Sirah Rasul: Terobosan Besar Hijrah (2)

in Sejarah

Last updated on March 6th, 2019 09:40 am

Tak Mengabaikan Individu

Bagaimanapun, Nabi tidak membatasi pendekatannya kepada para delegasi suku. Setiap kali beliau mendengar tentang kedatangan seseorang yang berkedudukan terhormat di antara kaumnya ke Mekah, beliau akan mendekatinya dan menjelaskan Islam kepadanya. Dalam kasus-kasus seperti ini, beliau tidak meminta perlindungan. Beliau hanya membuat permintaan itu bila menyeru kepada suatu suku secara kolektif.

Seorang lelaki yang berkedudukan seperti itu adalah Suwaid bin al-Samit dari Madinah. Sewaktu Nabi berbicara kepadanya, dia berkata: ‘Barangkali kau memiliki sesuatu yang sama dengan apa yang aku miliki,’ Pada saat, sebagai jawaban atas permintaan Nabi, dia mengutip beberapa halaman dari sebuah kitab yang dia sebut ‘lembaran Luqman’, Nabi bertutur: ‘Ini tentunya baik, tapi aku punya sesuatu yang lebih baik.’ Beliau membacakan penggalan dari al-Qur’an dan mengajaknya untuk menjadi Muslim. Suwaid tak berkomentar selain: ‘Apa yang telah kau baca sungguh baik.’ Namun, tak berapa lama setelah kepulangannya, dia mati terbunuh. Kaumnya percaya bahwa dia telah memeluk Islam sebelum kematiannya.[1]

Satu kelompok lain dari Madinah yang dipimpin oleh lelaki bernama Abu al-Haysar Anas bin Rafi, tiba di Mekah mencari sekutu dengan Quraisy melawan suku Khazraj di Madinah. Nabi pergi menemui mereka dan berkata: ‘Aku bisa memberikan kalian sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian cari di sini.’ Dalam menjawab pertanyaan mereka, beliau berkata: ‘Aku adalah Utusan Allah kepada umat manusia. Aku menyeru semua untuk menyembah Allah semata-mata, dan tidak menyekutukanNya. Dia telah mengungkapkan kepadaku sebuah kitab yang berisi Risalah-Nya.’ Kemudian beliau menerangkan kepadanya tentang prinsip-prinsip Islam dan membacakan pada mereka beberapa ayat al-Qur’an. Seorang anggota kelompok itu yang bernama Iyas, bocah berusia belasan tahun, berkata: ‘Demi Allah, ini lebih baik dari tujuan awal kita ke sini.’ Pemimpinnya, Abu Al-Haysar, mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke wajah Iyas, lalu berkata, ‘Tinggalkan kami. Kami ke sini untuk suatu tujuan yang berbeda.’ Nabi kemudian meninggalkan mereka.

Tak lama setelah mereka pulang, meletus pertempuran Bu’ath antar dua suku di Madinah, Aws dan Khazraj. Kemudian Iyas meninggal dan mereka yang menghadiri ranjang kematiannya melaporkan bahwa dia memuliakan Allah dan memuji-Nya sampai dia meninggal. Mereka tak ragu bahwa dia adalah seorang Muslim.[2]

Kasus-kasus seperti Suwaid dan Iyas berperan sebagai tanda-tanda yang menggembirakan bagi Nabi. Bahkan, sesuatu yang lebih memberikan harapan adalah kasus al-Tufail bin Amr, seorang pemimpin dari suku Daws. Ketika dia datang ke Mekah untuk berhaji, para tetua kaum Quraisy telah berjaga-jaga dengan memperingatkannya tentang [pengaruh] Nabi. Mereka telah meminta kepadanya dengan tegas untuk tidak bertemu dengan Nabi atau mendengarkan apa yang dikatakannya. al-Tufail meriwayatkan:

