Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, atau lebih terkenal dengan nama Al-Ghazali, lahir sekitar tahun 1058 M di kota Tus, Persia, di Khurasan, yang sekarang merupakan provinsi paling timur laut di Iran. Secara historis, kota ini terbentang sampai ke Afghanistan, dan negara-negara pusat Asia modern seperti Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.[1]
Dari sejak muda, dia sudah membuat karya-karya yang sampai hari ini bahkan masih dijadikan bahan rujukan oleh banyak ulama. Di antara karya-karyanya yang terkenal antara lain: al-Munqidh min al-Dalal (Pembebasan dari Kesalahan); Tahafut al-Falasifa (Kerancuan Para Filsuf); dan magnum opus-nya, sebuah studi terperinci tentang Islam yang berjudul Ihya Ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu Agama).[2]
Dalam Ihya, Al-Ghazali menulis satu bab khusus tentang puasa. Di antara sekian banyak sub-bab pembahasan tentang puasa, dia menulis mengenai “Enam Hukum yang Diwajibkan Dalam Berpuasa”. Berikut ini adalah enam hukum yang diwajibkan dalam berpuasa menurut Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din:
1. Untuk mencari bulan baru Ramadan. Jika ada awan, tiga puluh hari dari bulan Syaban harus diselesaikan. Pemandangan bulan baru Ramadan hanya didasarkan pada bukti satu orang saja yang memiliki kecerdasan, sedangkan bulan dari Idulfitri didasarkan pada bukti dari dua Muslim yang saleh. Jika bulan baru terlihat di satu tempat dan tidak terlihat di tempat lain, dan jika jarak antara dua tempat itu kurang dari sekitar dua mil (sekitar 3,2 km), maka wajib bagi penduduk kedua tempat untuk tetap berpuasa. Namun jika jaraknya lebih jauh, penghuni setiap tempat akan memutuskan kasusnya secara terpisah.
2. Untuk melakukan niat berpuasa: Melakukan niat setiap malam dengan iman yang teguh adalah wajib. Satu niat untuk keseluruhan bulan Ramadan tidak cukup. Jika tidak ada niat wajib berpuasa, itu akan dianggap sebagai puasa sunat. Jadi niat harus dilakukan setiap malam.
3. Tidak memasukan apapun dari luar ke dalam tubuh secara sengaja ketika berpuasa. Jika seseorang makan sesuatu, minum sesuatu, dan melakukan tindakan semacam itu, itu akan membatalkan puasa. Jika seseorang melakukan bekam, itu tidak akan merusak puasanya. Jika air masuk ke perut secara tidak sengaja, itu tidak akan merusak puasa.
4. Pantang melakukan hubungan seksual saat puasa. Jika karena kesalahan, seseorang yang berpuasa telah melakukan hubungan seksual, itu tidak akan merusak puasanya.
5. Pantang mengeluarkan air mani secara sengaja. Jika air mani sengaja dikeluarkan, itu akan membatalkan puasa.
6. Pantang muntah yang disengaja. Muntah yang disengaja membatalkan puasa.[3] (PH)
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 102.
[2] Ibid.
[3] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din Vol.1, (Karachi: Darul-Ishaat, 1993), hlm 182-183.