Syeikh Abdul Qadir Jaelani

in Tokoh

Nama tokoh ini bagi kebanyakan Muslim tak asing lagi. Apalagi di dunia sufisme dan tarekat, dia dinilai sebagai salah seorang pengembang aliran tarekat Islam, yakni tarekat Qadiriyah, yang kini banyak diikuti Muslim di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Dia adalah Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Beberapa kalangan kerap kali juga menyebut pendiri tarekat Qadiriyah ini sebagai tokoh spiritual yang mencapai derajat wali sehingga banyak cerita atau hikayat yang menempatkan dirinya dalam posisi amat istimewa, luar biasa dan penuh kekeramatan.

Dilahirkan di Gilan atau Jailan di selatan Laut Kaspia, Persia (kini Iran) pada 1 Ramadhan 470 H (1077 M),[1] ia bernama lengkap Abdul Qadir bin Abi Shaleh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailany. [2] Kata “Jailani” di belakang nama Syeikh Qadir tampaknya merujuk pada kampung kelahirannya. Ayahnya bernama Abu Shaleh, seorang yang taat kepada Allah dan memiliki hubungan keturunan dengan Imam Hasan, putra sulung Sayyidina Imam Ali ra (saudara sepupu Nabi SAW) dengan Fatimah, anak perempuan Rasulullah.

Sedangkan ibunya adalah putri Abdullah, Shaumayya, wanita yang begitu taat menjalankan agama, merupakan keturunan Imam Husain, anak Imam Ali dengan Fatimah.[3] Dengan demikian, Syeikh Abdul Qadir, yang di kalangan Muslim Indonesia dikenal dengan sebutan Syeikh Dul Kadir ini adalah anak keturunan Hasan dan Husain, yang secara tak langsung masih memiliki keturunan nasab dengan Rasulullah SAW.

Sejak kecil, Syeikh Dul Kadir dikenal sebagai anak yang pendiam, mempunyai etika dan sopan santun yang tinggi. Di usia dini itu, ia kerap kali termenung dan sangat cenderung kepada dunia mistik (pengalaman keruhanian). Ayahnya wafat pada waktu beliau masih kecil, beliau tumbuh sebagai yatim di bawah asuhan Ibu dan Kakeknya. Sejak kecil terlihat betapa Syeikh Dul Kadir sangat tamak terhadap ilmu dan ingin selalu bersama-sama dengan orang-orang shaleh. Kondisi inilah yang mendorong dirinya di usia muda untuk berkelana ke negeri pusat ilmu kala itu, yakni Baghdad (Irak).

Pada tahun 488 H, atau saat menginjak usia 18 tahun, Syeikh Dul Kadir dikirim ke Baghdad untuk menimba ilmu yang lebih tinggi. Tahun ini betepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hamid Al Ghazali memutuskan untuk meninggalkan tugasnya mengajar di Jamiat Nizhamiah, untuk selanjutnya memilih melakukan uzlah.[4] Di Baghdad, Syeikh Dul Kadir menjadi murid kesayangan Abu Zakaria Tabrezi, rektor Jamiat Nizhamiah, salah satu perguruan tinggi Islam terkemuka saat itu. Delapan tahun menuntut ilmu di perguruan itu, Syeikh Dul Kadir berhasil menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan.

Otaknya yang cerdas dan ingatan yang kuat membuat ia jadi salah satu lulusan terbaik sekolah tersebut. Setelah menguasai perbendaharaan ilmu, Syeikh Dul Kadir tertarik melakukan pelatihan ruhani. Ia pun menjadi murid Syeikh Abu Said Mukhzumi, orang shaleh termasyhur pada masa itu. Tampaknya perpaduan dua perguruan, pemikiran dan ruhani tersebut, membuat Syeikh Dul Kadir mampu menjadi salah seorang ulama yang disegani di Baghdad.

Dalam buku Menyingkap Rahasia Keghaiban Hati disebutkan, sebagian kalangan Muslim saat itu menjuluki dirinya dengan sebutan Ghautsul A’zham (wali Allah yang paling agung). Menurut pemahaman para sufi, “Ghauts” berada di bawah peringkat para nabi dalam derajat keruhanian dan dalam menyampaikan rahmat Allah kepada manusia.

