Wayang Dalam Dakwah Islam Di Nusantara (3) : Periode Islam dan Walisongo

in Islam Nusantara

Last updated on January 5th, 2018 01:08 pm

“Di masa lalu para ulama dan para wali  melakukan pendekatan akulturasi melalui media dakwah yang telah menjadi warisan budaya leluhur Indonesia, dan wayang pun dijadikan media dakwah oleh Walisongo di Jawa pada zaman kedatangan Islam”

—Ο—

 

Dakwah yang dilakukan para pembawa ajaran Islam yaitu dengan memadukan budaya yang sudah ada dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam. Sehingga Islam tidak menghilangkan susunan budaya asli yang sudah melekat pada tatanan masyarakat Jawa, melainkan Islam datang untuk membenahi ajaran-ajaran yang sudah ada. Adapun beberapa budaya masyarakat Jawa yang berhasil dipadukan dengan ajaran Islam diantaranya adalah upacara Selametan yang berkaitan dengan orang mati pada hati ketiga, ketujuh dan hari keempat puluh yang di dalamnya sudah terdapat lafal-lafal Allah dan wirid-wirid Islam lainnya. Dengan adanya perpaduan ini tradisi lama otomatis sudah mendapatkan label Islam. Demikian pula upacara Selametan Akbar yang dilaksanakan oleh sultan, dengan nama gunungan dalam upacara Grebeg Maulud, Grebeg Syawal dan Grebeg Besar, disamping mendapat cap Islam, upacara tersebut juga ditujukan untuk merayakan hari besar Islam.

Upacara Gerebeg Syawal. Sumber Gambar : life.108jakarta.com

Dengan kedatangan agama Islam di tanah Jawa telah menimbulkan perubahan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya toleransi dan akulturasi. Wayang sejak zaman dahulu dimaknai sebagai sumber ilham dan penggambaran wujud tokoh serta cerita, sehingga menggambarkan dengan jelas batin si penggambar (dalang).[1]

Di masa lalu para ulama dan para wali  melakukan pendekatan akulturasi melalui media dakwah yang telah menjadi warisan budaya leluhur Indonesia, sehingga proses tersebut berjalan begitu harmonis.[2] Wayang pun dijadikan media dakwah oleh Walisongo di Jawa pada zaman kedatangan Islam.[3]

Wayang mengalami perkembangan pesat, mengalami berbagai transformasi dalam aspek visual, dan aspek pendukung lainnya seperti karawitan, sastra dan sebagainya. Perkembangan ini melibatkan peranan dan pengaruh para ulama sufi dan pihak penguasa lokal yang telah memeluk Islam.  Bahkan Walisongo terlibat intensif dalam perkembangan ini. Terutama Sunan Kalijaga dan putranya Sunan Panggung.[4]

Mereka berupaya untuk mendiplomasikan antara seni wayang yang berbau non-Islam dengan ajaran Islam. Berkat peranan mereka, seni wayang terutama wayang kulit oleh sebagian pihak dimaknai mengandung ajaran Islam (tarekat) dalam setiap aspeknya, meskipun masih berkisah tentang epik-epik India Hindu-Budha.[5] Para ulama sufi seakan siap untuk menjaga kesinambungan dengan masa lalu, dan menggunakan pemahaman dan unsur-unsur budaya pra-Islam ke dalam konteks Islam. Tampaknya diplomasi ini memang merupakan suatu bagian dari strategi kebudayaan untuk jangka panjang ke depan.

Para wali melihat wayang bisa menjadi media penyebaran Islam yang sangat bagus. Namun timbul perdebatan diantara para wali mengenai bentuk wayang yang menyerupai manusia. Setelah berembuk, akhirnya mereka menemukan kesepakatan untuk menggunakan wayang sebagai media dakwah tetapi bentuknya harus dirubah.

