Weltanschauung

in Studi Islam

“Weltanschauung atau pandangan-dunia, secara umum dapat dibagi dua; pandangan dunia profetik yang bersifat spiritual, dan pandangan dunia positivis yang bersifat fisikal-material”

 —Ο—

 

Tidak sulit untuk membuktikan bahwa makna kehidupan amat bergantung pada pola pikir. Pola pikir ini lazim disebut dengan pandangan dunia, Weltanschauung Atau jahan-bini. Secara sederhana, pandangan dunia adalah kerangka yang kita buat untuk melihat dunia dan berbagai kejadian yang menyertainya. Berbagai kejadian peristiwa kita beri makna dalam kerangka ini. Kerangka pandangan dunia ini mirip dengan sebuah skenario yang kita tulis untuk meletakkan setiap kejadian dan fenomena dalam alur cerita yang runut dan congruent.

Tanpa keruntutan ini, berbagai kejadian dan fenomena alam akan tampak kacau-balau, membingungkan, dan tak bermakna. Tanpa pandangan dunia yang runut, pemahaman kita tentang dunia akan menjadi kabur; berbagai peristiwa akan tampak berdiri sendiri-sendiri, tak saling berhubungan, dan karena itu tidak bisa dimaknai dengan utuh. Orang seperti ini sebenarnya sudah bisa dikatakan menderita suatu psikosis yang disebut dengan schizophrenia.

Pandangan dunia akan mempengaruhi perilaku dan sikap, pilihan dan tujuan hidup seseorang. Perilaku, sikap, pilihan dan tujuan hidup, pada gilirannya, akan membentuk tipe kepribadian seseorang. Berkenaan dengan tipe kepribadian itu, Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada Kumail bin Ziyad sebagai berikut:

Wahai Kumail..! ada tiga tipe manusia di dunia ini; Rabbani yang berilmu;[1] Orang yang senantiasa belajar dan selalu berusaha agar berada di jalan keselamatan; Atau – selebihnya – adalah orang-orang awam yang bodoh dan picik, yang mengikuti semua suara – yang benar maupun yang batil – dan bergoyang bersama setiap angin yang berhembus, tiada bersuluh dengan cahaya ilmu dan melindungkan diri dengan pegangan yang kukuh-kuat.”[2]

Dari ketiga tipe manusia ini, kita menemukan bahwa tipe yang pertama adalah para penempuh jalan spiritual atau sufi; tipe kedua adalah pelajar di jalan menuju keselamatan (atau orang religius); dan tipe ketiga adalah kebanyakan orang yang tidak atau kurang mempedulikan kehidupan ruhani. Kita menemukan jalan hidup yang diambil oleh tipe manusia yang pertama dan ketiga amatlah berbeda, sementara perbedaan antara yang pertama dan kedua hanya pada derajat.

Salah satu perbedaan antara sufi dan “orang kebanyakan” adalah titik pijak (stand point) sufi dalam melihat realitas kehidupan di dunia ini. Sufi beranjak dari ketidakpastian umur (panjang-pendek usia) manusia dan kepastian (datangnya) ajal atau kematian. Karenanya, logis dan bijaksana bila lantas mereka bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri untuk sesuatu yang pasti (kematian) tersebut. Memanfaatkan bahkan juga mengorbankan sesuatu yang tidak pasti (umur) untuk kebaikan sesuatu yang pasti adalah tindakan yang dibenarkan oleh akal sehat. Sebaliknya, menikmati durasi kehidupan yang tidak pasti dengan cara melupakan yang pasti adalah tindakan yang sia-sia. Maka itu, segenap potensi kehidupan patut dikerahkan untuk “memastikan” bahwa kelak ia akan menjemput ajal itu dengan senyum lega dan puas.