Padahal tokoh ini sebenarnya lebih dari itu. Ia merupakan tokoh yang mampu memadukan syariat (ajaran agama) dan tarekat (spiritualisme) dalam kehidupan sehari-hari. Menengok kehidupannya di abad 11 Masehi yang penuh dengan pertentangan antara spiritualisme ekstrim Mansur Hallaj dan rasionalisme Muktazilah, maka keberhasilannya memadukan keduanya dalam praktik kehidupan merupakan prestasi puncak yang berhasil diraih seorang ulama. Kala itu, dunia Islam penuh dengan kekacauan dan pergolakan. Umat dan para pemimpinnya jatuh dalam dekadensi politik dan moralitas. Zaman emas khalifah Abbasiyah telah lampau. Kekhalifahan Islam jatuh ke tangan khalifah yang lemah, tenggelam dalam kehidupan mewah dan suka berfoya-foya.[5]

Kefasihan Syeikh Dul Kadir dalam bertutur dan kekayaan batin yang dimiliki, membuat setiap ceramah yang dilakukannya mampu menarik massa demikian besar. Tak kurang dari 70-80 ribu massa hadir setiap kali Syeikh Dul Kadir mengadakan pengajian. Tak hanya khayalak ramai hadir dalam setiap pengajiannya, namun juga pembesar bahkan khalifah Abbasiyah sendiri datang hanya untuk mendengarkan setiap ulasan ajaran Islam yang dibawakannya.

Sekolah dan majlis tausiyah Syeikh Dul Kadir ini berada di Baghdad, dan di kenal dengan nama Sekolah al Qadariyah. Sekolah ini pada awalnya didirikan dengan uang pribadi oleh Al Qadhi Abu Sa’id al Makhrami al-Hambali, yang tidak lain adalah guru dari Syeikh Dul Kadir. Di tempat ini pulalah Syeikh Dul Kadir menuntut ilmu, hingga menghabiskan tahun-tahun terakhir belajarnya. Setelah itu, Syeikh Dul Kadir dipercaya membantu gurunya untuk mengajar sampai sang guru wafat. Setelah wafatnya sang guru, para murid dan koleganya sepakat untuk menyerahkan sekolah ini pada Syeikh Dul Kadir.

Di bawah asuhannya, sekolah ini berkembang demikian pesat, hingga ruang-ruang belajar tidak lagi mencukupi kapasitasnya. Orang-orang yang menghadiri majelisnya bukan hanya para pelajar, tapi juga dari masyarakat umum. Melihat situasi sekolah yang sudah begitu sesak, akhirnya para dermawan bersepakat untuk membeli sekolah ini dari para ahli waris Al Qadhi Abu Sa’id al Makhrami. Sekolah ini kemudian direnovasi dan diperluas bangunannya, sehingga bisa menampung lebih banyak jamaah. Hingga sekarang, Sekolah ini masih berdiri tegak di Baghdad.[6]

Hampir selama 40 tahun lamanya, Syeikh Dul Kadir membimbing masyarakat ramai lewat pengajian dan sekolah yang dipimpinnya. Pada usia 91 tahun, ia pun berpulang ke Rahmatullah dengan meninggalkan warisan tak ternilai. Imam Ibnu Rajab juga berkata, “Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah.” Karya-karya yang dihasilkannya cukup banyak, dan masih dikaji hingga hari ini, antara lain Karya karyanya:[7]

  1. Tafsir Al Jilani
  2. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
  3. Futuhul Ghaib.
  4. Al-Fath ar-Rabbani
  5. Jala’ al-Khawathir
  6. Sirr al-Asrar
  7. Asror Al Asror
  8. Malfuzhat
  9. Khamsata “Asyara Maktuban
  10. Ar Rasael
  11. Ad Diwaan
  12. Sholawat wal Aurod
  13. Yawaqitul Hikam
  14. Jalaa al khotir
  15. Amrul muhkam
  16. Usul as Sabaa
  17. Mukhtasar ulumuddin

Setelah wafatnya Syeikh Dul Kadir, putra-putrinya yang berjumlah banyak, meneruskan ajaran dan pelatihan ruhani yang pernah diajarkan Syeikh Dul Kadir. Putra-putranya itulah bersama para muridnya yang akhirnya membentuk tarekat-tarekat dengan sebutan Qadiriyah, menisbatkan pada nama guru dan ayah mereka. Awalnya, tarekat ini berkembang pertama kali di Irak, Syria, Mesir, dan Yaman. Pada tahap berikutnya, tarekat ini menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia. Selain tertua, sampai sekarang tarekat ini dianggap paling banyak mendapat pengikut dibanding tarekat-tarekat lainnya.

