Sirah Rasul: Terobosan Besar Hijrah (6)

in Sejarah

Last updated on March 6th, 2019 09:43 am

Sumpah Setia tanpa Pamrih

Kehadiran al-Abbas dan ceramahnya yang menjadi pembuka pertemuan itu harus dilihat dari sudut pandang perkembangan masa depan hubungan antara negara yang belum lahir dan kaum Quraisy. Apa yang akan berlangsung adalah penegasan kembali kesetiaan yang radikal. Dalam masyarakat kesukuan Arab, kejadian itu tentu sangat serius. Al-Abbas mengawalinya dengan menekankan bahwa sejauh ini klan Nabi telah memenuhi segenap kewajibannya menurut nilai sosial yang berlaku:

Kalian tahu betapa kami sangat menghargai Muhammad. Kita telah melindunginya dari kaum kami sendiri, bersama orang-orang yang berbagi kesamaan pendapat tentang dakwahnya. Tentu saja dia dilindungi dengan baik di tengah kaum dan kotanya sendiri. Walaupun demikian, dia telah bertekad untuk bergabung dengan kalian. Jika kalian merasa bahwa kalian akan memenuhi ikrar-ikrar kalian kepadanya dan tentu saja akan melindunginya dari semua musuhnya, maka kalian berhak untuk melakukan apapun yang kalian suka. Namun, seandainya kalian merasa bahwa kalian akan mengecewakannya setelah membawanya ke kota kalian, maka lebih baik untuk semua jika kalian memutuskan saat ini juga untuk meninggalkannya karena dia telah dijaga secara baik di kota asalnya.

Mereka menjawabnya: ‘Kita benar-benar memahami apa yang kau telah katakan.’ Mereka kemudian berpaling ke Nabi dan memintanya untuk mengajukan sejumlah syaratnya.

Nabi memulai pidato singkatnya dengan membaca satu ayat al-Qur’an. Kemudian beliau menerangkan pesan Islam dan pengaruhnya pada kehidupan pengikutnya. Beliau mengakhiri syarat-syarat sumpah ini dengan pernyataan ringkas yang beliau inginkan dari mereka: ‘Kalian harus berjanji melindungiku seperti kalian melindungi wanita dan anak-anak kalian sendiri.’

Al-Bara bin Ma’rur, salah seorang tokoh terkemuka yang hadir di sana, berkata: ‘Demi Dia yang telah memberi kau risalah kebenaran, kami akan membelamu seperti kami membela wanita-wanita kami. Ambillah sumpah kami, karena kami adalah anak-anak perang dan golongan yang terbaik dalam bermain senjata.’

Di sini, salah seorang tokoh yang disegani, Abu al-Haitham bin al-Tayyihan memotong: ‘Kami memiliki hubungan dengan kaum Yahudi yang sebentar lagi akan segera putus. Jika kami berbuat sesuai dengan sumpah kami dan Allah menganugerahkan kemenangan, akankah kau, wahai Rasulullah, meninggalkan kami untuk kembali kepada kaummu?’

Sambil tersenyum, Nabi memastikan bahwa beliau tidak akan melakukan hal itu. Beliau berkata: ‘Aku milik kalian seperti kalian milikku. Aku bertempur melawan musuh kalian dan berdamai dengan teman kalian.’

Sewaktu mereka mengantri untuk melakukan sumpah secara pribadi, seorang lelaki bernama al-Abbas bin Ubadah menghentikan mereka dan berkata:

Apakah kalian tahu apa yang sedang kalian janjikan kepada lelaki ini? Kalian bertekad untuk memerangi seluruh dunia. Jika ada keraguan dalam pikiran kalian atau merasa bahwa manakala kekayaan kalian dijarah dan para pemimpin terhormat kalian dibunuh kalian akan menyerahkannya, maka akan lebih terhormat kalian meninggalkannya sekarang. Meninggalkannya seperti itu jelas sekali akan memalukan diri kalian sendiri di kehidupan ini dan yang akan datang. Pada sisi lain, jika kalian akan menghormati janji-janji kalian dalam menghadapi apapun yang terjadi, teruskanlah, karena hal ini akan meningkatkan kehormatan kalian di dunia ini dan setelahnya.