Di sisi lain, orang pada umumnya lupa pada kepastian ajal. Yang selalu diingatnya adalah kehidupan dan bagaimana membuatnya berjalan dengan penuh kenikmatan dan kenyamanan. Entah bagaimana ia mendapatkan semua keinginannya itu, yang penting baginya adalah kehidupan ini bisa dilalui dengan penuh kepuasan (yang tentunya semu semua). Hasrat-hasratnya yang sudah bercampur dengan berbagai unsur imajinatif dan fantastik itu begitu rupa membuatnya merasa aman dengan yang tidak pasti, sekalipun untuk itu ia harus mengorbankan sesuatu yang pasti akan terjadi (kematian). Sama seperti halnya sufi, orang yang demikian ini juga akan mengerahkan segenap potensinya demi kehidupan yang tidak menentu ini.

Kedua pandangan dunia ini lalu mengembangkan peradaban masing-masing. Yang pertama mengembangkan peradaban yang boleh jadi miskin secara material dan berpenampilan lemah, tapi kaya dan kuat secara spiritual. Sebaliknya, yang kedua mengembangkan peradaban yang tampak megah-mewah tetapi kering-kerontang dalamnya.

Jenis-jenis pengetahuan dan “teknologi” yang berbeda-beda pun mempunyai pengikutnya sendiri-sendiri. Ada Renaisans yang memicu revolusi industri, imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme. Revolusi industri melahirkan terobosan-terobosan dalam bidang sains dan teknologi yang mencengangkan, terutama dalam bidang teknologi pembunuh massal. Dengan bekal teknologi ini kebudayaan imperial dan kolonial merambahi planet bumi. Tidak mustahil, seperti yang berkembang dalam wacana science-fiction mereka, pada suatu saat nanti planet-planet lain pun akan dirambahinya.

Artikel terkait:

Kematian Manusia: Sebuah Karikatur

Sementara itu, di sisi lain, ada peradaban profetik yang berupaya menghidupkan potensi-potensi spiritual manusia, tanpa harus mengucilkan diri dari dunia. Bagi peradaban ini, kemajuan manusia tak bersifat fisikal-material. Karena itu, semua pengetahuan dan “teknologi” yang dihasilkan oleh peradaban ini tidak untuk menciptakan individu yang kaya dan jaya secara material, melainkan individu yang kaya dan jaya secara spiritual dan batin.

Kedua peradaban ini menelurkan pelbagai “produk” yang berbeda, untuk tujuan yang berbeda pula. Misalnya, produk-produk saintifik yang dihasilkan oleh peradaban positivis ini tidak lain kecuali untuk pengembangan dan pembangunan kehidupan fisik-material manusia. Sebaliknya, peradaban profetik melahirkan berbagai produk saintifik yang bisa berperan untuk pengembangan dan pembangunan kehidupan spiritual manusia. Bagitu pula halnya dengan berbagai produk penelitian, pendidikan, hukum, pemerintahan, dan lain sebagainya yang dihasilkan oleh kedua peradaban ini.

Dalam lanjutan nasehat untuk Kumail tersebut, Imam Ali lebih jauh memaparkan konsekuensi-konsekuensi dari masing-masing peradaban tersebut:

Wahai Kumail, ilmu adalah lebih utama daripada harta. Ilmu menjagamu, sedangkan kau harus menjaga hartamu. Harta akan berkurang bila kau nafkahkan, sedangkan ilmu bertambah subur bila kau nafkahkan. Demikian pula budi yang ditimbulkan harta akan hilang dengan hilangnya harta…

Wahai Kumail, kaum penumpuk harta-benda telah “mati” di masa hidupnya, sedang orang-orang berilmu tetap “hidup” sepanjang masa. Sosok tubuh mereka hilang, namun kenangan kepada mereka tetap di hati.[3] (MK)

 

Catatan kaki:

[1] Rabbaniy ialah seorang yang benar-benar mengenal Tuhannya dan selalu taat kepada-Nya, sehingga ia memperoleh karunia hikmah dan makrifat dari-Nya.

[2] Imam Ali, Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan, 1993, Hal. 35

[3] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*