“Wayang memiliki beberapa pengertian dan periode sejarah yang panjang, menunjukan bahwa ia memiliki kekayaan makna falsafah serta telah melewati perjalanan sejarah bangsa Indonesia”
—Ο—
Terdapat beberapa versi mengenai pengertian wayang. Menurut Amir Mertosedono dalam bahasa Jawa perkataan wayang berarti Wayangan (layangan). Dalam bahasa Indonesia berarti bayang-bayang, samar-samar, dan tidak jelas. Dalam bahasa Aceh berarti bayang artinya wayangan. Sedangkan dalam bahasa Bugis berarti wayang atau bayang-bayang.[1]
Sedangkan menurut A. Kardiyat Wiharyanto, istilah wayang berasal dari bahasa jawa yang berasal dari kata wayangan atau wayang-wayang (dalam bahasa Indonesia disebut bayangan atau bayang-bayang). Bila dirunut dari akar katanya, wayang berarti bayang berasal dari kata Yang. Arti kata Yang itu sendiri adalah selalu bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata Yang selanjutnya mendapat awalan Wa sehinga kata keseluruhannya menjadi wayang. Wayang yang arti harfiahnya sama dengan bayangan, secara lebih luar mengandung pengertian bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain atau bergerak kesana-kemari, tidak tetap atau sayup-sayup dari substansi yang sebenarnya.[2]
Menurut Bambang Sugito, lebih khusus menjelaskan tentang wayang kulit yaitu suatu bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan menggunakan gambar boneka atau semacamnya dari kulit sebagai alat pertunjukan dengan diiringi musik yang telah ditentukan.[3]
Pengertian wayang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah boneka tiruan dan sebagainya yang terbuat dari patahan atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukan drama tradisional biasanya dimainkan oleh seorang dalang.[4]
Secara harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dengan sandiwara atau film dimana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang dikenal dengan dalang, yang peranannya dapat mendominasi pertunjukan seperti dalam wayang Purwa di Jawa, wayang Purwa atau wayang Ramayana di Bali dan wayang Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.[5]
Pangertian lain tentang wayang adalah Wahulang Inukir (kulit yang diukiur) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud adalah wayang kulit seperti yang kita kenal sekarang. Pengertian ini pun akhirnya meluas menjadi segala bentuk pertunjukan yang menggunakan dalang sebagai penuturnya. Oleh karena itu terdapat wayang golek, wayang beber, dan lain-lain. Pengecualian terhadap wayang orang yang tiap boneka wayang tersebut diperankan oleh aktor dan aktris sehingga menyerupai pertunjukan drama.[6]
Wayang mengalami perkembangannya melalui beberapa zaman. Di zaman prasejarah sebelum orang-orang Hindu datang, alam fikiran nenek moyang kita yang masih sangat sederhana mempercayai bahwa roh yang sudah mati masih tinggal di sekelilingnya. Roh itu dianggap sebagai pelindung dan dapat didatangkan. Kedatangannya diharapkan dapat memberikan berkah kepada yang masih hidup. Harapan-harapan inilah yang mendorong orang menghasilkan pembuatan bayangan arwah nenek moyang mereka yang telah mati. Kemudian mereka mengadakan pertunjukan bayangan untuk melihat roh nenek moyang. Pada zaman ini wayang berfungsi sebagai hal yang bersifat magis, mitos dan religius. Isi ceritanya tentang nenek moyang, kepahlawanan dan petualangannya. Diceritakan oleh orang sakti dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno Murni.[7]
Zaman kedua pada zaman Mataram I (400 M – 929 M), dimana wayang tidak hanya berfungsi magis, mitos dan religius, akan tetapi sudah berkembang sebagai alat pendidikan dan komunikasi. Isi cerita diambil dari epos Ramayana dan Mahabrata versi Indonesia yang bercampur mitos kuni tradisional. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Kawi. Zaman selanjutnya adalah zaman Jawa Timur (929 M – 1478 M), pada zaman ini pertunjukan wayang kulit sudah mencapai bentuk yang menarik. Bahasa yang digunakan adalah percampuran bahasa Sangsakerta dan Jawa Kuno.[8]
Setelah zaman Jawa Timur barulah wayang memasuki zaman Islam (1478 M – 1945 M), wayang pada masa ini telah berfungsi sebagai alat dakwah, penerangan, pendidikan, hiburan, sumber sastra dan budaya. Isi ceritanya diambil dari Babad, yaitu percampuran Ramayana dan Mahabrata versi Indonesia secara Islami. Bentuk wayang pun mengalami perubahan. Pertunjukan wayang dipimpin oleh kyai sebagai dalang. Masa terakhir dari wayang adalah zaman Indonesia merdeka (1945 M – sekarang), dimana wayang berfungsi sebagai hiburan, unsur budaya dan kesenian, pendidikan, simbolis, dan filosofi. Wayang juga dimainkan oleh pemuka adat, mahasiswa, pegawai dan lain sebagainya.[9] (SI)
Bersambung…
Wayang Dalam Dakwah Islam Di Nusantara (3) : Periode Islam dan Walisongo
Sebelumnya:
Wayang Dalam Dakwah Islam Di Nusantara (1) : Sejarah Wayang (1)
Catatan kaki :
[1] Lihat, Mertosedono, Sejarah Wayang, Dahara Prize, Semarang, 1993, hal 28
[2] Lihat, A. Kardiyat Wihayatno, Mengapa Wayang Diciptakan, Harian umum Kompas edisi sabtu 10 Januari 2009, hal B
[3] Lihat, Bambang Sugito, Dakwah Islam Melalui Media Wayang Kulit, Aneka, Solo, 1992, hal 31
[4] Lihat, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/wayang
[5] Lihat, Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, UI Press, Jakarta, 1988, hal 11
[6] Lihat, Sri Mulyono, Wayang Asal-Usul Filsafat dan Masa Depannya, Gunung Agung, Jakarta, 1982, hal 154
[7] Lihat, Ibid, hal 296-299
[8] Lihat, Ibid, hal 300-302
[9] Lihat, Ibid,hal 304