis saat ini menyadari kondisi sosio-historis yang telah berubah dan berupaya menyesuaikan penafsiran mereka terhadap Islam atau hukum Islam. Meskipun tidak menghakimi masyarakat di masa lalu, pembatasan minimum usia pernikahan adalah sesuatu yang masuk akal di lingkungan sosial dan budaya saat ini. (AL)

Sumber:

Hashmi, Javad T. 2022. “Oxford Study Sheds Light on Muhammad’s ‘Underage’ Wife Aisha.” New Lines Magazine. October 28, 2022. https://newlinesmag.com/essays/oxford-study-sheds-light-on-muhammads-underage-wife-aisha/.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*