Suhrawardi

in Tokoh

Seorang pemikir, yang akidah-akidahnya selama ini menempati posisi yang baik, khususnya di Iran, sebagai filsafat Musyaiyah, yang dikritik oleh Al-Ghazali secara tajam. Ia, adalah Syihabuddin Yahya bin Jalay bin Amirek Suhrawardi. Terkadang ia digelari dengan “yang terbunuh”, dan umumnya digelari Syaikh al-Isyrak, terutama mereka yang memelihara madrasahnya hingga sekarang ini. Oleh karena nasibnya yang belum mujur, maka karya-karya peninggalannya yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada abad pertengahan, tidak diketahui di dunia Barat, sampai pada abad modern. Tiba-tiba sebagian cendikia-cendikia memulai penelitiannya, seperti Henry Corbin, yang mengkhususkan pada studi-studi yang dianggap penting, dan akhirnya mereka menganggap penting untuk menebitkan karya-karya Suhrawardi dalam bentuk terjemahan-terjemahan. Meskipun demikian, Suhrawardi masih belum dikenal di luar tanah airnya hingga sekarang. Sebagaimana tampak jelas dari kebanyakan-kebanyakan buku-buku sejarah filsafat Islam, yang masih bertekad memandang Ibnu Rusyd, atau paling jauh menghormati Ibnu Khaldun, yang menjadi tokoh penutup pemikiran Islam, dan masa bodoh terhadap madrasah Emanasi dan seluruh tokoh-tokohnya, yang datang setalah Suhrawardi. Disamping itu, sebenarnya kesalahan ini mengulang pada kebanyakan cerdik-cendikia modern Arab, Pakistan dan India. Maka diantara mereka kebanyakan menyandarkan kajian mereka terhadap apa yang ditulis oleh orientalis-orientalis modern mengenai sejara filsafat Islam. Dan mereka lengah akan pentingnya madrasah emanasi. Barangkali alasannya, bahwa bentuk pemikiran Suhrawardi ini telah tumbuh di Iran khususnya, dan menjadikannya tanah air hingga sekarang.

Menurut kenyataanya bahwa reaksi Islam, baik Syiah maupun Sunni, dalam konteks filsafat, adalah berpaut pada garis yang sama. Di dunia Sunni, filsafat bersembunyi setelah kira-kira madrasah Musyaiyah dirubuhkan. Sedangkan yang tinggal hanyalah logika, yang studinya dilakukan di madrasah-madrasah. Sebagai tambahan, bahwa keyakinan terhadap pengetahuan mulai menempati posisi penting, sehingga diletakkan sebagai kurikulum di madrasah-madrasah. Sedangkan di dunia Syi’i, betul-betul masih berbeda. Hikmat (pemikiran) nya berbaur, dlam madrasah Suhrawardi secara bertahap dengan filsafat Ibnu Sina pada satu sisi, dan akidah pengetahuan Ibnu Arabi pada sisi lain, yang kesemuanya berpadu dalam ke-Syiah-an, dan menjadilah (percampuran) peran barzakh antara filsafat dan pengetahuan murni. Hal inilah yang menyebabkan ahli-ahli sejarah merenungkan kehidupan ahli (pemikiran) di Iran. Juga negeri-negeri yang terpengaruh oleh kebudayaan Iran, seperti India (yang menyebarkan kepercayaan (akidah) Emanasi, bahkan mencapai lapisan-lapisan Sunni) yang menegaskan bahwa, filsafat Islam dengan maknanya yang sejati belum berakhir dengan Ibnu Rusyd. Bahkan, filsafat Islam betul-betul baru memulai dengan meninggalnya Ibnu Rusyd (terutama) ketika ajaran-ajaran Suhrawardi sedang menyebarkan (sayapnya) di negeri-negeri Timur dari dunia Islam.