Bentuk baru yang diciptakan dibuat dari kulit kerbau dengan wajah yang digambarkan miring, leher yang panjang, serta tangan yang dibuat memanjang sampai ke kaki. Bentuk bagian-bagian wajah pun dibuat berbeda dengan wajah manusia. Tak hanya bentuknya saja, ajaran-ajaran dan pesan moral Islam banyak disisipkan dalam cerita dan pemaknaan wayang. Seperti contoh dalam lakon Bima Suci, dimana Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan meyakini adanya Tuhan yang Maha Esa. Tuhan yang Maha Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Dengan keyakinannya itu, Bima mengajarkan kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang wajibnya menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil dan bertatakrama dengan sesama manusia.[6]

Sosok Bima dalam pewayangan. sumber gambar: luk.staff.ugm.ac.id

 

Sosok Janaka dalam pewayangan. sumber gambar:.pitoyo.com

Walisongo mengadopsi kisah-kisah dari kitab Mahabarata dan Ramayana yang merupakan bagian dari kitab suci Hindu dan memasukkan unsur nilai-nilai Islam dalam plot cerita tersebut. Bahkan, wayang pun dikonstruksi ulang dengan memasukkan teologi Islam sebagai pengganti teologi Hindu. Pada prinsipnya, Walisongo mengadopsi instrument budaya wayang dan memasukkan nilai-nilai Islam untuk menggantikan filsafat dan teologi Hindu serta Budha yang terdapat di dalamnya.

Sebagai contoh, Walisongo memodifikasi makna konsep “Jimat Kalimah Shada” yang asalnya berarti “Jimat Kali Maha Usada” yang bernuansa teologi Hindu menjadi bermakna ”azimah kalimat syahadah”. Frase yang terakhir merupakan pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Keyakinan tersebut merupakan spirit hidup dan penyelamat bagi kehidupan setiap orang. Dalam cerita pewayangan, Walisongo tetap menggunakan terma tersebut untuk mempersonifikasi senjata terampuh bagi manusia. Hanya saja, jika perspektif Hindu, jimat tersebut diwujudkan dalam bentuk benda simbolik yang dianggap sebagai pemberian Dewa, maka Walisongo mendesakralisasi formula tersebut sehingga sekedar sebagai pernyataan tentang keyakinan terhadap Allah dan Rasulnya.

Dalam perspektif Islam, kalimah syahadah tersebut sebagai “kunci surga” yang berarti sebagai formula yang akan mengantarkan manusia menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Maksudnya, “syahadat” tersebut dalam perspektif Muslim mempunyai kekuatan spiritual bagi yang mengucapkannya. Hal ini merupakan pernyataan seorang Muslim untuk hidup teguh memegangi prinsip-prinsip Islam sehingga meraih kesukesan hidup di dunia dan akhirat. Pemaknaan tersebut tidak akan mengubah pakem cerita, tetapi justru membangun nilai-nilai Islam dalam cerita pewayangan.[7](SI)

Bersambung…

Wayang Dalam Dakwah Islam Di Nusantara (4) : Peran dan Sejarah Sunan Kalijaga (1)

Sebelumnya:

Wayang Dalam Dakwah Islam Di Nusantara (2) : Sejarah Wayang (2)

Catatan kaki :

[1] Lihat, Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, hal 22

[2] Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 203

[3] Lihat, Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang, CV. Mulia Sari, Jakarta, 1991, hal 16

[4] Lihat, A. Djajasoebrata, Shadow Theatre in Java: Puppets, Performance & Repertoire, The Pepin Press, Amsterdam, 1999, hal 79

[5] Lihat, R. Hardjowirogo, Sedjarah Wajang Purwa, Balai Pustaka, Jakarta, 1953, hal 20-25

[6] Lihat, Sujawi Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan, Dahara Prize, Semarang, 1993, hal 26

[7] Lihat, Sudarto,Interelasi Nilai Jawa dalam Pewayangan” dalam Darori Amin, Interelasi Nilai Jawa dalam Pewayangan, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hal 179-183

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*