“Salah satu kelebihan yang paling menonjol dari Syehk Hasanuddin adalah suaranya yang sangat merdu ketika melantunkan ayat suci Al Quran. Ini juga asal mula munculnya julukan “Quro” yang bermakna “ahli membaca Al Quran”.
—Ο—
Di Kampung Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, terdapat makam salah satu tokoh penyebar Islam periode awal di Nusantara. Makam ini ditemukan oleh Raden Sumareja (Ayah Jiin) dan Syekh Tolha pada hari Sabtu akhir bulan Sya’ban tahun 1859, dan terletak pada Koordinat : 06° 15′ 101″ S, 107° 28′ 900″ E , atau sekitar 30 kilometer di sebelah timur laut Kota Karawang. Menurut tulisan yang tertera pada panil di depan komplek makam, Nama sosok yang dimakamkan di situ adalah Syekh Qurotul A’in. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama yang juga bernama Syekh Hasanudin. Beliau adalah putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah.[1]
Menurut informasi dari situs resmi Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Barat, Syekh Hasanuddin menginjakkan kaki pertama kali pada tahun pada tahun 1416 dengan menumpang armada Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo (raja ketiga jaman Dinasti Ming). Tujuan utama perjalanan Cheng Ho ke Jawa dalam rangka menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Cina di seberang lautan. Armada tersebut membawa rombongan prajurit 27.800 orang yang salah satunya terdapat seorang ulama yang hendak menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Mengingat Cheng Ho seorang muslim, permintaan Syekh Hasanuddin beserta pengiringnya menumpang kapalnya dikabulkan. Syekh Hasanuddin beserta pengiringnya turun di pelabuhan Karawang, sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan dan berlabuh di Pelabuhan Muara Jati Cirebon. [2] Di Cirebon, Cheng Ho menjalin persahabatan dengan Syahbandar Ki Gedeng Tapa dan membangun menara (mercu suar) di pantai Muara Jati.
Di Karawang, Syehk Hasanuddin menikah dengan seorang gadis bangsawa Karawang bernama Nay Rena Parwati dan mendirikan pesantren sekitar tahun 1418 M, atau sekitar setahun setelah kunjungan Laksamana Cheng Ho yang ke-5 pada 1417 M. Terkait dengan pesantren yang didirikannya ini, disebutkan bahwa letak bekas pesantren Syekh Quro berada di Desa Talagasari, Kecamatan Talagasari, Karawang. Bila benar bahwa persantren tersebut didirikan pada tahun 1418 M, maka bisa dikatakan bahwa ini merupakan pesantren tertua di Pulau Jawa.[3]
Di samping metode dakwahnya yang simpatik memalui ajaran-ajaran Islam yang mudah di pahami, salah satu kelebihan yang paling menonjol dari Syehk Hasanuddin adalah suaranya yang sangat merdu ketika melantunkan ayat suci Al Quran. Ini juga asal mula munculnya julukan “Quro” yang bermakna “ahli membaca Al Quran”. Sehingga dalam waktu sangat cepat, masyarakat berdatangan ke pondok pesantren yang didirikannya untuk menyatakan diri memeluk agama Islam sekaligus mendalami ilmu agama.[4] Dan pesantren yang didirikannya pun kemudian dikenal juga dengan nama “Pondok Quro” yang artinya tempat untuk belajar Al Quran.[5]
Tapi sayangnya, dakwah pertama beliau di Karawang mendapat tentangan dari Prabu Angga Larang, yang tidak lain penguasa Padjajaran kala itu. Pertimbangan untuk melakukan pelarangan ini sebenarnya lebih bersifat strategis ketimbang agama. Menurut Agus Sunyoto, Bandar Karawang tempat berdakwah Syekh Hasanuddin Quro adalah salah satu pelabuhan penting kerajaan Padjajaran, karena selain menjadi jalur utama perniagaan ke pelabuhan Sunda Kelapa, juga menjadi jalur utama persimpangan jalan dari Ibu Kota Pakuan Padjajaran ke Kawali hingga Galuh.[6] Dengan demikian, kegiatan dakwah Syekh Hasanuddin Quro di kawasan strategis tersebut dikhawatirkan mengganggu stabilitas dan kelancaran sirkulasi perdagangan di jalur tersebut.
Prabu Angga Larang kemudian mengirim utusan yang dengan tegas memerintahkan Syekh Hasanuddin Quro untuk menghentikan dakwahnya, dan sesegera mungkin angkat kaki dari tempat tersebut. Mendapat tekanan tekanan demikian dan agar tidak terjadi pertumpahan darah, Syekh Quro mematuhi perintah Prabu Angga Larang. Tapi sebelum meninggalkan tempat itu, Syekh Hasanudin berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Padjajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam”.[7]
Beliau kemudian pergi ke Malaka. Tapi sebelum itu, beliau berpamitan terlebih dahulu pada Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muara Jati, Cirebon, yang juga sahabat dari Laksamana Cheng Ho. Mendengar rencana kepergiannya, Ki Gedeng Tapa kemudian menitipkan putrinya bernama Nyi Subang Larang untuk diajari agama Islam dan ikut bersamanya ke Malaka. (AL)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Lihat, http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=165&lang=id#sthash.nKCRrg8i.dpuf, diakses 27 Juli 2018
[2] Ibid.
[3] Lihat, https://www.viva.co.id/berita/nasional/638748-syekh-quro-pendiri-pesantren-pertama-di-tanah-jawa, dikases 27 Juli 2018
[4] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, Tanggerang Selatan, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 89
[5] Lihat, http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=165&lang=id#sthash.nKCRrg8i.dpuf, Op Cit
[6] Sebagaimana dikutip Agus Sunyoto dari buku Moh. Amir Sutaarga berjudl “Prabu Siliwangi”, jalan darat utama tersebut menghubungkan Ibu Kota Pakuan Padjajaran dengan Cileusi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaherang, Sumedang, Tomo, Sindang Kasih, Raja Galuh, Talaga, Kawali, dank e pusat Kerajaan Galuh Pakuan di sekitar Ciamis dan Bojong Galuh. Lihat, Ibid, hal. 90
[7] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Qurotul_Ain, diakses 27 Juli 2018