Suhrawardi dilahirkan pada tahun 549 Hijriah (1153 M), di desa Suhrward, di dekat kota Iran-Baru Zanjan, suatu dusun yang dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh besar dalam Islam. Sejak masa kanak-kanak, ia mendapatkan pelajaran-pelajaran dari Majdudin Jaily di Maraghah, suatu kota yang tercatat masyhur beberapa tahun kemudian, tatkala Hulaqo Raja Mongol memperoleh kemenangan. Kemasyhurannya itu, karena adanya teropong bintang, yang ketika itu cendikiawan-cendikiawan ilmu falaq berkumpul dibawah dibawah pimpinan Nashiruddin Thusi. Setelah itu, Suhrawardi pindah ke Isfahan, yang menjadi pusat terkenal bagi gerakan ilmiah di Iran ketika itu, untuk menyempurnakan studinya. Ia pun menyelesaikan studi di bawah bimbingan Zhahiruddin Qari. Sedangkan teman istimewanya adalah Fakhruddin Al-Razi, seorang penentang filsafat. Setelah Razi meninggal, beberapa tahun kemudian disodorkan kepada Suhrawardi satu naskah al-Talwihat, dan diterimanya, sambil menangis, karena teman sekolahnya itu memilih jalan yang berbeda dengan jalan yang ditempuhnya. (Dan untuk kembali kepada ide Razi, merupakan suatu “kerugian”).

Setelah menyelesaikan studinya, Suhrawardi melakukan perjalanan ke Iran. Maka ia menemui sejumlah Syaikh-Syaikh Sufisme, dan sangat tertarik kepada sebagian mereka. Pada kenyataanya, ia memasuki putaran kehidupannya melalui jalan sufi, dan cukup lama berkhalwat (dalam) mempelajari dan memikirkannya. Kemudian, perjalanannya sedikit demi sedikit melebar yang mencapai Anathole dan Suriah, yang pemandangan alamnya menawan. Pernah dalam salah satu perjalannya, ia pergi dari Damaskus ke Aleppo, untuk menemui Malik Zhahir bin Shalahuddin Ayyubi yang terkenal. Malik menyukai kaum sufi dan ulama, serta tertarik kepada pemikir muda Suhrawardi, lalu mengundangnya untuk tinggal di Istana.

Suhrawardi menerima undangan ini dengan senang hati, karena kecintaannya yang besar pada daerah-daerah di Aleppo, dan tinggalah dia di istana. Tetapi, ketegasan dan kekurangan hati-hatiannya dalam menyebarkan sebagian keyakinan-keyakinan batini di hadapan majlis yang beraneka ragam, dan kecerdasannya yang tajam memungkinkannya untuk mengalahkan semua lawan-lawannya dalam perdebatan, serta kecemerlangannya dalam membahas setiap uraian filsafat dan tasawwuf, kesemuanya ini menyebabkan bertambahnya jumlah lawan-lawannya , khususnya di tengah-tengah lapisan ulama. Ulama-ulama itu pada akhirnya menuntut kepada Malik Zhahir, agar menjatuhi hukuman mati terhadap Suhrawardi, karena terbukti (tertuduh) menyebarkan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan agama. Malik menolak. Maka mereka meningkatkan tuntutannya itu kepada Sultan Shalahuddin secara langsung. Pada waktu itu Suriah telah terbebas dari tentara Salib, sedang dukungan ulama merupakan satu hal penting bagi kekuasaan Shalauhuddin. Dan karena desakan mereka yang terus menerus, terpaksalah Sultan mengabulkan tuntutan mereka itu. Malik dipaksa untuk melaksanakanna. Lalu kekuasaan eksekutif keagamaan mengakhiri hidup pemikir muda itu dengan memenjarakannya. Dan ketika itu ia meninggalkan penjara, ia wafat tanpa sebab yang dapat diterangkan sebagai penyebab langsung kematiannya pada tahun 587 H (1191 M).

Demikianlah Syaikh al-Isyraq (Bapak Emanasi) ini menerima nasibnya pada umur 38 tahun, sebagaimana yang diterima pendahulunya, Al-Hallaj, yang cukup menarik baginya ketika masa hidupnya, dan ia sendiri banyak mengutip ucapan-ucapan Al-Hallaj dalam  buku-bukunya.

Meskipun masa hidupnya terbilang pendek, Suhrawardi telah menulis sekitar 50 judul buku dalam bahasa Arab dan Persia, dan sebagian besar telah sampai kepada kita. Karya-karya peninggalannya tertulis dengan gaya bahasa yang indah, yang memiliki nilai sastra yang tinggi. Karya peninggalannya dalam bahasa Persia, dipandang sebagai karya-karya indah dalam proses riwayat dan filsafat baru. Karya peninggalannya dalam berbagai bidang, yang ditulis dengan metode yang berbeda, dan memungkinkan membaginya kedalam lima bagian, antara lain:

