“Bila merujuk pada naskah-naskha kuno, tentu kita bisa membangun sebuah narasi tentang sosok bernama Syeikh Syamsuddin Wasil. Tapi bagaimanapun, kita membutuhkan sebuah fakta objektif tentang keberadaan beliau. Salah satunya, melalui bukti arkeologi. Tapi persolannya, bukti arkeologis ini belum mencukupi.”
—Ο—
Menurut Agus Sunyoto, hubungan guru-murid antara Prabu Jayabaya dengan Syeikh Syamsuddin Wasil juga disinggung dalam kakawin Hariwangsa pada epilog yang memaparkan keberadaan Sri Mapanji Jayabaya dengan guru yang juga penasehatnya. Digambarkan bahwa Wisynu telah pulang ke surga tetapi turun kembali ke bumi dalam bentuk Jayabaya pada Zaman Kali untuk menyelamatkan Jawa. Sebagai titisan Wisynu, Sri Mapanji Jayabaya ditemani oleh Agastya yang menitis dalam diri pendeta kepala Brahmin penasehat raja. Lebih jauh Agus Sunyoto mengutip Prof. Dr. Poerbatjaraka dalam Agastya in den Archipel, yang memaparkan hubungan Jayabaya (sebagai titisan Wisynu) dengan gurunya (titisan Agastya) dengan mengutip Kakawin Hariwangsa yang ditulis oleh Mpu Panuluh, yang terjemahannya sebagai berikut:[1]
“Ada sebuah negeri yang indah. Keindahannya laksana dalam impian, disebut Pulau Jawa. Sebuah pulau yang megah / Jawa adakah kitab dari Agastya yang sakti tiada bandingan/ pulau itu sekarang dihinggapi ketakutan sehingga keindahannya lenyap// kemudian berkumpul dewa-dewa bersama Hyang Aswi/ bersama-sama memohon dengan sangat kepada Bhatara Padmanabha/ untuk memperbaiki dan menjaga keindahan pulau tersebut/ Dewa Hari ikut serta pergi ke sana// kini dia telah benar-benar menjadi raja/ yang menyempurnakan lagi kehidupan hamba sahayanya/ dia adalah inkarnasi dari Madhusudana-awatara/ dia termasyur dengan nama Sri Jaya-satru (Jayabaya)//
Agastya yang suci tidak ketinggalan dan buru-buru berinkarnasi/ menjadi bhiksu pandhita-aghikara/ menjadi guru sang raja yang percaya dengan ajarannya/ dia menjadi pejabat tinggi yang dipatuhi di seluruh negeri// raja memerintah di dunia dengan teguh/ semua musuh Sri Naranatha mengelu-elukannya/ disebabkan wibawa sang muni (petapa) yang besar/ yang sangat mendalam pengetahuannya tentang mengatasi bahaya rohani/ dia berhasil menentramkan lagi dunia/ setiap orang berusaha berbuat baik, hidup seperti santri mempelajari kitab suci/ kaum “parasit” yang miskin dan hina dina/mendadak didatangi kegembiraan// apa yang dipikirkan raja dalam hati/ uang berlimpah seperti hujun turun sepanjang tahun/ terwujud dalam kenyataan/ menjadikan raja bersenang-sebang menikmati kebahagiaan/”
Terkait dengan kata “Pandhita” dalam kutipan Kakawin Hariwangsa di atas, Agus Sunyoto menafsirkan bahwa julukan bhiksu dan pandhita dalam tradisi jawa kuno tidak hanya menunjukkan tradisi agama Hindu saja. Ia mencontohkan bahwa wali songo yang datang beberapa ratus tahun setelah Syeikh Syamsuddin Wasil juga dijuluki sebagai Panditha, seperti Syeikh Maulana Malik Ibrahim, Pandhita Ampel (Sunan Ampel), Raja Pandhita Gresik (Ali Murtadho), dan Pandhita Giri (Sunan Giri). [2]
Dalam kerangka ini, bila kita merujuk pada literatur masyarakat, memang terlihat bahwa Prabu Jayabaya memiliki seorang guru yang memahami ilmu perbintangan dan peramalan (nujum), sehingga ia mampu menulis ramalan tentang Nusantara. Tapi terkait dengan siapa guru yang dimaksud, naskah-naskah kuno tidak menyebutkan secara rinci. Kita hanya tau bahwa Maolana Ngali Samsujen yang tersebut dalam Kitab Musyarar, sangat mungkin adalah Syeik Syamsuddin Wasil. Hanya saja, kita belum mendapatkan penjelasan yang cukup memuaskan tentang sosok ini. Mengingat, sosoknya yang sangat tersendiri, dan sangat sulit dikaitkan dengan berbagai kronologi kesejarahan Islam yang ada di Jawa.
