Semua Agama itu Islam (1)

in Studi Islam

Last updated on May 7th, 2018 07:05 am

“Dan sesungguhnya tidaklah Kami menciptakan langit-langit dan bumi dan segala apa yang ada di antaranya dengan main-main * Tidaklah kami menjadikannya kecuali dengan Al-Haqq” (QS Ad-Dukhan: 38-39).

—Ο—

 

Salah satu persoalan yang senantiasa menghantui pikiran dan perasaan manusia adalah tujuan penciptaan alam semesta, terutama tujuan penciptaan manusia. Persoalan inilah yang melahirkan filsafat dan cara berpikir filosofis dalam pentas sejarah manusia. Terhadap persoalan ini, berbagai aliran menawarkan jawaban yang berbeda-beda, sesuai dengan dasar pijakannya masing-masing.

Kaum materialis, dengan berbagai kembangan dan turunannya, merumuskan tujuan penciptaan alam dalam batasan ruang dan waktu. Bagi mereka, sebagaimana alam semesta ini terbatas pada apa yang terindra dan terukur, demikian pula dengan tujuan penciptaannya. Kebahagiaan, kesejahteraan, kekayaan, dan keberhasilan, semuanya terkait dengan konteks now-and-here. Hal-hal di luar itu dianggap nonsens, tidak bermakna atau setidaknya tidak dapat diungkapkan. Para ilmuwan dan pemikir yang menyangkal kehadiran wilayah imaterial-Ilahi di alam semesta cenderung untuk terpesona oleh gagasan penciptaan alam secara kebetulan.

Bertolak dari pandangan tersebut, sejumlah pertanyaan sulit muncul: Mengapa ada alam semesta? Mengapa alam semesta seperti ini? Mengapa benda-benda berbentuk demikian? Menghadapi berbagai pertanyaan itu, seorang materialis akan merasakan keresahan eksistensial yang mendalam. Dan pada gilirannya ia akan tergiring untuk memilih jalan hidup yang absurdis dan nihilis. Mengutip ungkapan Ian Barbour;

“Tidaklah mengejutkan bahwa beberapa saintis dan filosof yang terkesan dengan peran kebetulan (dalam penciptaan alam semesta) mengarah ke penolakan terhadap teisme (kepercayaan kepada Tuhan). Mereka memandang kehidupan sebagai hasil kebetulan, dan mereka berasumsi bahwa kebetulan dan teisme tidak dapat dipertemukan. Sementara respons terhadap desain Ilahi (dalam pandangan kaum yang bertuhan) adalah berupa syukur dan terima kasih, respons terhadap kebetulan adalah perasaan berupa kesia-siaan dan keterasingan kosmik.”[1]

Seolah membenarkan perkataan Ian Barbour, Richard Dawkins, seorang ilmuwan materialis yang mengarang buku berjudul River out of Eden, menulis, “Dalam alam semesta yang buta terhadap gaya fisika dan replikasi genetis, sebagian orang sengsara, dan sebagian lain bahagia. Anda tidak sulit menemukan irama atau nalar atas fakta ini. Tidak ada keadilan. Alam semesta yang kita amati benar-benar mempunyai sifat-sifat yang mencerminkan tanpa desain, tanpa tujuan, tanpa kejahatan, dan tanpa kebaikan. Tidak ada watak yang lain kecuali tak peduli, buta, dan tak berperasaan… DNA tidak peduli. Begitulah DNA. Dan kita menari mengikuti musiknya.”[2]

Artikel terkait:

Berbeda dengan itu, kalangan bertuhan (teist) meyakini adanya tujuan umum yang terkait dengan penciptaan segala sesuatu dan tujuan khusus yang terkait dengan tiap-tiap ciptaan. Tujuan umum penciptaan ialah pemaparan dan pengungkapan faydh (pancaran sinar) Ilahi, sedangkan tujuan khususnya ialah penyempurnaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing.[3] Dalam surah Al-Imran ayat 191, orang-orang yang bertuhan menyatakan:

Segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia.

Menurut pandangan kaum bertuhan, alam raya diciptakan oleh dan didasarkan pada Al-Haqq. Secara bahasa, al-haqq berarti tsabat (kekukuhan dan keteguhan). Secara istilah, pengertian al-haqq tetap mengungkapkan hakikat kekukuhan dan keteguhan. Berikut beberapa pengertian al-haqq dalam tata-guna bahasa Arab: 1. dalam kaitan dengan Allah Swt., al-Haqq berarti Wujud yang Niscaya-ada; 2. dalam kaitan dengan kepercayaan, al-haqq berarti kepercayaan yang lurus dan benar, lawan dari kepercayaan yang batil dan menyimpang; 3. dalam kaitan dengan perkataan, al-haqq berarti kejujuran yang sesuai dengan kenyataan; 4. dalam kaitan dengan tindakan, al-haqq berarti tindakan yang bernilai dan bertujuan bijaksana; dan 5. adakalanya al-haqq digunakan dalam arti hak konvensional (right), seperti dalam konteks hak asasi manusia, hak milik, hak guna, hak pakai, hak rakyat atas penguasa dan sebagainya. Semua hak konvensional hanya ada dalam ruang sosial manusia.

Lawan dari kata al-haqq dalam pengertian keempat ialah ‘abats (kesia-siaan). Sehubungan dengan itu Allah berfirman:

Apakah kalian menyangka bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia (‘abatsan) dan bahwa kalian tidak akan kembali kepada Kami.” (QS Al-Mu`minun: 115).

Ketika berbicara tentang penciptaan, Allah berfirman,

Dialah (Allah) yang telah menciptakan lelangit dan bumi dengan Al-Haqq.” (QS Al-An’am: 73)

Dalam ayat-ayat tersebut, Allah hendak menggugah kesadaran manusia agar merenungkan penciptaan dirinya: benarkah semua ini hanya ‘abats, tidak punya maksud tertentu? Apakah kalian menyangka bahwa kehidupan ini akan berakhir di sini, dan tidak akan “dikembalikan” ke sisi Allah? Apakah kalian menyangka bahwa penciptaan alam ini hanyalah bersifat lahiriah dan fisik semata?

Dalam ayat lain Allah berfirman,

“Dan sesungguhnya tidaklah Kami menciptakan langit-langit dan bumi dan segala apa yang ada di antaranya dengan main-main * Tidaklah kami menjadikannya kecuali dengan Al-Haqq” (QS Ad-Dukhan: 38-39).

(MK)

Bersambung…

Semua Agama itu Islam (2)

Catatan kaki:

[1] Ian Barbour, Juru Bicara Tuhan, Mizan, 2002, hal. 141.

[2] Richard Dawkins, River out of Eden, Basic Books, New York, 1995, hal. 133.

[3] Para ahli makrifat mendefinisikan Keadilan Ilahi sebagai “I’tha` kulli dzi musta’iddin bima yasta’iddu lahu (memberi sesuatu sesuai dengan kapasitas dan potensinya)”, berbeda dengan keadilan manusia yang didefinisikan sebagai: “I’tha` kulli dzi haqqin haqqahu (memberikan hak kepada yang berhak).”

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*