“Syeik Jumadil Kubra, bukan sekedar identitas satu orang, lebih dari itu beliau adalah identitas satu peradaban. Bukan tidak mungkin, inilah salah satu akar tradisi keilmuan, keagamaan, dan kebudayaan agung nusantara.”
—Ο—
Bila kita konstruksi informasi tentang Syeik Jumadil Kubra, baik dari versi Habaib maupun dari versi babad lokal, setidaknya kita bisa menyimpulkan bahwa usia beliau sangat tua. Sangat mungkin usia beliau melampaui 150 tahun. Dengan usia setua ini, jejak dakwah beliau yang ada dimana-mana menjadi masuk akal. Hanya saja terkait makam beliau yang ada di berbagai tempat itu, sangat mungkin sebagian besar di antaranya merupakan petilasan beliau. Meski salah satu di antaranya kemungkinan besar adalah makam yang sesungguhnya.
Usia beliau yang demikian tua juga bisa memvalidasi informasi tentang banyaknya jumlah anak keturunan beliau, dan tersebar di berbagai wilayah. Uniknya lagi, beliau memiliki istri lima orang dan tidak pernah poligami. Ini artinya setiap wafatnya satu istri, baru beliau beristri lagi. Hal ini juga bisa menjelaskan tentang banyaknya putra-putra beliau yang berdarah campuran, dan berasal dari berbagai wilayah.[1] Besar kemungkinan setiap datang ke sebuah wilayah, beliau mengikatkan diri beliau dengan ikatan perkawinan dengan para tokoh setempat. Mungkin ini juga sebabnya masyarakat setempat merasa sangat memiliki sosok beliau dan menganggap Syeik Jumadil Kubra sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah masyarakatnya.
Ketinggian ilmu, kemuliaan akhlak, metode dakwah yang bersifat damai, serta kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang luar biasa, adalah kombinasi sempurna bagi siapapun untuk diterima oleh manusia. Bahkan tidak mengherankan bila orang-orang seperti ini ditokohkan, dan namanya tetap harum dari masa ke masa.
Terkait dengan zuriat Syeik Jumadil Kubra, Muhammad Dhiya Syahab dan Abdullah bin Nuh menyatakan bahwa anak keturunan beliau tidak hanya menjadi tokoh-tokoh Islam di nusantara, tapi juga di kawasan Asia Tenggara.
Selain Wali Songo, salah satu trah yang cukup menonjol adalah Sultan Ternate, bernama Babullah yang wafat di Siyam (sekarang Thailand) pada tahun 960 H/1552 M. Beliau adalah cicit dari Syeik Jumadil Kubra. Beliau dikaruniai beberapa orang anak. Sebagian besar merupakan pemuka dalam sejarah Islam di Asia Tenggara. Mereka adalah:[2]
- Syamsuddin Isma’il yang memerangi Portugal di Burma tahun 998 H/1589 M.
- Fathul ‘Arifin Abdul Maula yang bergelar Shalahuddin. Dia wafat di Siyam pada tahun 999 H/1581 M.
- Syarif Jadid yang bergelar Mu’tashim Billah. Dia syahid dalam peperangan di negara Cina pada tahun 989 H/1581 M.
- Bashri yang bergelar Najamuddin. Dia wafat dalam kecelakaan kapal laut di dekat wilayah Zolo, Filipina, dan tidak mengetahui kapan ia wafat.
- Dumari Isa yang bergelar Quthbuddin. Dia wafat di wilayah Cina dan kami tidak mengetahui kapan ia wafat.
- Taufiquddin Alwi. Dia wafat di Cina.
- Badruddin Muhammad Ali. Dia wafat di Siyam pada tahun 993 H/1585 M.
- Samiruddin Alwi Al-Akbar. Dia wafat di Anam pada tahun 1001 H/1592 M.
- Nasruddin Yunus. Dia wafat di Sumatra pada tahun 995 H/1586 M. Dia termasuk orang yang memerangi Portugal di Jawa.
Adapun anak keturunan Syeik Jumadil Kubra yang menjadi Ulama di Nusantara, berikut ini berapa di antara mereka yang cukup terkenal:
- Zainal Akbar Ibrahim bin Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein. Dikenal dengan Ibrahim Asmoro atau Syeik Ibrahim as-Samarkandi, di Tuban Jawa Timur.
- Ahamad Rahmatullah (Sunan Ampel) bin Ibrahim bin Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein. Wafat di Surabaya.
- Ibrahim (Sunan Bonang) bin Ahmad Ramatullah. Dimakamkan di Tuban.
- Hasyim (Sunan Drajat) bin Ahmad Rahmatullah. Dimakamkan di sebuah tempat di Tuban.
- Ahmad Jasamuddin (Sunan Lamongan) bin Ahmad Rahmatullah di Lamongan.