  • Buku-buku empat besar mengenai pengajaran dan akidah, kesemuanya ditulis dengan bahasa Arab. Sekumpulan buku-buku ini membentuk kelompok empat pertama yang membahas Musyaiyah, sebagaimana yang diperbincangkan dan diinterpretasikan Suhrawardi. Yang kemudian hikmat (pemikiran) Emanasi sendiri mengikuti asas-asas kaidah ini. Dan kelompok empat ini tersusun dari, al-Talwihat, al-Muqawimat, dan al-Mutharahat, yang ketiganya berisi pembenaran filsafat Aristoteles. Dan akhirnya mutiara yang jarang di dapat, Hikmat al-Isyraq, yang berputar sekirat akidah-akidah Emanasi.
  • Risalah-risalah pendek, yang masing-masing ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Materi risalah-risalah ini juga terdapat dalam kumpulan buku yang empat, tetapi ditulis dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah. Yaitu, Hayakil al-Nur, al-Alwah al-Imadiyah, Bartaunamah (atau Risalah fi al-Isyraq), Fi-I’tiqadi al-Hukama, al-Lamhat, Yazdan Syinakht (atau Ma’rifah Allah), dan Bustan al-Qulub. Kedua buku yang terakhir ini dinisbatkan kepada Qadli Al-Hamdani dan Sayyid Syaref Jurjani, meskipun ada anggapan yang betul-betul kuat, bahwa keduanya (ditulis) oleh Suhrawardi.
  • Kisah-kisah atau riwayat-riwayat sufisme, yang merupakan perlambang yang melukiskan perjalanan jiwa dalam alam semesta, yang mencari keunikan dan emanasi. Hampir kesemua kisah dan riwayat ini ditulis dalam bahasa Persia, meskipun ada sebagian (kecil) yang ditulis dalam bahasa Arab. Yang meliputi, Aqlun Surkh, al-Aqlu al-Ahmaru, Awazibari Jibrail, Hafifu Jinahi Jibril, al-Ghirbah al-Gharbiyah,, Lughati Muram, Lghah al-Namal, risalah dalam Halah al-Thufuliyah, Ruzi Ba Jamaat Shufian, Yaum ma’a Jamaat al-Shufiyyin, Risalah fi al-Mi’raj, Shafar Simurgh, dan Shufar al-Unaqa.
  • Nukilan-nukilan, terjemahan-terjemahan, dan penjelasan-penjelasan terhadap buku-buku filsafat lama, dan nash-nash agama samawi. Seperti, terjemahan Risalah at-Thair karangan Ibnu Sina dalam bahasa Persia, dan penjelasan al-Isyarat, serta tulisan dalam Risalah fi-Haqiqat al-Isyraqi, yang terpusat pada risalah Ibnu Sina Fi al-Isyqi, dan tafsir-tafsir, dengan sejumlah ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi.
  • Wirid-wirid dan doa-doa dalam bahasa Arab yang, pada contoh itu dikenal dengan Kutubu al-Sa’at (The Books of Hours) pada abad-abad pertengahan. Sedang Suhrawardi sendiri menamakannya al-Waridat wal-Taqdisat.

Kreasi-kreasi ini sebenarnya bersamaan dengan penjelasan-penjelasan yang banyak sekali, yang ditulis pada sepanjang tujuh abad sebelumnya, yaitu yang berkaitan dengan pembentukan sumber-sumber akidah Emanasi. Hal ini merupakan kekayaan besar berupa hikmah (pemikiran), yang berisi simbol-simbol, yang banyak disandarkan pada mazhab-mazhab termasuk didalamnya Zaratostra, Pitagoras, Platonisme, dan Hermesisme, disamping lambing-lambang Islam. Sumber-sumber teori Suhrawardi benar-benar banyak, dan ia tidak ragu-ragu memasuki pandangan totalitas, pada setiap apa yang berupa unsur-unsur yang bermacam jenis dalam mazhab-mazhab agama lain. Meskipun demikian, dunia baginya, adalah dunia islami, yang terkadang menampakkan di cakrawalanya simbol-simbol tertentu, yang melambung tinggi sampai sebelum (turunnya) Islam. Sebagaimana “ke-Katedral-an” alam semesta bagi Dante, seorang alim Kristen (Masehi), didalamnya dapat disaksikan hiasan-hiasan islami,dan Alexandrianisme tentunya.(SI)

 

Sumber :

Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam; Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Penerbit IRCiSoD, Yogyakarta, 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*