Mereka terus-menerus menekanku supaya membuat keputusan pasti untuk tidak pernah mendengar apapun yang dia katakan, ataupun berbicara dengannya. Sewaktu aku pergi ke mesjid di pagi berikutnya, aku meletakkan kapas dalam telingaku supaya secara kebetulan aku tidak mendengar apapun yang dia katakan. Saat itu, aku hanya tidak mau mendengarkannya. Walaupun demikian, ketika aku berada di dalam mesjid dia sedang berdoa yang jaraknya tidak jauh dari tempatku. Allah serta-merta menghendakiku untuk mendengarkan kata-katanya. Aku menyadari bahwa apa yang dia katakan itu pasti baik. Aku bicara pada diriku sendiri: ‘Kau pasti berada di jalur yang salah. Kau adalah seorang penyair handal yang bisa memilah perkataan baik dari yang buruk. Apa yang telah menghalangimu mendengarkan lelaki ini dan menilai apa yang telah dikatakannya? Jika baik, kau terimalah; dan jika buruk, tinggalkan.’ Aku menunggu sampai Rasulullah pulang dan mengikutinya dari belakang. Aku berkata kepadanya: ‘Muhammad, kaummu telah berkata begini dan begitu kepadaku dan dengan tegas memperingatkanku supaya tidak mendengarkan apapun yang telah engkau katakan sehingga aku menutup telingaku. Namun Allah berkehendak agar aku mendengarkan apa yang kau katakan dan aku mendapatkan bahwa hal itu adalah baik. Bersediakah kau menjelaskan risalahmu itu kepadaku?’ Nabi telah menyampaikan kepadaku tentang Islam dan menjelaskan dasar-dasarnya, serta membacakan sepenggal ayat dari al-Qur’an kepadaku. Demi Allah, aku belum pernah mendengar sesuatu yang lebih baik dari itu. Seketika aku memeluk Islam dan mengumumkan keimananku pada keesaan Allah dan risalah Muhammad.

Ketika al-Tufail tiba kembali kepada kaumnya, ayahnya yang tua datang menyambutnya. Namun al-Tufail menyampaikan kepadanya bahwa mereka tidak bisa bersama-sama lagi karena dia telah memeluk Islam dan mengikuti Nabi Muhammad. Ayahnya menyatakan akan mengikuti agama yang sama. al-Tufail menyampaikan kepadanya untuk mandi dan mencuci pakaiannya. Setelah melakukannya, dia menerangkan prinsip-prinsip Islam kepadanya dan ayahnya menjadi seorang Muslim.

Al-Tufail melakukan hal serupa pada isterinya, dan dia juga segera memeluk Islam setelah dijelaskan dasar-dasar kepadanya. Dia segera menyeru kaumnya kepada Islam, tetapi mereka belum siap untuk menerima seruannya. Setelah beberapa waktu, dia merasa putus asa dan pergi ke Nabi mengeluhkan tentang tanggapan yang lambat itu. Dia mengusulkan supaya Nabi mengutuk mereka. Sebaliknya, Nabi malah mendoakan mereka untuk bisa menerima bimbingan dan memerintahkan al-Tufail untuk kembali dan mengajak mereka secara lemah-lembut kepada Islam. Dia segera kembali untuk mematuhi perintah Nabi. Dia tidak bertemu lagi dengan Nabi selama beberapa tahun hingga pecahnya pertempuran Moat. Dia pergi dengan sekitar 80 kepala keluarga dari kaumnya yang telah memeluk Islam. Mereka bergabung dengan Nabi di Pertempuran Khaybar dan memberi mereka bagian barang rampasan dari peperangan itu.[3] (MK)

Bersambung ke:

Sirah Rasul: Terobosan Besar Hijrah (3)

Sebelumnya:

Sirah Rasul; Terobosan Besar Hijrah (1)

Catatan kaki:

[1] Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Dar al-Qalam, Beirut, Vol. 1, hal. 64-65, juga, Ibn Sayyid al-Nas, ‘Uyun al-Athar, Dar al-Turath, Madinah, 1996, hal. 68-69, juga, Ibn sayyid al nas, op.cit., hal. 260

[2] Ibid, hal,69-70, juga Ibn Sayyid al-Nas, Ibid, hal. 261.

[3] Ibid, Hisyam, op.cit., hal. 21-24.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*