Perjalanan panjang Syeikh Dul Kadir baru berakhir ketika atas kehendak Yang Mahakuasa, pendiri tarekat shufiyyah Al Qadiriyah ini dipanggil menghadap Sang Ilahi Rabbi pada 11 Rabiul Awwal 561 H (1166 M). Oleh para pengikutnya, tanggal wafatnya ini selalu dikenang dan mempunyai arti tersendiri. Bahkan di India dan Pakistan, hingga kini, tanggal tersebut dinamai dengan “Jiarwin Sharif.” Wallahualam bi sawab

 

Catatan Kaki :

[1] Dalam pengantar buku Futuhul Ghaib terjemahan Indonesia, tahun lahir beliau adalah 371 H. Lihat, Futuhul Ghaib, M. Navis Rahman & Dedi Slamet Riyadi (Penj), PT. Qaf Media Kreatif, 2016, Hal. 9

[2] Ibnul Imad menyebutkan bahwa nama lengkap syekh ini adalah Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailany. Lihat, Wikipedia, (Syadzarat Adz-Dzahab (4/198) oleh Ibnul Imad Al-Hanbaly).

[3] Nasab Syeh Albdul Wodir dari sang Ibu adalah sebagai berikut : “Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah ‘Atha bin Mahmud bin Kamaluddin Isa bin Abi Jamaluddin bin Abdullah Sami’ Az-Zahid bin Abu Ala’uddin (ﻋﻼﺀﺍﻟﺪﻳﻦﺍﻟﺠﻭﺍﺩ) bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal ‘Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam”. Lihat, Wikipedia, (MA Cassim Razvi dan Siddiq Osman NM: “Syekh Abdul Qadir al-Jailani Pemimpin Para Wali“, halaman 1-4.Yogyakarta : Pustaka Sufi)

[4] Lihat, Futuhul Ghaib, M. Navis Rahman & Dedi Slamet Riyadi (Penj), Op Cit, Hal. 10

[5] Masa akhir dinasti Abbasiyah ini merupakan zaman yang berbeda, tidak saja dalam konfigurasi fisis empirium yang terbentuk dari bangsa-bangsa polyglot dan polietnis, tetapi juga dalam sudut pandang teologis, kendatipun pada umumnya di mana-mana diwarnai oleh semangat Islam yang besar. Mu’tazilah belum takluk oleh Asy’ariyyah. Hanbaliyyah mengalami kebangkitan. Para faqih dan teolog Syi’ah – yang untuk pertama kalinya mendapat dukungan dari dinasti-dinasti yang juga menganut Syiah – mulai merumuskan peraturan-peraturan hukum dan kredo mereka, setelah gaibnya Imam Kedua Belas. Inilah zaman ketika tasawwuf aktif, namun juga zaman ketika tasawwuf mendapat penganiayaan yang giat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh eksekusi atas Al-Hallaj (922 M) dan sufi lainnya. Pada umumnya di Baghdad “kecenderungan ideologis yang dominan adalah kecenderungan konservatisme dan intoleransi”.Lihat, Yamani, “Antara Al Farabi dan Khomaeni; Filsafat Politik Islam”, Bandung, Mizan, 2002, Hal. 52

[6] Lihat, Futuhul Ghaib, M. Navis Rahman & Dedi Slamet Riyadi (Penj), Op Cit, Hal. 17

[7] Lihat, Wikipedia, (MA Cassim Razvi dan Siddiq Osman NM: “Syekh Abdul Qadir al-Jailani Pemimpin Para Wali”, halaman 1-4.Yogyakarta : Pustaka Sufi)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*