“Salah satu wali dalam Walisongo yang aktif berdakwah menggunakan media wayang adalah Sunan Kalijaga, ia mengenalkan Islam kepada penduduk lewat pertunjukan wayang yang sangat digemari oleh masyarakat yang masih menganut kepercayaan lain”
–O–
Walisongo menggunakan kesenian wayang untuk membangun kontruksi sosial, yakni membangun masyarakat yang beradab dan berbudaya. Untuk membangun arah yang berbeda dari pakem asli pewayangan, Walisongo menambahkan dalam cerita pakem pewayangan dengan plot yang berisi visi sosial masyarakat Islam, baik dari sistem pemerintahan, hubungan bertetangga, hingga pola kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi. Untuk tujuan tersebut, Walisongo bahkan memunculkan figur-figur baru yang sebenarnya tidak ada dalam kisah asli Mahabrata maupun Ramayana. Figur yang paling dikenal luas adalah Punakawan yang berarti mentor yang bijak bagi para Pandawa. Walisongo banyak memperkenalkan ajaran-ajaran Islam melalui plot cerita yang dibangun berdasarkan perilaku Punakawan tersebut.
Nama-nama Punakawan sendiri (Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong) sebagai satu kesatuan sebenarnya merepresentasikan karakteristik kepribadian Muslim yang ideal. Semar, sebagaimana dijelaskan Sudarto, berasal dari kata ismar yang berarti seorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis. Ia sebagai representasi seorang mentor yang baik bagi kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum. Nala Gareng berasa dari kata nala qarin yang berarti seorang yang mempunyai banyak teman. Ia merupakan representasi dari orang yang supel, tidak egois, dan berkepribadian menyenangkan sehingga ia mempunyai banyak teman. Petruk merupakan kependekan dari frase fatruk ma siwa Allah yang berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya kepada Tuhan. Ia merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi dengan dasar kecintaan kepada Tuhan. Bagong berasal dari kata bagha yang berarti menolak segala hal yang bersifat buruk atau jaha, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam masyarakat.[1]
Karakter-karakter Punakawan tersebut cukup merepresentasikan aspirasi Walisongo tentang kepribadian seorang muslim dengan segala macam kedudukannya. Seorang muslim harus bersifat kuat kepribadiannya, berperilaku bijaksana, bersandar pada Tuhan, bersosialisasi dengan baik, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, memberantas kemungkaran, dan lain sebagainya, yang pada prinsipnya seorang muslim harus mampu membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia, Tuhan dan Alam semesta.
Salah satu wali dalam Walisongo yang aktif berdakwah menggunakan media wayang adalah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sering mengenalkan Islam kepada penduduk lewat pertunjukan wayang yang sangat digemari oleh masyarakat yang masih menganut kepercayaan lain. Dengan kemampuannya yang menakjubkan sebagai dalang yang ahli memainkan wayang, Sunan Kalijaga dikenal ketika dakwah sebagai dalang yang menggunakan nama samaran.[2]
Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Mengenai asal-usulnya, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga masih keturunan Arab. Tapi banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah. Sedangkan menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias Abdul Rahman berhasil mengislamkan Aria Dikara, dan mengawaini putrinya. Versi Cina menyebut bahwa waktu kecil Raden Sahid juga bernama Syekh Melaya karena ia putra Tumenggung Melayukusuma berasal dari Negeri Atas Angin di seberang, anak seorang ulama. Setelah tiba di Jawa, Melayukusuma diangkat menjadi Adipati Tuban oleh Prabu Brawijaya dengan nama Temanggung Wilatikta.[3] Diduga bahwa Melayukusuma bukan anak Arya Teja II, melainkan menantunya. Jadi Retno Dumilahlah yang merupakan putra Adipati Tuban keturunan Arya Adikara atau Ranggalawe.
Dari perkawinan ini ia memiliki putra Aria Wilatika. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari penguasa Islam di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Walatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I (Abdul Rahman) memiliki Silsilah dengan Ibnu Abbas, Paman Muhammad.[4]
Ia merupakan ulama yang sakti dan cerdas, nama kecilnya Raden Sahid, merupakan putra dari Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban yang sudah menganut agama Islam, namanya berubah menjadi Raden Sahur atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Wilatikta. Ia menikah dengan Dewi Nawangrum, dari pernikahannya tersebut lahirlah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1430-an. Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Sarah, yang merupakan adik dari Sunan Gunung Jati. Dari perkawinan tersebut Sunan Kalijaga dan Dewi Sarah dikaruniai tiga orang anak yaitu Raden Said (Sunan Muria), Dewi Ruqiiyah dan Dewi Shofiyah.[5]
Terdapat beberapa versi mengenai masa muda Sunan Kalijaga. Versi pertama mengatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan pencuri dan perampok harta milik kerajaan dan orang-orang kaya yang pelit. Hasil dari rampokannya itu ia bagikan kepada rakyat jelata yang miskin dan terlantar. Versi lainnya mengatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan seorang perampok dan pembunuh yang jahat. Jalan hidupnya terangkum dalam naskah-naskah kuno Jawa. Menurut sejarah, Sunan Kalijaga diusir oleh keluarganya dari kerajaan karena diketahui telah merampok. Setelah itu, ia berkeliaran dan berkelana tanpa tujuan yang jelas hingga kemudian menetap di hutan Jatiwangi sebagai seorang berandal dan suka merampok.[6] (SI)
Bersambung…
Wayang Dalam Dakwah Islam Di Nusantara (5) : Peran dan Sejarah Sunan Kalijaga (2)
Sebelumnya:
Wayang Dalam Dakwah Islam Di Nusantara (3) : Periode Islam dan Walisongo
Catatan kaki:
[1] Lihat, Abdurahman Mas’ud, “The Religion of Pesantren” dalam International Conference on Religious Harmony: Problem, Practice, and Education in Yogyakarta-Semarang pada 27 September- 3 Oktober 2004 yang diselenggarakan oleh International Association for History of Religion (IAHR).
[2] Lihat, Th. G. Th. Pigeaud, Jawaansche Volkvertoningen. Bijdrage tot de Beschrijving van land en Volk, 1938
[3] Lihat, Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Jakarta, 2003, hal 30
[4] Lihat, Rian Saadila, Biografi Sunan Kalijaga,STIE Ahmad Dahlan, Jakarta, hal 3
[5] Lihat, Agus Wahyudi, Makfirat Jawa, Jakarta, 2003, hal 18
[6] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kalijaga