Ketika Ramadan tiba, tak sedikit warga yang bersedekah dan membayar zakat fitrah dengan cara diberikan dan diantar langsung kepada para santri yang masih berada di pesantren. Itu dilakukan tidak lain karena mereka teringat dan begitu menjaga pesan atau wasiat Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa dia lahir pada sekitar 1448 M. Sebagai salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama Walisongo, Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.
Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya, Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Sedangkan Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Dia putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana atau Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad. Dia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung Jati di Komplek Astana Gunung Sembung, Cirebon.
Masyarakat Jawa Barat, khususnya Cirebon, bukan hanya mengenal dengan baik Sunan Gunung Jati lantaran sang Sunan merupakan salah seorang dari Dewan Ulama penyebar Islam awal di Tanah Jawa atau Walisongo, melainkan pula karena beberapa wasiat utamanya sudah sekian lama menjadi semacam tuntunan sakral yang diwariskan turun temurun sehingga terus diingat dan menancap di benak masyarakat.
Di antara beberapa wasiat itu, setidaknya ada dua wasiat utama yang hingga kini sudah dianggap mewujud dalam sikap-perilaku sehari-hari masyarakat Cirebon. Apa saja?
***
“Insun titip tajug lan fakir miskin.”
Itulah kalimat singkat yang terpampang di salah satu sudut area makam Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati di Cirebon, tepatnya di dinding serambi Masjid Agung Gunung Jati. Kalimat yang sudah sangat familiar bagi masyarakat Cirebon khususnya dan para peziarah dari kota lain yang datang ke tempat ini, diyakini merupakan wasiat terakhir Sunan Gunung Jati tak lama menjelang beliau wafat.
Secara harfiah arti dari wasiat tersebut ialah, “Saya titip tajug (sejenis mushalla atau langgar yang dipergunakan pula sebagai tempat aktivitas mengaji) dan fakir miskin.” Lewat wasiat dimaksud, Sunan Gunung Jati berpesan kepada umat Islam secara umum agar sepeninggal beliau keberadaan tajug dan fakir miskin senantiasa diopeni, dijaga, dan diperhatikan. Dengan kata lain jangan sampai keduanya diterlantarkan begitu saja.
Namun jika ditinjau dalam konteks yang lebih luas di masa kita saat ini, maka maksud dari kalimat tersebut bukan lagi semata-mata wasiat agar kaum Muslimin menjaga mushalla dan langgar atau surau saja, melainkan tercakup juga di dalamnya pondok pesantren, madrasah diniyah, majlis taklim, dan forum-forum atau perkumpulan lainnya yang di dalamnya terdapat pembahasan ilmu-ilmu agama.
Demikian pula yang dikehendaki dari istilah fakir miskin, bukan sekadar para pengemis yang meminta-minta, melainkan terutama adalah para santri dan pelajar yang benar-benar sedang menimba ilmu dan memerlukan bantuan demi kelangsungan studinya. Artinya, terhadap tempat-tempat untuk mengaji sekaligus para santrinya, Sunan Gunung Jati menitipkan keduanya supaya umat Islam sepeninggal beliau ikut merawat, membantu dan menjaga kelestariannya.
Mungkin karena adanya wasiat dari Sunan Gunung Jati—yang meskipun sekilas tampak sederhana, namun maknanya sangat dalam ini, maka di beberapa daerah di Cirebon, masyarakat yang berdomisili di sekitar pesantren sudah terbiasa memperlakukan dengan begitu baik para santri. Salah satu contoh adalah ketika bulan Ramadan tiba. Saat itu tak sedikit warga masyarakat yang bersedekah dan membayar zakat fitrah dengan cara diberikan dan diantar langsung kepada para santri yang masih berada di pesantren. Itu dilakukan tidak lain karena mereka teringat dan begitu menjaga pesan atau wasiat Sunan Gunung Jati tersebut.
Apalagi, selain wasiat pertama di atas, sebagian masyarakat Cirebon juga mengenal mutiara pesan lain yang juga diyakini bersumber dari Syekh Syarif Hidayatullah yang berbunyi, “Sugih bli rerawat, mlarat bli gegulat,” yang artinya “menjadi kaya bukan untuk pribadi, menjadi miskin, bukan untuk menjadi beban bagi orang lain.”
Itulah dua wasiat atau pesan Sunun Gunung Jati yang substansinya sama dan saling menguatkan. Bahwa di samping mengingatkan umat Islam supaya nguri-uri tempat ibadah dan majlis tempat menimba ilmu, di sisi lain juga mendorong kepada golongan orang yang kuat dan mampu secara ekonomi agar senantiasa memiliki empati dan kepedulian kepada fakir miskin atau kelompok yang lemah dalam berbagai seginya, baik lemah secara ekonomi maupun ilmu. Secara sederhana, pesan ini juga dapat dimaknai sebagai wasiat agar kaum Muslimin menjaga kewajiban salat, sebagai perwujudan dari perlambang memelihara tajug (tempat ibadah). Juga kewajiban berzakat, sebagai perwujudan dari kepedulian dan empati kepada kaum fakir miskin.
Sementara pesan kedua secara tersirat menekankan supaya golongan lemah yang mendapatkan uluran tangan atau santunan dari orang lain tidak menjadi bergantung selamanya pada bantuan orang lain tersebut. Melainkan mereka nantinya juga dituntut bisa mengembangkan kehidupan yang mandiri dalam berbagai aspeknya agar muruah atau kehormatan diri mereka sebagai manusia tetap terjaga. (EH)