Siapa Para Sahabat Nabi?

in Studi Islam

Last updated on October 13th, 2017 08:51 am

Selain Al-Quran, hadist Nabi lah yang menjadi acuan hukum dalam agama Islam. Adapun sumber terpenting dalam periwayatan hadist ini, tidak lain adalah para sahabat Nabi. Kegagalan seseorang dalam mengetahui sahabat Nabi, sama dengan kegagalan menghadirkan alasan (hujjah) untuk perbuatan yang berhubungan dengan agama. Sebab kepada merekalah Nabi “mewarisi” agama ini. Kepada mereka Nabi bersabda, memberi perintah, dan berbicara. Mereka menyaksikan Nabi beribadah, Nabi berjalan, Nabi bertingkah laku. Mereka melihat senyum Nabi, melihat air mata beliau, dan mendengar suara beliau.

Selain dari Al-Quran, dari merekalah umat Islam dapat mengetahui informasi-informasi yang valid tentang Nabi dan ajaran-ajarannya. Tentang apa yang beliau ucapkan, tentang apa yang beliau larang dan perintahkan, tentang rincian hukum-hukum peribadatan dan amaliah lainnya, bahkan tentang rupa beliau, fisik beliau dan pakaian beliau. Lalu.., siapa mereka ?

Ternyata, upaya mendefinisikan siapa para sahabat ini, baru dimulai beberapa abad setelah Rasulullah SAW wafat. Menurut Fu’ad Jabali, munculnya pendefinisian tentang siapa para sahabat ini dimulai ketika kaum Mu’tazilah mulai melancarkan kritik-kritik tajam terhadap para ahli hadist. Pendekatan Mu’tazilah terhadap wahyu telah membawa mereka meminimalkan peran hadist, antara lain dengan cara mengurangi jumlah sahabat melalui formulasi definisi ketat sehingga jumlah sahabat (dan dengan demikian, jumlah hadist) berkurang banyak sekali.[1] Untuk menjawab tantangan (ancaman) ini, maka upaya membuat standar pendefinisian sahabat pun dimulai.

Akar permahaman umat Islam terdahulu tentang definisi sahabat adalah ungkapan Anas bin Malik, saat menjawab pertanyaan dari Musa al-Sailani perihal kemungkinan sahabat lain yang masih hidup selain Anas bin Malik. Atas pertanyaan ini Anas bin Malik menjawab, bahwa “ada beberapa orang Arab yang masih hidup yang “pernah melihat” (ra’a) Nabi, tapi mereka yang pernah “dekat dengan” (shahiba) Nabi, tidak ada”.[2]

Konsekuensi dari jawaban Anas ini, seharusnya definisi sahabat menjadi jelas, yaitu siapa saja yang pernah “dekat dengan” Nabi dalam kurun waktu yang lama. Di kalangan muslim awal, atau setidaknya pada zaman tabi’in, definisi Anas bin Malik ini tidak ada masalah, dan tidak ada yang keberatan tentang ini. Akan tetapi pada generasi berikutnya, pada saat jumlah hadist sudah demikian banyak, dan para penghapal sudah cukup banyak, serta yang mengamalkan dan mengikutinya sudah lebih banyak lagi, definisi Anas bin Malik ini menjadi pudar begitu saja.

Karena tingkat kedekatan dengan Nabi menjadi kualifikasi bagi Anas bin Malik, maka secara otomatis jumlah hadist pun menjadi semakin terbatas. Maka untuk menjawab kebutuhan zamannya, para ahli hadist berupaya merenggangkan definisi tersebut dengan mengganti beberapa kata dengan diksi yang lebih longgar, sehingga bisa mencakup berbagai hadist yang beredar.