Tanpa ragu mereka semua berkata: ‘Kami akan selalu setia, apapun yang terjadi.’ Pertanyaan yang sangat ingin mereka ajukan kepada Nabi adalah: ‘Apa balasan yang akan kami dapatkan jika kami menepati janji-janji kami?’ Nabi menjawab dengan satu kata: ‘Surga.’

Kemudian mereka berjabat tangan dengan Nabi dalam suatu isyarat kepatuhan atas persetujuan tersebut. Mereka menyatakan bahwa mereka tak akan pernah mencari-cari pembatalan janji, ataupun menerima adanya pembatalan.

Beberapa poin harus dibuat di sini dalam hubungannya dengan pertemuan ini. Pertama, fakta bahwa kehadiran al-Abbas, paman Nabi yang saat itu masih mengikuti penyembahan berhala, menunjukkan kepada sebagian orang bahwa Muslim boleh mengajak non-Muslim ke dalam kepercayaan mereka, bahkan dalam hal paling serius yang mempengaruhi masyarakat mereka. Memang benar bahwa al-Qur’an telah memperingatkan hal ini dan menasihati kita untuk berjaga-jaga. Kita harus ingat bahwa al-Abbas adalah paman Nabi dan Nabi mengenalnya secara pasti bahwa dia ingin Nabi dan pengikutnya selamat. Lagipula, al-Abbas adalah orang yang sangat berkepentingan. Sebagai pemuka tokoh bani Hasyim yang bertanggung jawab melindungi Muhammad, dia ingin yakin bahwa orang-orang Madinah memang benar-benar serius untuk mengambil alih tanggung jawab ini.

Kedua, jelas bahwa dalam pertemuan itu kedua belah pihak telah mengetahui dengan baik apa yang ada di balik perjanjian tersebut. Nabi telah menandaskan perlindungan macam apa yang diperlukannya. Pembicara pihak lainnya membuat pernyataan yang sangat jelas kepada para anggota delegasi yang lain bahwa mereka secara efektif berhadapan dengan seluruh dunia. Oleh karena itu, ketika membuat janji, mereka melakukannya dengan mata yang terbuka.

Ketiga, ganjaran yang telah dijanjikan bagi kaum Muslim Madinah atas pemenuhan janji mereka tak ada hubungannya dengan dunia ini. Mereka tidak diberitahu bahwa mereka akan diberi kedudukan seperti posisi menteri dalam pemerintahan atau pengganti Nabi setelah beliau wafat. Tentu saja, mereka telah dijanjikan dengan apa yang setiap Muslim lakukan bagi keyakinannya dengan dedikasi penuh dan pengabdian: masuk surga.

Janji ini membantu mereka yang bekerja untuk Islam agar selalu berada di jalur yang benar. Alasan mereka murni dan tujuan mereka selalu sama: untuk mendapatkan Ridha Allah. Mereka tak mencari ganjaran duniawi dan tidak memiliki ambisi pribadi, bahkan tidak akan mendatangkan kejayaan bagi Islam sepenuhnya akibat dari usaha mereka sendiri. Mereka bertawakal kepada Allah. Hanya Dia sendiri yang menentukan kapan dan melalui usaha siapa seruan-Nya bisa mencapai kemenangan. Para pembela Islam mengetahui bahwa tugas mereka adalah beramal untuk mencapai kemenangan, tapi apapun yang terjadi pada mereka adalah sesuatu yang bukan material, karena dedikasi dan ketidakletihan mereka dalam beramal pasti akan mengantarkan mereka pada ganjaran yang paling berharga: ridho Allah dan surga.

Ketika semua orang di pertemuan itu telah memberikan sumpah pribadi masing-masing, Nabi telah meminta kepada mereka untuk memilih 12 orang wakil yang akan bertanggung-jawab bagi kaum Muslim di Madinah. Ke-12 orang yang terpilih itu adalah: As’ad bin Zurarah, Sa’d bin al-Rabi, Abdullah bin Amr, Ubadah bin al-Samit, Sa’d bin Ubadah dan al-Mundhir bin Amr bin Khunais, semuanya berasal dari suku Khazraj. Tiga sisanya, Usaid bin Hudair, Sa’d bin Khaithamah dan Rifa’ah bin al-Mundhir, berasal dari suku Aws.

Bersambung ke:

Sirah Rasul; Terobosan Besar Hijrah (7)

Sebelumnya:

Sirah Rasul; Terobosan Besar Hijrah (5)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*