- Zainal Abidin (Sunan Demak) bin Ahmad Rahmatullah di Demak.
- Ja’far A-Shodiq (Sunan Kudus) bin Ahmad Rahmatullah di Kudus.
- Maulana Ishaq bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husein. Dimakamkan di Pasai.
- Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Ishaq bin Ibrahim di Giri, Jawa Timur.
- Zainal ‘Alam Barakat bin Jamaluddin Al-Husein. Dimakamkan di Kamboja.
- Malik Ibrahim bin Zainal ‘Alam Barakat. Di Gresik, Jawa Timur.
- Maulana Ali Nurul ‘Alam bin Jamaluddin Al-Husein di tanah Anam (Vietnam sekarang).
- Sulthan Abdullah bin Ali Nurul ‘Alam bin Jamaluddin Al-Husein. Wafat di Kamboja dan dimakamkan di Campa.
- Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bin Abdullah bin Ali Nurul ‘Alam. Dimakamkan di Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat.
- Maulana Hasanuddin bin Hidayatullah bin Abdullah bin Ali Nurul ‘Alam, di Banten.
- Maulana Yusuf bin Hasanuddin di Cirata, Jawa Barat.
- Maulana Manshur (Kramat Cikadawen) di Cikadawen, Banten, Jawa Barat.
- Sultan Abu Al-Fathi Abdul Fatah (Sultan Agung Tirtayasa) di Banten, Jawa Barat.
- Sulthan Abdullah bin Ali Nurul ‘Alam. Dia adalah saudara dari Syarif Hidayatullah diTernate.
- Ali Al-Murthadla bin Ibrahim bin Zainal Akbar bin Jamaluddin Al-Husein di Bagelan, Gresik.
- Tajuddin Abdurrahman Basyiban, saudara ipar Syarif Hidayatullah di Cirebon. Dia meninggalkan keturunan di Magelang, Pekalongan, Pasuruan, dan lain-lain.
- Pangeran Sulaiman bin Tajuddin Abdurrahman di Mojoagung.
- Habibullah ‘Amir ‘Imaduddin (yang bergelar Pangeran Jaya Kelana). Wafat tahun 1059 H/1649 M, dan dimakamkan di dekat Kota Cirebon. Dia adalah putra dari Syarif Hidayatullah.
- Umdatuddin Husein (yang bergelar Pangeran Pasarihan). Dimakamkan dekat dengan ayahnya Hidayatullah di Dowahi, Cirebon.
Selain itu, menurut silsilah nasab yang ditulis atas perintah Tuan Faqih Jalal, disebutkan nasab para sultan Palembang dan keterhubungan para leluhur mereka dengan Sayid Jamaluddin Husein Al-Akbar. Termasuk yang dinisbatkan kepada keluarga ini adalah Haji Ahmad Dahlan, pendiri perserikatan Muhammadiyah di Indonesia, Nasabnya kembali kepada Muhammad ‘Ainul Yaqin. Al-‘Alim Al-Jalil Haji Kholil di Madura, nasabnya kembali kepada Muhammad ‘Ainul Yaqin bin Ishaq. Termasuk yang mempunyai hubungan dengan nasab ini adalah Al-‘Alim As-Sholih Raden Haji Muhammad Thohir. Dia wafat di Bogor pada tahun 1849 M. Kemudian, anaknya yang sholeh dan bertakwa, Raden Suriawinata, yang menjadi bupati Bogor. Dia wafat pada tahun 1879 M. Lalu Raden Haji Ma’mun dan Raden Haji Muhammad Nuh di Cianjur, lahir pada tahun 1292 H/1879 M. Seorang alim yang mempunyai banyak murid dari kalangan bangsawan.[3]
Dari semua uraian di atas, tentu masih banyak pertanyaan dan misteri yang menyelimuti identitas sosok agung yang dikenal sebagai Syeik Jumadil Kubra ini. Untuk menyibaknya diperlukan riset yang lebih intensif dan mendalam oleh para ilmuwan. Tapi dari beberapa informasi seadanya yang sudah kita paparkan, tampak bahwa Syeik Jumadil Kubra, bukan sekedar identitas satu orang, lebih dari itu beliau adalah identitas satu peradaban. Bukan tidak mungkin, inilah salah satu akar tradisi keilmuan, keagamaan, dan kebudayaan agung nusantara. (AL)
Selesai
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, http://id.rodovid.org/wk/Orang:359642, diakses 5 April 2018
[2] Lihat, Muhammad Dhiya Syahab dan Abdullah bin Nuh, Al-Imam Al Huhajir; Ahmad bin ‘Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’fat Ash Shadiq, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Yogyakarta, RausyanFikr Institute, 2013, hal. 70
[3] Lihat, Ibid, hal. 73