Oleh: Haidar Bagir
(Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta)
“Pada kenyataannya, kesimpulan-kesimpulan hukum yang diambil dalam mazhab Syiah, hampir selalu dapat ditemukan padanannya dalam satu di antara empat mazhab dalam ahlus-Sunnah.”
Juga dalam ilmu kalam (teologi-dialektis), bahkan fiqh, Sunnah dan Syiah tak seberbeda yang dikira orang. Sudah menjadi kelaziman bahwa orang menganggap teologi Syiah lebih dekat kepada Mu’tazilah, ketimbang Asy’ariyah – yang dianggap sebagai aliran teologi ahlus-Sunnah.
Pernyataan ini memang bukannya sama sekali tak mengandung kebenaran, tapi hanya sejauh dalam hal metodologi (manhaj) pembahasan topik-topik kalam. Atau paling jauh dalam hal epistemologinya.
Sebagaimana Mu’tazilah, Syiah memang lebih mempromosikan rasionalisme. Tapi dalam hal substansi – yakni dalam topik takdir Tuhan dan kehendak/karsa bebas manusia, yang merupakan substansi utama dalam perdebatan kalam – Syiah sesungguhnya lebih dekat kepada Asy’ariyah.
Dengan kata lain, teori kasb Asy’ari sesungguhnya lebih dekat kepada prinsip al-amr bayn al-amrayn (suatu perkara di antara dua perkara) Syi’ah. Keduanya berusaha mencari jalan tengah antara jabr (pemaksaan kehendak Tuhan, yang manusia tak bisa ikut campur/mengubah sama sekali) dan tafwid (pendelegasian wewenang pilihan bebas kepada manusia).
Baik Asy’ariyah maupun Syiah berusaha tetap mempertahankan hak prerogatif Tuhan, tapi tanpa menafikan sama sekali adanya sebatas daya memilih pada manusia.
Demikian pula dalam fiqh. Syiah, misalnya menolak qiyas – dan ra’y (opini independen terhadap nash) dan, sebagai gantinya, mempromosikan metode yang dekat kepada literalisme dengan prinsipnya bahwa ‘illah (ratio legis, alasan keabsahan suatu hukum) haruslah secara eksplisit dinyatakan dalam nash. Dan tak juga boleh diqiyas.
Tampak di sini bahwa ushul fiqh Syiah tampil secara amat tradisional, bahkan sampai-sampai dekat kepada mazhab Zhahiriyah, ketimbang rasional. Dan, pada kenyataannya, kesimpulan-kesimpulan hukum yang diambil dalam mazhab Syiah, hampir selalu dapat ditemukan padanannya dalam satu di antara empat mazhab dalam ahlus-Sunnah.
Hal ini dicoba dibuktikan oleh seorang ulama Syiah terkemuka asal Lebanon, Jawad Mughniyah, dalam bukunya yang berjudul “Fikih dalam 5 Mazhab”. Meski tentu tak semua ulama Sunni sepakat, bahkan pandangan Syiah yang membolehkan nikah mut’ah bukan tak ada kemiripannya dalam kebolehan “perkawinan dengan niat cerai” (zuwaj bi niyatith-thalaq) dan pernikahan untuk bersenang-senang (nikah misyar).[1]
Akhirnya dalam hal hadis, seperti antara lain diungkapkan oleh seorang pemikir Syiah terkemuka – Sayid Husein Nasr, dalam segenap perbedaan mata rantai periwayatan di antara keduanya, substansi/matn hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Syiah memiliki banyak sekali kesamaan – khususnya dalam hal substansinya – dengan hadis-hadis yang diriwayatkan melewati jalur ahlus-Sunnah. Seorang peneliti yang mau secara cermat membandingkan di antara keduanya tak akan sulit melihat hal ini. WalLaah a’lam
Selesai
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Catatan: dengan mengatakan hal ini, tidak lantas berarti bahwa saya mendukung pembolehan modus-modus pernikahan/perkawinan seperti ini dalam setiap keadaan