Salah satu bukti arkeologis yang dianggap sebagai bukti peninggalan sosok bernama Syeikh Syamsuddin Wasil adalah sebuah makam di daerah Kediri, Jawa Timur. Menurut Agus Sunyoto, Makam Syeikh Syamsuddin Wasil atau Sulaiman Wasil Syamsuddin, termasuk makam islam tertua setelah Fatimah binti Maimun. Makam ini terletak di kompleks makam Setana Gedong, Kediri. Kompleks makam ini terletak di dalam Kota Kediri, tepatnya di pusat kota yang bisa dicapai dari Jalan Dhoho belok ke kanan, masuk kampung Setana Gedong. Komplek pemakaman ini berdiri di atas areal seluas 3 hektar. Di dalamnya terdapat sebuah masjid, pendopo, serta areal pemakaman dimana bersemayam beberapa tokoh penting seperti Sunan Amangkurat Mas III. Di antara makam para tokoh itu, yang menjadi maskot utama adalah makam Mbah Wasil atau Syeikh Syamsuddin Wasil atau Sulaiman Wasil Syamsuddin. Letak makamnya berada di barat laut masjid.[3]
Menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus dalam karyanya berjudul “Inkripsi Islam Tertua di Indonesia”, makam yang dimaksud ini adalah salah satu artefak yang paling misterius. Karena makam ini sangat layak untuk diteliti, namun hampir tidak ada publikasi ilmiah yang menerbitkan penelitian soal makam ini. Satu-satunya penelitian yang pernah cukup intens dilakukan terhadap makam ini adalah hasil survei epigrafi Islam yang dilakukan Louis-Charles Damais. Dalam laporan tersebut, Damais berkomentar ”Di masa yang lebih kini, banyak situs dapat dijadikan pokok penelitian, seumpama Sentana Gedong di Kediri. Di pekuburan ini terdapat makam seorang tokoh yang antara lain disebut sebagai “al-Imam al-Kamil”, yang efitafnya diakhiri dengan keterangan “al-Syafi’i madzhaban al-arabi nisban wa hua tadj al-qudha(t).” Jadi asal usul Arab di sini jelas disebutkan, namun malangnya, tanggalnya hilang.”[4]
Tentang “masa” yang disebut di awal kutipan di atas, perlu diketahui bahwa paragraph sebelumnya membahas sebuah inskripsi bertanggal 1646 Tahun Saka atau 1722 Masehi. Claude Guillot dan Ludvik Kalus mencurigai, apakah Damais menganggap bahwa inskripsi Kediri ini dibuat setelah tahun itu?
Dan menjadi pertanyaan pula bagi kita, bila tanggal dalam efitafnya tidak ada, dari mana munculnya dugaan bahwa tokoh yang bernama Syeikh Syamsuddin Wasil berasal dari abad ke-12 M? Lantas benarkah makam Sentana Gedong adalah pusara Syeikh Syamsuddin Wasil? (AL)
Bersambung…
Syeikh Syamsuddin Wasil (3): Teka Teki Inskripsi Makam Setana Gedong
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 66
[2] Ibid, hal. 67
[3] Ibid, hal. 62
[4] Lihat, Claude Guillot dan Ludvik Kalus, “Inkripsi Islam Tertua di Indonesia”, Jakarta, KPS, 2008, hal. 134