Adalah Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H/855 M) dan ‘Ali bin al-Madini (wafat 258 H/871-2 M), yang kemudian di ikuti oleh murid mereka al-Bukhari (wafat 257 H/870 M), adalah di antara para ulama yang sudah mengeluarkan banyak sekali tenaga untuk merevisi definisi yang dibuat oleh ulama terdahulu. Menurut Fu’ad Jabali, dalam melakukan ini, pertama mereka memasukkan kata ra’a (melihat) secara eksplisit dalam definisi formal mereka; dan kedua, mereka menghilangkan keharusan untuk bersama Nabi dalam jangka waktu lama sebagai syarat untuk menjadi sahabat dengan cara memasukkan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan kebersamaan dalam waktu pendek. Maka sahabat dalam definisi mereka menjadi sebagai berikut : menurutu Ibn Hanbal : “Siapapun yang bersama Nabi selama satu tahun, atau satu bulan, atau satu hari, atau sesaat, atau sekedar melihat (ra’a)-nya adalah sahabat”.[3] Adapun ‘Ali bin al-Madini mendefinisikan sahabat sebagai “siapapun yang besama Nabi atau melihatnya, walaupun hanya sebentar dalam sehari..”.[4]

Sementara bagi al Bukhari, kedua definisi ini masih menyisakan pertanyaan, seperti bagaimana bila orang yang melihat Nabi tersebut adalah kaum kafir atau musuh beliau yang kemudian sepeninggal beliau masuk Islam? sehingga al-Bukhari melengkapi masalah definisi ini dengan menambahkan syarat keislaman bagi seseorang yang dianggap sahabat tersebut. Maka Sahabat Nabi dalam definisi al-Bukhari menjadi, “Siapa saja yang pernah bersama Nabi atau melihatnya dan dia dalam keadaan Islam”.

Definisi Bukhari ini kemudian menjadi standar formal definisi sahabat di kalangan ahli hadist. Sampai dalam waktu cukup lama, akhirnya muncul pertanyaan, bagaimana dengan sahabat yang tidak bisa melihat seperti Ummu Maktum? dan bagaimana status hukum dari hadist yang periwayatnya menjadi murtad setelah Rasul SAW wafat?

Persoalan ini kemudian bisa diatasi dengan mengganti kata “melihat” dengan “bertemu”, dan untuk memecahkan persoalan kedua, mereka menambahkan kalimat “dan wafat dalam keadaan Islam” (wa mata ‘ala al-Islam). Maka definisi Sahabat Nabi yang disepakati para ahli hadist menjadi “Siapa saja yang pernah bertemu dengan Nabi dan wafat dalam keadaan Islam”.[5] Pada akhirnya, keharusan bertemu dengan Nabi, keharusan dalam keadaan Islam, dan keharusan untuk wafat dalam keadaan Islam, adalah tiga syarat minimal menjadi sahabat yang di sepakati semua ahli hadist.

Sebagaimana kita mahfum pada akhirnya para ahli hadist memenangkan pertarungan pemikirannya dari kaum Mu’tazilah. Kerja keras Imam Ahmad bin Hanbal dan murid-muridnya bisa kita saksikan saat ini. Dimana Karya-karya mereka seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Sahih Bukhari, Sahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya. (AL)

 

[1] Lihat, Fu’ad Jabali, “Sahabat Nabi; Siapa, Ke mana, dan Bagaimana?”, Bandung, Mizan, 2010, Hal. 40

[2] Fu’ad Jabali mengutip ungkapan Anas bin Malik dari kitab “ulum al-Hadist” karya Ibn al Shalah, dan juga Ibn Katsir dalam al Ba’its al-Haram, yang berbunyi, “baqiya nas min al-a’rab qad ra’awhu, fa-amma man shahibahu fa-la”. Lihat, Ibid, Hal. 204

[3] Definisi Ibn Hanbal ini dikutip oleh Fu’ad Jabali dari al-Kifayah, karya Khathib al Baghdadi; juga dari Fath al-Mughits, karya al-Iraqi, yang berbunyi, “Man Shahibahu sanatan aw syahran aw yauman aw sa’atan aw ra’ahu fa-huwa min Ashhabih”, Lihat, Ibid, 205

[4] Definisi ‘Ali bin al-Madini ini dikutip oleh Fu’ad Jabali dari Fath al-Bari, karya Ibn Hajar; juga dari Fath al-Mughits, karya al-Sakhawi, “Man Shahibahu al-Nabi aw ra’ahu wa-law sa’atan min nahar fa-huwa min Ashhabih”. Ibid

[5] Fu’ad Jabali mengutip definisi ini dari Fath al-Mughits, karya al-Iraqi. Ibid, Hal. 206

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*