Alquran sangat menakutkan. Ketika menggambarkan surga, aku berharap ayat-ayatnya tidak pernah berakhir. Namun ketika engkau sampai pada (bagian) neraka, tanganku menjadi bergetar, dan aku berkeringat.
Uthman Taha lahir di sebuah desa kecil di Suriah Utara, dekat dengan perbatasan Turki, pada tahun 1934. Dia berasal dari keluarga petani sederhana, ayahnya adalah seorang Imam di desa tersebut.
“Aku mengembangkan minat untuk kaligrafi ketika pada usia enam tahun aku mulai melihat-lihat buku-buku ayahku dan melihat betapa indahnya judul-judul itu ditulis,” kata Taha sebagaimana dilansir dari Arab News. “Aku bertanya kepada ayahku tentang jenis-jenis tulisan yang digunakan, tetapi dia mengatakan itu bukan keahliannya, melainkan keahlian kaligrafer di kota.”
“Ketika aku semakin dewasa, ayah mengirimku ke Aleppo untuk menyelesaikan pendidikanku,” dia melanjutkan, “Di sana, aku bertemu dengan beberapa kaligrafer terkenal Aleppo, menyaksikan mereka bekerja, dan belajar tentang alat-alat yang mereka gunakan, cara mereka memegang pena mereka , dan bagaimana mereka membuat huruf-huruf yang indah.”
“Aku kemudian pindah ke Damaskus dan bertemu pimpinan kaligrafer di Suriah, Muhammad Badawi Al-Diyrani, dan kaligrafer Irak, Hashim Al-Baghdadi. Di Istanbul (Turki), aku bertemu Hamid Al-Amidi, pemimpin kaligrafi di dunia Islam, yang memberiku ijazah kaligrafi.”
Pada saat Taha masih belajar di Universitas Damaskus untuk mengambil gelar BA pada jurusan Syariah, dia didekati oleh King Fahd Complex (perusahaan penerbitan Alquran yang berpusat di Madinah). “Aku ditunjuk untuk menjadi seorang kaligrafer untuk menulis edisi Mushaf yang berbeda untuk beberapa negara di dunia Islam,” katanya.
“Aku ditugaskan menulis Mushaf dalam berbagai variasi tekstual di bawah pengawasan komite khusus. Butuh hampir tiga tahun untuk menyelesaikan penulisan satu Mushaf.”
Taha menjelaskan bahwa orang yang menulis Mushaf harus mengingat Alquran dan juga memahami ayat-ayatnya dengan baik.
“Mushaf pertama yang aku tulis di King Fahd Complex 32 tahun yang lalu adalah edisi Warsh untuk negara-negara Arab di Maghrib,” kata Taha, “Tentu saja, kami memiliki komite revisi di Complex, yang dipimpin oleh imam dari Masjid Nabawi di Madinah, Ali Al-Hudhaifi, untuk membaca ulang apa yang aku tulis. “
“Mushaf Warsh, yang aku selesaikan dalam 3 tahun, adalah salah satu edisi Alquran yang paling langka di dunia Islam,” lanjutnya. “Aku juga telah menulis enam Mushaf dalam berbagai varian tekstual, yang didistribusikan di seluruh dunia Islam. Aku pertama kali menulis Warsh, lalu Hafs, dan kemudian Duri untuk Afrika dan Sudan, dan aku menulis Qalun untuk Libya.”
Taha menceritakan, bahwa saat ini banyak kaligrafer Arab Saudi yang sering mengunjunginya di rumahnya. Mereka datang dari Riyadh, Jeddah, dan Qassim untuk menunjukkan kepadanya apa yang mereka tulis. “Aku mencoba yang terbaik untuk melatih mereka, tetapi aku tidak punya cukup waktu, karena aku menghabiskan sebagian besar hariku dengan bekerja di King Fahd Complex,” katanya.
“Menulis Mushaf membutuhkan kesiapan dan keinginan, serta pengetahuan yang baik dalam ajaran Alquran,” dia menambahkan, “Seorang kaligrafer yang ingin menulis Mushaf harus memahami keindahan dalam setiap halamannya.”
Taha yang kini memiliki gelar PhD menceritakan, bahwa anak bungsunya, Ahmad, mewarisi bakat artistik dan kaligrafi darinya.
Taha saat ini sedang mengerjakan proyek untuk menulis Alquran pada panel besar setebal 600 halaman yang disimpan di laci yang dibuat khusus untuk naskah Alquran di dalam sebuah ruangan yang dirancang untuk menjaga mereka agar tetap berada dalam kondisi yang sangat baik.
Dalam hidupnya, Taha telah menghabiskan waktu selama 30-40 tahun hanya untuk menulis Alquran. “Aku telah menulis berbagai versi Alquran, hampir 12 versi. Semuanya ditulis dengan tangan. Dan aku mencintai kaligrafi. Aku tidak peduli jika aku lelah, aku menulis sampai benar-benar lelah. Bahkan terkadang pada saat aku sedang menulis, penaku terjatuh ke lantai (karena saking lelahnya),” kata Taha, dilansir dari Aram TV.
“Tidak ada yang penting di dunia ini selain kaligrafi,” ujarnya dengan khidmat.
Ketika ditanya apakah dia melaksanakan ritual tertentu sebelum menulis? Taha menjawab, “Aku tidak menulis satupun ayat Alquran sebelum berwhudu.”
“Ketika sedang menulis Alquran – sebagai seseorang yang meyakini agama, kehidupan akhirat, dan Allah – Alquran menakutkan, amat sangat, terutama ketika engkau membaca penggambaran surga dan neraka. Ketika menggambarkan surga, aku berharap ayat-ayatnya tidak pernah berakhir. Namun ketika engkau sampai pada (bagian) neraka, tanganku menjadi bergetar, dan aku berkeringat.”
Dia berharap generasi muda akan lebih peduli dengan kaligrafi Arab, dan mengatakan bahwa para pemuda di Saudi tertarik pada seni ini. “Aku berharap kaligrafi diajarkan di sekolah,” katanya. “Arab Saudi mengurus Alquran, mencetaknya, dan mendistribusikannya kepada semua Muslim, sehingga, saat ini, King Fahd Complex dianggap yang terbaik dalam mencetak Alquran di tingkat global dan dihormati oleh semua orang.”
Taha berharap, bagi siapapun yang telah membaca Alquran karyanya, agar selalu mendoakannya, “Doakanlah aku, meminta kepada-Nya untuk menjaga mata dan kepekaanku, sehingga aku dapat terus bekerja.”
Pada tahun 2019, Taha dinobatkan sebagai salah satu tokoh Muslim yang paling berpengaruh di dunia oleh The 500 Most Influential Muslims. (PH)
Selesai.
Sebelumnya: