Cak Nur (Nurcholis Madjid) dalam buku Indonesia Kita, mengartikan mudik sebagai “kembali ke udik.” Udik adalah istilah lain dari kampung. Maka mudik pun kemudian diartikan sebagai hijrahnya seseorang dari satu tempat di rantau, kembali ke tempat asal atau kampung halaman, yang merupakan tanah kelahirannya.
Sampai di sini, sebenarnya tak ada yang luar biasa dari peristiwa mudik. Karena kapan pun kita (terutama yang tinggal jauh di perantauan) inginkan, maka mudik pun dapat dilakukan, bukan hanya saat menjelang Lebaran sebagaimana yang selama ini kita kenal dan terjadi sebagai sebuah tradisi unik di negeri kita.
Mudik Lebaran
Kenapa unik? Karena belakangan, mudik menjadi lebih sempit maknanya hanya sebatas peristiwa yang waktu pelaksanaannya terjadi pada saat Lebaran atau Hari Raya keagamaan saja. Di sisi lain, mudik menjadi unik karena saat peristiwa ini terjadi, begitu banyak sumber daya negeri yang dikerahkan untuk sekadar melayani para pelaku mudik atau pemudik.
Inilah momen akbar saat sektor perhubungan, perdagangan, hingga aparat keamanan dan pihak swasta bekerjasama serentak dengan kapasitas tinggi, saat puluhan juta orang melakukan migrasi secara massif dan serempak, dari kota ke desa.
Coba bayangkan, pernahkah ada tradisi serupa di negara lain ketika hanya dalam hitungan hari jutaan orang melintas batas kota hingga pulau? Saat itulah tak hanya ada perpindahan orang, melainkan juga kendaraan, barang dan uang dalam jumlah besar. Fenomena tahunan yang hingga kini telah menjadi bagian dari corak tradisi khas Indonesia.
Mengapa hampir semua orang perantauan cenderung bersemangat untuk mudik? Bukankah perjalanan mudik seringkali bukan merupakan hal yang ringan untuk dilakukan? Untuk sekali mudik, selain perlu persiapan fisik dan mental yang prima, tentu juga butuh biaya yang tak sedikit jumlahnya.
Apa sebab banyak orang yang kadang rela menghabiskan uang tabungan selama setahun di perantauan hanya untuk bisa merasakan atmosfir Lebaran di kampung halaman kurang lebih seminggu-dua minggu saja?
Karena secara sederhana, mudik dianggap sebagai ajang pelepasan rindu kepada sanak keluarga yang sudah lama ditinggalkan. Mudik juga merupakan kesempatan dan ajang saling maaf-memaafkan berbagai kesalahan dan sarana memperkuat dan meneguhkan kembali rasa persaudaraan antar sesama, terutama di antara kerabat dan keluarga dekat.
Dengan mudik, dahaga kerinduan itu dapat terobati. Dengan mudik, ikatan kasih sayang, jalinan kekeluargaan yang mungkin pernah terputus, menjadi lebih mudah terjalin kembali bahkan lebih erat dan sakral daripada sebelumnya.
Maka tak mengherankan bila bagi sebagian besar dari kita, mudik Lebaran sudah menjadi semacam ritual dan kewajiban moral yang wajib ditunaikan. Jika tidak, maka akan serasa ada sesuatu yang kurang dalam merayakan momen kemenangan pasca Ramadan.
Selain itu, mungkin juga karena ada yang beranggapan bahwa dalam konteks tradisi masyarakat Indonesia khususnya pada hari-hari terakhir bulan suci Ramadan dan menjelang Hari Raya Kemenangan, mudik menyimpan kekayaan makna dan kearifan lokal, di samping semata euforia kebahagiaan saat berkumpul kembali bersama keluarga dan sanak saudara.
Serasa ada dimensi spiritual, sosial budaya, dan moral di balik peristiwa itu dikarenakan efek resonansi dari mudik di waktu-waktu tertentu seperti bulan ini jauh lebih besar ketimbang hari-hari biasa lainnya.
Jadi apa yang perlu kita renungkan secara mendalam terkait makna mudik?
Pertama, mudik berarti kembali ke kampung halaman. Kampung halaman adalah tempat seseorang lahir dan dibesarkan. Di kampung halaman itulah watak dan karakter awal setiap dari kita dibentuk untuk menghadapi masa depan. Di tempat ini pula masing-masing dari kita paling potensial menyerap kearifan lokal yang mungkin bermanfaat bagi pergaulan dalam kehidupan sehari-hari kita jika suatu saat kita berada di perantauan.
Maka dengan mudik dan kembali ke tempat strategis ini, khususnya pada momen istimewa yang dianggap sakral, diharapkan dapat kembali menumbuhkan nilai-nilai kearifan lokal yang tak mustahil kadang layu dari kepribadian seseorang sebagai dampak pergaulan dan pergumulannya dalam waktu lama dengan budaya metropolitan.
Kedua, kita juga dapat memetik hikmah lain terkait mudik, jika kita dapat ibaratkan seperti halnya mudik yang kita lakukan menjelang Lebaran, setiap manusia pun jika sudah sampai pada waktunya, tidak bisa tidak akan juga “mudik” dan “kembali” kepada Tuhan.
Dalam makna inilah, sebagaimana mudik biasa yang memerlukan bekal dan persiapan yang tak sedikit setidaknya sekali dalam setahun, maka “mudik” ke “kampung akhirat” untuk selamanya ini pun sudah barang tentu mesti dipersiapkan bahkan dengan lebih serius dan lebih matang. (EH)