“Berdasarkan hasil penelitian Claude Guillot dan Ludvik Kalus, bila kita meyakini bahwa catatan dalam inskripsi Setana Gedong adalah epigraf atau informasi tentang sosok yang bersemayam dibalik tembok tersebut, bisa dipastikan bahwa sosok itu bukanlah Syeikh Syamsuddin Wasil yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya yang hidup pada abad ke-12.”
—Ο—
Di komplek pemakaman Setana Gedong atau yang berarti “Kuburan Gedung”, terdapat sebuah gapura klasik yang menandai pintu masuk ke dalam sebuah lokasi makam. Di atas gapura tersebut ditulis nama “SYEH ALWASIL SYAMSUDIN”. Di tempat inilah masyarakat meyakini Syeikh Syamsuddin Wasil dikebumikan.
Di dalam makam tersebut, terdapat sebuah lempengan batu empat persegi yang menempel ditembok. Menurut perhitungan Claude Guillot dan Ludvik Kalus, lebarnya 335 mm, dan tinggi 205 mm. Di permukaan lempengan tersebut, terdapat sebuah inskripsi yang terdiri dari tiga bidang empat persegi; satu di atas yang lain, dengan tiap bidang berisi dua baris tulisan mendatar; berarti keseluruhanya ada enam baris. Namun, permukaan lempengan itu rusak pada bidang kedua, di akhir baris pertama dan sisi baris kedua, sedangkan di bidang ketiga hanya tampak beberapa huruf di awal baris pertama serta sekelompok huruf terpisah di paruh kiri baris kedua.[1]
Dalam catatan kaki di bukunya, Claude Guillot dan Ludvik Kalus menduga bahwa perusakan beberapa bagian dari inskripsi tersebut seperti disengaja. Ini terbukti dari pukulan-pukulan yang tampak di sana. Lebih jauh menurutnya, bagian yang rusak itu pernah sengaja dimartil, artinya tulisan itu sengaja dihapus. Dan sangat mungkin dilakukan oleh orang beragama Islam yang paham bahasa Arab, karena para perusak tidak merusak nama Nabi dalam al-hijrah al-nabawiyah setelah tanggalnya. Sejauh ini, inskripsi inilah satu-satunya bukti arkeologis tentang identitas Syeikh Syamsuddin Wasil.[2]
Masih menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus, dalam inskripsi Setana Gedong tersebut ditemukan sejumlah kata yang unik dalam epigraf Arab, seperti kata sifal al-wasil yang digunakan untuk menyifati sebuah kata benda seperti bentuk partisipal al-mustakmil. Kata al-wasil dan al-mustakmil tidak ditemukan dalam thesaurus d’epigraphie Islamque. Namun, kata al-wasil ini dihubungkan oleh masyarakat sebagai istilah yang berhubungan dengan tokoh suci yang dikebumikan di makam Setana Gedong. Sebaliknya, menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus, yang penting dalam inskripsi itu adalah penggunaan kata benda dalam bentuk kasus langsung tiga kali untuk menyatakan keadaan yang berhubungan dengan almarhum: (1) asy-Syafi’i madzhaban (2) al-Abarkuhi, dan (3) al-Bahrayni.[3]
Claude Guillot dan Ludvik Kalus, menafsirkan ketiga kata dalam inskripsi tersebut berhubungan dengan tokoh yang dimakamkan di Setana Gedong. Pertama, kata asy-Syafi’i madzhaban merujuk pada penegasan bahwa tokoh yang terkubur di Setana Gedong itu bermadzhab Syafi’i, suatu hal yang tidak mengherankan di dunia Melayu, tempat Madzhab Syafi’i menjadi madzhab fikih paling dominan. Kedua, kata al-Abarkuhi bisa jadi berhubungan dengan kota Abarquh atau Abarkuh, kota kecil di Iran antara Shiraz dan Yazd. Ketiga, kata al-Bahrayni mungkin berkaitan dengan Kepulauan Bahrain atau juga dapat dihubungkan dengan suku Arab “al-bahraniyun” yang pada masa lampau berkelana di wilayah Irak.[4]
Dengan berbagai kesulitan mengungkap siapa jati diri almarhum yang dikebumikan di Setana Gedong karena rusaknya inskripsi tersebut, Claude Guillot dan Ludvik Kalus menyimpulkan bahwa tokoh yang dijuluki masyarakat dengan Syamsuddin al-Wasil itu adalah seorang ‘alim, yang menjadi mubaligh Kediri. Mereka juga berargumen bahwa kata maqam yang terdapat dalam inskripsi Setana Gedong bukanlah menunjuk kuburan melainkan lebih berhubungan dengan “momen peringatan” yang dibuat lebih belakangan. Alasannya, karena batu lempeng yang menempet ditembok seperti itu, tidak sama dengan epitaf atau catatan nisan lainnya yang ada di Pulau Jawa. Menurutnya, batu lempeng tersebut bisa dipastikan bukan bagian dari sebuah nisan.
Yang perlu juga dicermati dari catatan Claude Guillot dan Ludvik Kalus, adalah mengenai waktu. Salah satu masalah yang paling disesalkan dari keberadaan inskripsi Setana Gedong, adalah hilangnya dua informasi terpenting, yaitu soal nama tokoh yang dimaksud, dan tentang waktu atau tahunnya. Soal nama, mungkin bisa siapa saja. Tapi yang lebih penting adalah informasi tentang sosoknya. Dan ini sudah dijelaskan pada baris-baris yang tidak dirusak pada inskripsi tersebut. Tapi untuk mengkonstruksi sosok ini dalam arus sejarah, maka waktu adalah sesuatu yang wajib.
Menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus, terkait soal waktu, masih terdapat sedikit sisa kerusakan yang bisa dianalisa. Mereka memperkirakan dari sisa kerusakan tersebut, waktu yang tertera pada lempengan tersebut menunjukkan tahun 92X (?) hijriah. Dengan kata lain, kita hanya kehilangan satu dasawarsa kepastian tentang tahun tersebut. Bila kita dikonstruksi bentangan tahun 920 sampai 929 Hijriah, itu sama dengan rentang waktu antara 26 Februari 1514 hingga 9 November 1523 Masehi.[5]
Dengan demikian, bila kita meyakini bahwa catatan dalam inskripsi tersebut adalah epigraf atau informasi tentang sosok yang bersemayam dibalik tembok tersebut, bisa dipastikan bahwa sosok itu bukanlah Syeikh Syamsuddin Wasil yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya yang hidup pada abad ke-12. Ini juga alasan yang membuat Claude Guillot dan Ludvik Kalus akhirnya berkesimpulan bahwa makam tersebut adalah prasasti peringatan sosok penting pada abad ke 16. Dan sosok tersebut sangat berhubungan dengan salah seorang yang snagat dihormati oleh salah satu Wali Songo, yaitu Sunan Kudus. Hipotesa mereka menyebutkan bahwa inskripsi tersebut adalah catatan untuk ayah Sunan Kudus.[6] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Claude Guillot dan Ludvik Kalus, “Inkripsi Islam Tertua di Indonesia”, Jakarta, KPS, 2008, hal. 134
[2] Ibid
[3] Ibid, hal. 138. Lihat juga, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 63
[4] Ibid, hal. 139
[5] Ibid, hal. 142
[6] Ibid, hal. 147